Selasa, 29 Oktober 2019

CERAMAH DI MAPOLDA JAWA TIMUR


KEKERASAN DAN ANARKHIS MENURUT ISLAM



Pada tanggal 16 Oktober 2019, Masjid Arif Nurul Huda Mapolda Jawa Timur mengadakan acara pengajian ba'da shalat Dhuhur. Penceramah yang memberi materi adalah Prof. Dr. KH. Sahid HM, M.Ag., M.H., Pengasuh Pesantren Al-Qur'an Asy-Syahadah Surabaya sekaligus Guru Besar UIN Sunan Ampel. Materi yang disampaikan adalah menolak kekerasan dan anarkhis yang selalu terjadi di Indonesia. 


Dalam penjelasannya, Kiai Sahid menyampaikan bahwa Islam adalah agama damai baik secara personal maupun kolektif. Islam tidak mengajarkan kekerasan dan anarkhis. Gerakan yang mengarah pada kekerasan dan anarkhis, meskipun mengatasnamakan agama, tidak dibenarkan oleh Islam. Oleh karena itu, Islam melarang gerakan yang mengarah ke kanan-kananan dan mengarah ke kiri-kirian. Islam menentang gerakan ekstrem kanan dan ekstrem kiri. Dalam kontes ini, Islam adalah ajaran mutawssith atau moderat, tidak ekstrem kanan dan ekstrem kiri.

Dalam realitasnya, di era kontemporer ini gerakan yang mengarah ke kanan-kanan sering disebut fundamentalisme agama atau radikalisme agama. Gerakannya cenderung menghalalkan segala cara. Pandangan yang bertentangan dengan gerakan ini dianggap sesat, bahkan kafir. Oleh karena itu, mereka harus dibunuh. Jika terkait dengan pemerintahan, para pejabat dianggap thagut. Oleh karena itu, struktur negara harus dihancurkan dan langkah yang ditempuh adalah kekerasan dan anarkhis.

Secara normatif, Islam melarang gerakan semacam itu dan secara sosiologis gerakan ini harus ditolak. Tindakan mereka terkategori menentang Allah dan Rasulullah dan melakukan kerusakan di muka bumi. Di dalam al-Qur'an surat al-Maidah (5) ayat 33 Allah berfirman:

إنما جزاء الذين يحاربون الله ورسوله ويسعون فى الأرض فسادا أن يقتلوا أن يصلبوا أو تقطع أيديهم وأرجلهم من خلاف أو ينفوا من الأرض ذلك لهم خزي فى الدنيا ولهم فى الآخرة عذاب عظيم.

"Sesungguhnya pembalasan bagi orang-orang yang memerangi Allah dan RasulNya dan melakukan kerusakan di muka bumi, hendaknya mereka dibunuh, disalib, dipotong tangan dan kaki mereka dengan silang, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka mendapatkan siksaan yang berat."

Memperhatikan gerakan radikalisme tersebut, kesadaran masyarakat perlu dimunculkan dengan gerakan "tolak kekerasan dan anarkhisme." Jika gerakan kesadaran ini dilakukan oleh berbagai elemen masyarakat dan terjadi secara menyeluruh di Indonesia, maka gerakan radikalisme dengan sendirinya akan hilang. Kekuatan radikalisme akan lumpuh dengan sendirinya. Oleh karena itu, umat Islam perlu menyatukan persepsi agar bangsa Indonesia tidak terpecah karena adu domba yang diciptakan. Kebaikan yang tidak terstruktur akan mudah dihancurkan oleh kejahatan yang terstruktur. Umat Islam perlu menciptakan kebaikan yang terstruktur agar dengan mudah menghancurkan kejahatan yang diciptakan.

Pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib, radikalisme agama pernah terjadi dengan munculnya aliran Khawarij. Ketika terjadi perang Shiffin pada tahun 657 M di Suriah yang menyebabkan arbitrasi (tahkim) antara Ali bin Abi Thalib dengan Mu'awiyah, kedua orang ini dianggap kafir. Ali dianggap kafir karena memutus dengan musyawarah, sedang Muawiyah dianggap kafir karena menentang pemerintahan yang sah. Ali bin Abi Thalib dibunuh oleh orang dari kalangan khawarij yang bernama Abdurrahman bin Muljam pada tanggal 26 Januari Tahun 661 M di Masjid Agung Kufah.
 


Di era sekarang, meskipun bukan Khawarij, radikalisme agama muncul.  Kelompok yang bukan golongannya dianggap kafir. Gerakan ini bahkan melakukan kekerasan dengan pembunuhan dan pengoboman. Pemahaman agama yang tekstualis normatif dikembangkan. Slogan yang dimunculkan di masyarakat adalah bahasa Allahu Akbar. Kekerasan yang dilakukan oleh mereka tidak hanya tertuju kepada komunitas non Muslim tetapi juga Muslim. Sasaran yang menjadi target adalah negara atau pemerintah. Untuk mengantisapi radikalisme semacam ini, aparat secara khusus dan masyarakat secara umum harus melakukan pencegahan, karena tindakan mereka bertentangan dengan ajaran Islam.

Islam diturunkan oleh Allah untuk memberikan kedamaian dan keselamatan kepada masyarakat. Sebagai komunitas Muslim, orientasi yang dikembangkan adalah ketenteraman dan keharmonisan. Untuk itu, hubungan antarumat beragama perlu dilakukan secara baik. Nilai-nilai kemanusian perlu dikembangkan untuk membangun perdamaian dunia.


Senin, 28 Oktober 2019

CERAMAH DI MASJID AGUNG KOTA BLITAR

Membangun Budaya Akhlak Mulia Dalam Konteks Kebangsaan dan Kenegaraan


Pada tanggal 27 Oktober 2019 ba'da shalat subuh, Prof. Dr. KH. Sahid M.Ag., M.H., Pengasuh Pesantren Al-Qur'an Asy-Syahadah,  menyampaikan ceramahnya dengan judul "Membangun Akhlak Mulia dalam Konteks Kebangsaan dan Kenegaraan." Menurutnya, negara akan rapuh jika landasan pembangunan hanya didasarkan pada politik, ekonomi, atau sosial. Sebaliknya, negara akan kokoh jika landasan yang dijadikan dasar adalah akhlak. Jika akhlak kokoh, fondasi yang lain diletakkan, misalnya politik, ekonomi, dan sosial. Di era kemerdekaan, Soekarno menjadi Presiden meletakkan arah Indonesia pada sektor politik, di era orde baru, Soeharto meletakkan arah Indonesia pada aspek ekonomi, di era reformasi, arah Infonesia diletakkan pada berbagai aspek tanpa menguatkan akhlak. Dampaknya, Indonesia mengalami kerapuhan dalam bidang moral. Berbagai sektor kurang berjalan sebagaimana mestinya. Meskipun berbagai aturan dibuat, aturan banyak yang tidak dipatuhi. Korupsi terjadi di berbagai instansi negara, free love and free sex sangat meresahkan masyarakat, dan berbagai pelanggaran menjadi tontonan yang sulit mendapatkan penyelesaian



Rasulullah berdakwah di makah, landasan yang digunakan adalah akhlak yang dibarengi dengan akidah. Akhlak yang menjadi fondasi Rasulullah membangun masyarakat. Dalam suatu hadis, Rasulullah bersabda: إنما بعثت لأتمم مكارم الأخلاق (Sesungguhnh aku diutus di muka bumi untuk menyempurnakan akhlak). Ketika berada di Mekah, Rasulullah meletakkan akhlak yang diberengi dengan akidah sebagai pijakan. Ketika berada di Madinah, Rasulullah meletakkan dasar-dasar yang lain seperti politik, ekonomi, dan sosial. Dalam konteks ini, Rasululllah sukses membangun negara dalam waktu yang relatif singkat. Negara Madinah dibentuk oleh Rasulullah dengan kedamaian. Aturan yang dibuat Rasulullah ditaati secara baik oleh masyarakat. Ketaatan masyarakat terhadap aturan karena mereka memiliki akhlak yang mulia dan akidah yang kuat sebagai dimensi perrtanggungjawan kepada Allah di akhirat.

Dalam membangun kebangsaan, Rasulullah meletekkan Negara Madinah, bukan Negara Agama. Negara dibangun secara bersama-sama oleh berbagai komunitas umat agama tanpa mendeskreditkan salah satu agama. Dengan demikian, toleransi diperkuat di tengah-tengah masyarakat Madinah. Konsep ini menjadi basis Negara Kebangsaan (Nation State). Mereka merasa memiliki Negara Madinah sehingga masyarakat menjadi kokoh.

Nahdlatul Ulama sebagai organisasi kemasyarakaran dan keagamaan, menjadikan wawasan kebangsaan sebagai landasan dengan konsep: حب الوطن من الإيمان (Cinta tanah air bagian dari iman). NU tidak mengantagoniskan agama dan negara. Negara dan agama berjalan secara sinergis dan saling mengisi. Simbiosis mutualistik antara agama dan negara berjalan secara baik. Negara butuh agama dan agama butuh negara. Oleh karena itu, pada tahun 1984 dalam Muktamar di Situbondo, NU menerima Pancasila sebagai asas tunggal. Ini menunjukkan bahwa dalam mengembangkan wawasan kebangsaan, NU menggunakan akhlak mulia yang didasarkan pada prinsip-prinsip ajaran agama Islam secara baik.

Akhlak Nahdlatul Ulama dalam berdakwah mengikuti langkah yang dilakukan oleh Walisongo, tidak konfrontasi tapi akomudasi. Budaya yang eksis di nusantara tidak dihancurkan. Ketika Masjid Demak mau diresmikan, terjadi dialog antara Sunan Kalijaga dan Sunan Giri yang dimediatori oleh Sunan Ampel. Dalam peresmian itu, Sunan Kalijaga ingin menampilkan wayang kulit sebagai media dakwah. Sunan Giri menolak karena wayang kulit menyerupai manusia yang secara normatif dilarang oleh Rasilullah. Sunan Kalijaga akhirnya merubah wayang kulit agar tidak menyerupai manusia dengan mamanjangkan tangannya sampai ke tanah. Kreasi Sunan Kalijogo ini kemudian diterima oleh Sunan Giri. Akhlak semacam ini menciptkan kedamaian kepada masyarakat nusantara karena antara agama dan budaya tidak saling menghancurkan tapi saling mengisi. Dalam hal ini, NU mengembangkan akhlak Walisanga dalam berdakwah untuk membangun kebangsaan dan kenegaraan.

Dalam konteks kekinian, sebagian gerakan keagamaan cenderung tidak menggunakan akhlak mulia dengan menginport tardisi luar yang bertentangan dengan budaya nusantara. Sebagian dai cenderung mengkafirkan umat Islam yang mengamalkan ajaran Islam mengandung unsur budaya. Gerakan takfiri ini berdampak negatif bagi kehidupan berbangsa dan bernegara karena tidak memahami sosologis masyarakat. Gerakan ini justru mendapatkan pertentangan dari masyarakat karena dianggap konfrontatif. Selain gerakan takfiri, gerakan jihadi muncul. Negara Indonesia dianggap negara kafir, pemerintah dianggap thaghut dan mayoritas masyarakat Indonesia dianggap ahlul bid'ah wal khurafat. Mereka melakukan pengeboman dan pembunuhan kepada sesama masyarakat muslim. Mereka dianggap kafir yang harus dibunuh. Gerakan radikal keagamaan ini tidak mencerminkan akhlak mulia. Mereka justru membuat kerusakan di bumi nusantara.



Dari ulasan di atas bangsa dan negara akan kokoh jika akhlak dikedepankan. Wawasan kebangsaan perlu berdialektika dengan agama agar tidak terjadi konfrontasi. Dengan konsepsi ini, negara dan agama saling mengisi. Selain itu, budaya nusantara tidak dihancurkan tapi untuk dipertemukan ajaran agama. Dialektika semacam ini, akan menciptakan Islam Nusantara yang kuat.

Yudisium Hafidzah & Pelantikan Pengurus Masa Bakti 2020- 2021 Pondok Pesantren Al-Qur'an Asy-Syahadah Surabaya

Setelah mengalami penundaan karena wabah corona, Pesantren Al-Qur'an Asy-Syahadah Surabaya bisa melaksanakan Yudisium Hafidzah Al-Q...