KONSEP
PENDIDIKAN
ETIKA SUFISTIK-FILOSOFIS AL-GHAZÂLÎ
Oleh:
Sahid HM
Abstrak
Kajian ini membahas konsep
pendidikan etika al-Ghazâlî. Pendekatan
yang digunakan oleh al-Ghazâlî dalam membina etika bermuara pada
sufistik-filosofis yang cenderung pada ma‘rifat Allâh (pengenalan terhadap
Tuhan) dan diproses dengan metode tazkîyat an-nafs (membersihkan diri),
taqarrub (mendekatkan diri kepada Allah), dan taẖassub
(mengevaluasi diri) dengan cara riyâdlah (latihan).
Tiga dimensi ini menjadi landasan untuk membina etika seseorang secara
baik. Bagi seseorang yang jiwanya belum bersih, dia harus berguru dan minta
petunjuk. Dengan demikian, guru dapat memberi petunjuk dan mengantarkan seorang
murid sampai kepada Tuhan. Dalam perkembangannya, konsep pendidikan etika
sufistik-filosofis al-Ghazâlî berpengaruh di belahan dunia baik secara teoritik
maupun praktis. Dua pengaruh ini menggambarkan bahwa pemikiran al-Ghazâlî
secara teoritis-praktis dalam bidang pendidikan etika menjadi pijakan.
Kata
Kunci: Pendidikan, Etika, Tasawuf, dan Filsafat
Pendahuluan
Al-Qur’ân sedikit membicarakan
kosmogoni; ia lebih sering membuat pernyataan mengenai alam dan fenomenanya.
Meskipun demikian, pernyataan ini pada hakikatnya menghubungkan alam dengan
Allah, atau manusia, ataupun dengan keduanya. Pernyataan al-Qur’ân ini pada
umumnya mendeskripsikan kekuasaan serta kebesaran Allah yang tidak terhingga
dan menyerukan agar menusia beriman kepada-Nya, atau bersyukur kepada-Nya.[1]
Al-Qur’ân sebagai petunjuk bagi
manusia bukan hanya tertuju pada arti metafisis-eskatologis, tetapi juga
berkaitan dengan persoalan praksis kehidupan manusia di dunia. Dalam konteks
ini, manusia mempunyai peranan penting untuk mengaktualisasikan hubungan
tersebut dengan serasi dan seimbang. Untuk itu, para pakar filsafat dan teologi
berupaya menuangkan dua komponen tersebut sebagai instrumen hidup yang seimbang
sehingga pada dataran diskursus—baik secara teoritis maupun aplikatif—mereka
memunculkan wacana pendidikan etika
sufistik-filosofis.
Seorang filosofis sekaligus teolog
Islam yang mampu meramu dua komponen tersebut adalah al-Ghazâlî. Dia
menampilkan konsep pendidikan etika
sufistik-filosofis
dengan wacana ilmiah yang sangat memukau bagi para filosof dan teolog, meskipun
diskursus dialektika ilmiahnya cenderung mengarah pada teologi. Dalam hal ini,
ada orang yang menyebut konsep
pendidikan etika sufistik-filosofis
al-Ghazâlî tidak rasional murni.[2]
Terlepas dari penilaian orang itu, yang jelas dia adalah peletak dasar konsep pendidikan etika sufistik-filosofis Islam. Untuk itu, tulisan ini
menyajikan konsep pendidikan etika
sufistik-filosofis
al-Ghazâlî, sekaligus pengaruhnya.
Biografi
al-Ghazâlî
Dia bernama Abû Ḫâmid
Muẖammad
bin Muẖammad
bin Muẖammad
al-Ghazâlî.[3]
Dia lahir di Thûs,
suatu kota kecil di Khurasân (Iran).[4]
Ayahnya adalah seorang tukang pintal (al-Ghazzâl).[5]
Tempat kelahirannya adalah Ghazaleh,
yang terletak di dekat Thûs.[6]
Ayahnya adalah seorang yang menjaga diri dari perbuatan-perbuatan tercela. Dia
tidak mau makan kecuali dari hasil keringatnya sendiri.[7]
Sikap menjaga diri ini terus dia jalankan sampai meninggal dunia.
Ayahnya meninggal pada saat
al-Ghazâlî dan satu saudara kandungnya Aẖmad, masih kecil. Dia dan
adiknya kemudian dipelihara oleh seorang sufi, kawan dekat ayahnya. Setelah dia
belajar beberapa lama dengan para ulama di kampungnya, dia pergi ke berbagai
tempat untuk melanjutkan studi sampai akhirnya dia berguru kepada Imam al-Ḫaramayn
al-Juwaynî di Naysâbûr. Dari gurunya ini dia mempelajari berbagai ilmu yang
lazim dipelajari orang pada waktu itu, sehingga dia menonjol dalam bidang
logika, filsafat, perdebatan, dan lain-lain.[8]
Bekal ilmu yang diperolehnya itu kemudian dia kembangkan dalam pencarian ilmu
yang bernilai praksis, bukan teoritis.
Al-Ghazâlî tinggal di Naysâbûr
sampai wafatnya imam al-Ḫaramayn di tahun 1058 M. Kemudian dia pindah ke
Baghdad dan enam tahun kemudian dia diangkat
menjadi guru besar di Madrasah Nizhâmîyah
yang ada di Baghdad.
Dia mengajar di sana
selama empat tahun.[9]
Selama masih berada di Naysâbûr, al-Ghazâlî tidak saja belajar dengan imam al-Ḫaramayn,
tetapi juga mempergunakan kesempatan belajar untuk menjadi pengikut sufi
bersama Abû Fadll Muẖammad
bin ‘Alî al-Farmadî al-Thûsî,
seorang murid pamannya, al-Qusyayrî,
yang ahli tasawuf.[10]
Setelah itu, dia mengadakan latihan pembersihan spiritual sendiri dengan
bertapa dan lain sebagainya.
Di tengah-tengah perjalanan mengajar
dia terjangkit penyakit keragu-raguan. Dia meragukan ilmu pengetahuan yang dia
peroleh melalui pancaindra. Dia menganggap bahwa pancaindra terkadang berdusta.
Di samping itu, dia juga meragukan ilmu pengetahuan yang diperoleh melalui
rasio. Dia menganggap bahwa sesuatu yang ada dalam pikiran diproyeksikan oleh
rasio melalui pancaindra sebagai objek analisis. Akibat penyakit keragu-raguan
ini, akhirnya dia tidak mengajar. Pada tahun 1095 M dia meninggalkan Baghdad dan pergi yang
pada awalnya ke Damaskus, kemudian ke Mekah, Madinah, Jerussalem, dan
lain-lain. Menurut catatan sejarah, dia hidup sebagai seorang sufi. Setelah
mengajar kembali ke Naysâbûr untuk beberapa tahun, dia meninggal dunia di Thûs pada tahun 1011 M.[11]
Pemikiran al-Ghazâlî tentang Pendidikan Etika
Sufistik-Filosofis
Al-Ghazâlî
membagi orang yang mencari kebenaran ke dalam empat kelompok. Pertama,
kelompok teolog yang menyatakan bahwa mereka adalah orang yang memiliki
penilaian dan penalaran yang independen. Kedua, kelompok bâthinîyah yang mengklaim sebagai
pemilik tunggal al-ta‘lîm (perintah otoritatif) dan pewaris istimewa
pengetahuan yang diperoleh dari para imam ma‘shûm. Ketiga, kelompok filosof
yang bersikukuh bahwa mereka adalah ahli logika dan pembuktian apodeiktik. Keempat,
kelompok sufi yang mengaku sebagai orang yang mengenal kehadiran Tuhan
serta ahli pandangan dan iluminasi.[12]
Bagi al-Ghazâlî, empat hal tersebut merupakan masalah yang
harus diselesaikan. Masalah besar yang dihadapi al-Ghazâlî pada masa itu adalah
goncangnya kepercayaan umat Islam dalam menghadapi gempuran paham filsafat dan
ideologi kaum keagamaan kaum Syî‘ah Bâthinîyah serta paham unisme yang
menyimpang dari akidah. Pengamalan agama dan pemahaman yang terlalu rasioal dan
ẖukmîyah juga
menjadi problem.
Goncangan filsafat adalah warisan Yunani yang
mendewa-dewakan akal dan dianggap sebagai qath‘îy al-dalâlah. Al-Ghazâlî
menangkal konsep itu yang dituangkan dalam kitab al-Munqidz min al-Dlalâl. Dalam
pembahasan ini ditunjukkan kelemahan dan kerelatifan dalil akal dalam
pertumbuhan evolusi peningkatan jiwa manusia menuju kedewasaan. Petunjuk akal
itu hanya sampai ke tingkat zhann dan tidak sampai pada yang qath‘î seperti
perkiraan para filosof jika menjawab masalah ketuhanan dan alam ghaib. Menurut
al-Ghazâlî, dasar pikiran yang diandalkan ilmu filsafat dinilai tidak cukup
untuk menjelaskan dan membina ilmu ketuhanan. Dalam hal ini, al-Ghazâlî
mengkritik dengan tajam pendapat para filosof dalam bukunya Tahâfut al-Falâsifah
dengan menjelaskan kesesatan pendapat mereka serta ditunjukkan kelemahan
dan kesalahannya.
Tentang goncangan kepercayaan yang dipandang sesat dari
ajaran Syî‘ah Bâthinîyah yang mengharuskan percaya kepada imam-imam yang ma‘shûm,
al-Ghazâlî menganjurkan agar masyarakat muslim percaya kepada Nabi Muhammad
yang memang dianjurkan untuk dipercayai, tidak kepada para imam. Mengenai
masalah ajaran sesat dalam sufisme, al-Ghazâlî menjelaskan dalam al-Munqidz
min al-Dlalâl dengan mencoba membatasi penghayatan makrifat dalam sufsme
agar dimoderasi sampai ke penghayatan yang amat dekat dengan Allah, tidak
terjerumus ke paham ẖulûl, ittiẖad dan wushûl. Dengan demikian, al-Ghazâlî menolak
penghayatan makrifat yang puncak, yaitu fanâ’ al-fanâ’. Dalam
mengamalkan tasawuf, al-Ghazâlî membatasi pada yang tawassuth yang masih
menyadari perbedaan yang fundamental antara Tuhan, manusia, dan alam, yaitu
hanya sampai pada penghayatan yang dekat kepada Tuhan dan tidak dalam penyatuan.
Dengan demikian, kesadaran diri bagi orang yang sedang makrifat tetap berbeda
dengan Tuhan yang dimakrifati.
Dalam
pemikiran al-Ghazâlî baik yang spekulatif maupun yang praksis dapat kita jumpai
sintesis antara pemikiran filsafat, agama, dan mistik (tasawuf).[13]
Teori pendidikan etikanya
terdapat dalam kitab Mîzân al-‘Amal (Creterion of Action) dan
dalam karya pendidikan etika
religiusnya Iẖyâ’ Ulûm al-Dîn (Revival of Religion
Sciences).[14]
Kitab
Iẖyâ‘ Ulûm al-Dîn adalah
karya al-Ghazâlî yang sangat monumental dalam bidang pendidikan etika. Di dalam jilid ke-3 pembahasan
mengenai pendidikan etika
secara langsung disentuh dalam pembahasan. Di dalam jilid itu dia menulis
secara rinci dan transparan tentang konsepsi pendidikan etika mistiknya. Dalam hal
ini, pendidikan etika al-Ghazâlî masuk ke dalam tasawufnya. Pembahasan
etika dalam Iẖyâ’ merupakan draf dan
pengembangan dari pembahasan yang terdapat dalam Mîzân. Sebenarnya kitab
Mîzân adalah karya yang lebih metodis dan komprehensif daripada
bagian-bagian yang berkaitan dengan masalah pendidikan etika dari Iẖyâ’.[15]
Hanya saja berbagai kalangan menganggap bahwa Iẖyâ’ yang
merupakan sentral studi filsafat etika sufistik yang standar untuk dijadikan pegangan.
Mengenai
tujuan pokok dari etika al-Ghazâlî kita temui semboyan tasawufnya yang
terkenal, yaitu al-takhalluq bi akhlâq Allâh ‘alâ thâqat al-basyarîyah (berperilaku sesuai
etika Allah menurut kemampuan manusia), atau pada semboyannya yang lain, yaitu al-inshâf bi shifât al-Raẖmân
‘alâ thâqat
al-basyarîyah
(mensifati
sebagaimana sifat Tuhan menurut kemampuan manusia).[16]
Semboyan di atas mengillustrasikan kesanggupan manusia meniru perangai dan
sifat-sifat ketuhanan serta sifat-sifat yang disukai Tuhan seperti pengasih,
penyayang, pemaaf, sabar, jujur, dan lain sebagainya. Dengan mempraktikkan
perilaku yang bernuansa sifat-sifat ketuhanan dan sifat-sifat yang disukai
Tuhan, manusia diharapkan mampu mengendalikan hawa nafsu yang mengantarkan pada
hal-hal yang negatif.
Term etika dalam sembayan tersebut sering diidentikkan
dengan budi pekerti, adab, susila, sopan santun, dan tatakrama. Kata tersebut
dalam kosa kata Arab sering disebut al-akhlâq. Al-akhlâq merupakan
bentuk plural data al-khuluq yang artinya budi pekerti atau moralitas.
Kata yang disebutkan dua kali dalam al-Qur’ân (al-Syu‘arâ’ ayat 137 dan
al-Qalam ayat 4) itu pada mulanya diproyeksikan sebagai partner kata al-khalq
yang artinya ciptaan. Meskipun berasal dari akar kata yang sama (kh-l-q),
kedua term tersebut memiliki pengertian yang bertolak belakang. Al-khuluq
merupakan karakteristik ketuhanan yang bersifat immateri dan permanen,
sedang al-khalq sebagai partner eksistensi manusia yang bersifat materi,
bisa dilihat dan sementara. Keduanya tidak dapat dipisahkan antara satu dengan
yang lainnya. Menegasikan salah satunya akan memudarkan jati diri manusia.
Manusia sejati (al-insân al-kâmil) sebagai manifestasi aẖsan taqwîm (format
ciptaan Tuhan terbaik), baru bisa berwujud jika antara al-khuluq memiliki
irama dan ritme yang selaras dengan al-khalq.[17]
Menyamakan pekerjaan di atas tidak mudah dan gampang,
tidak semudah teori yang dibaca dan dituturkan. Pada diri manusia selain diberi
hati nurani yang senantiasa menegakkan karakteristik ketuhanan (al-khuluq), juga
terdapat hawa nafsu yang cenderung tergiur pada materi yang nisbi dan instant.
Setiap hari, setiap jam, setiap menit, setiap detik antara keduanya terus terjadi
tarik-menarik untuk mempengerahui seorang manusia dalam perang hawa nafsu. Jika
kemenangan di pihak nafsu, manusia akan turun derajatnya dan etikanya menjadi
bejat melebihi binatang. Jika hati nurani mampu mengunggli nafsu, orang
tersebut akan naik derajatnya dan etikanya terpuji melebihi para malaikat Tuhan
sebagai aẖsan taqwîm. Tipologi
manusia terakhir yang layak menjadi wakil Tuhan di muka bumi (khalîfah Allâh
fî al-Ardl) untuk mengatur alam semesta. Sebaliknya, apabila dunia seisinya
ini diurus oleh manusia yang etikanya bejat dan tidak mampu menyeimbangkan
antara format al-khalq dan al-khuluq, kehancuran dan kebinasaan
akan menimpa alam emesta.[18]
Wujud kerohanian tersebut bisa berupa qalb, bashîrah,
fu’âd, dlamîr, atau sirr. Semuanya itu akan diisi dengan ma‘rifat
Allâh dengan cara mendekatkan diri kepada Allah. Kedekatan ini tidak
digapai hanya dengan bekal materi tetapi immateri. Untuk itu, hawa nafsu yang
rangsangannya adalah materi dihadapi dengan jihâd, sedang hawa nafsu
yang bermuara kepada immateri harus dihadapi dengan mujâhadah.[19]
Dua karakter yang bertolak belakang tersebut menjadi
perhatian al-Ghazâlî. Karakter jelek harus dibinasakan dengan berbagai cara
dengan memunculkan karakteristik baik. Karakter baik yang dimunculkan oleh
manusia diupayakan mengikuti irama karakter ketuhanan dalam batas kemanusiaan.
Untuk itu, al-Ghazâlî sangat intens membahas pola hidup manusia yang mengarah
kepada perilaku Tuhan dengan memunculkan karakter baik kemanusian.
Dalam konteks sabar, al-Ghazâlî memberi penekanan pada
esensinya, yaitu keteguhan yang mendorong hidup beragama dalam menghadapi
dorongan hawa nafsu. Karakteristik manusia terkomposisi dari unsur malaikat dan
unsur binatang. Binatang hanya dikuasai oleh dorongan-dorongan nafsu birahi,
sedangkan para malaikat tidak. Mereka semata-mata diarahkan pada kerinduan
untuk menelusuri keindahan Tuhan dan dorongan untuk mendekati-Nya. Mereka
bertasbih menyucikan Allah sepanjang siang dan malam tiada henti. Pada diri
mereka tidak terdapat dorongan-dorongan hawa nafsu.[20]
Sementara pada diri manusia dan binatang tidak terdapat sifat sabar, bahkan
manusia itu cenderung dikuasai oleh dua macam pasukan yang saling menyerang dan
berebut untuk menguasainya.[21]
Serangan
dimulai dengan memerangi pasukan syetan. Jika pendorong agama lebih kuat dalam
menghadapi pendorong hawa nafsu, maka tingkatan sabar telah tercapai. Sabar itu
tidak pernah terwujud kecuali setelah terjadinya perang antara kedua pendorong
tersebut. Hal ini identik dengan kesabaran saat neneguk obat pahit yang
didorong oleh dorongan akal pikiran, namun dicegah oleh dorongan-dorongan hawa
nafsu. Setiap orang yang dikalahkan hawa nafsunya tidak akan menelan obat pahit
tersebut; sebaliknya, orang yang akal pikirannya dapat mengalahkan hawa
nafsunya mampu bersabar dengan rasa pahit obat itu agar bisa sembuh.[22]
Untuk
mengendalikan hawa nafsu dan hal-hal negatif, al-Ghazâlî membagi jalan dengan tazkîyat
al-nafs (membersihkan jiwa) dan tahdzîb al-akhlâq (membina
etika).[23]
Bagi al-Ghazâlî, wawasan tazkîyat al-nafs merupakan konsep pembinaan
mental spiritual, pembentukan jiwa, atau penjiwaan hidup dengan nilai-nilai
agama Islam.[24]
Jika proses penjernihan jiwa sudah dilakukan dan pengaruh positif telah muncul,
hubungan jiwa dengan Tuhan dapat teraktualisasi dan etika ketuhanan selalu
tercermin dalam kehidupannya.
Dengan
demikian, konsep pendidikan
tazkîyat
al-nafs sangat erat hubungannya dengan etika dan kejiwaan. Dalam
hal ini, al-Ghazâlî mengarahkan manusia pada sikap beretika baik dan beriman
kepada Allah. Untuk menempuh jalan itu, ia harus melaksanakan tazkîyat nafs.
Untuk itu, tazkîyat al-nafs sangat dibutuhkan untuk sampai kepada
Allah. Ia sebagai instrumen dan pengantar agar manusia sampai kepada Tuhan.
Tuhan itulah sebagai satu-satunya Zat yang dituju oleh manusia sehingga
perilakunya mencerminkan etika yang bernuansa ketuhanan. Bagi setiap pemula dan
setiap orang yang berada dalam tahap menengah, bahkan setiap orang yang telah
mencapai tahap tertinggi, pengekangan diri mutlak diperlukan dan sama sekali
tidak bisa dihindarkan oleh sang hamba Allah.[25]
Pengekangan diri itu merupakan cara dari pendidikan
tazkîyat
al-nafs. Hal ini dapat dijadikan indikasi bahwa tazkîyat al-nafs tidak
mudah dicapai karena harus mengekang diri secara optimal.
Di
dalam al-Munqidz min
al-Dlalâl, al-Ghazâlî
menjelaskan bahwa kunci mengetahui Tuhan adalah mengetahui jiwa. Al-Ghazâlî
mensinyalir firman Allah: "Kami akan memperlihatkan kepada mereka
tanda-tanda kekuasaan Kami di segenap cakrawala dan pada diri mereka sendiri
sehingga menjadi jelas bagi mereka bahwa al-Qur’ân itu benar."[26]
Dia juga mengutip sabda Rasulullah yang berbunyi: "Barangsiapa yang
mengetahui jiwanya, dia akan mengetahui Tuhannya."[27]
Dalam
kitab Riyâdl
al-Nafs, al-Ghazâlî memasukkan tazkîyat al-nafs sebagai
metode pembinaan mental pendidikan etika dengan tujuan agar terjadi
keseimbangan dan kebaikan akhlak serta kesehatan jiwa.[28]
Oleh karena itu, al-Ghazâlî memberikan porsi yang sangat penting terhadap
pembinaan jiwa untuk menjaga kestabilan hidup. Jika dicermati, pandangan
al-Ghazâlî tentang tazkîyat al-nafs dalam Iẖyâ’ memberi
pengertian yang lebih luas daripada yang dikemukakan para ahli filsafat etika.[29]
Dalam Iẖyâ’, pengertian tazkîyat al-nafs
terdapat dalam setiap rub‘ dan kitâb.[30]
Hal ini menjadi bukti bahwa betapa besarnya perhatian al-Ghazâlî terhadap
masalah tazkîyat al-nafs. Secara keseluruhan, misi Iẖyâ’ adalah
tazkîyat al-nafs, karena konsep kehidupan yang baik yang terdapat dalam
buku ini bisa dijadikan dasar pelaksanaan kehidupan beragama.[31]
Yang menarik dalam kerangka metodologinya untuk membersihkan jiwa dalam
tasawuf, al-Ghazâlî menekankan adanya struktur jarak antara guru dan murid. Dia
mengaksentuasikan kepada murid agar tunduk kepada guru. Murid harus mengikuti
tanpa syarat sebelum ia mampu mencerna ajaran mistik atau tasawuf yang
diberikan secara utuh.
Aturan
tentang hubungan antara murid dengan guru dijelaskan oleh Fazlur
Rahman—sebagaimana dikutip Amin Abdullah—sebagai berikut:
Merupakan suatu
keharusan bagi seorang murid untuk meminta petunjuk atau bantuan kepada seorang
guru (syekh) yang dapat membimbingnya ke jalan yang benar. Oleh karena jalan
menuju kebenaran (agama yang benar adalah sulit, sedang jalan menuju kejahatan
syetan adalah beraneka ragam dan gampang), maka bagi siapa saja yang tidak
mempunyai guru (syekh) yang dapat membimbingnya ke jalan yang benar, dia akan
mudah dibimbing oleh syetan ke jalan kesesatan. Oleh karena itu, seorang murid
harus setia kepada syekhnya seperti si buta setia sepenuhnya pada tongkat
petunjuk jalannya di seberang sungai. Dia harus benar-benar percaya kepada
syekhnya dan tidak boleh menentangnya dalam hal apapun dan lagi pula dia harus
berjanji pada dirinya sendiri untuk benar-benar mengikuti ajarannya secara
mutlak. Hendaknya dia (murid) tahu bahwa keuntungan yang dapat dia peroleh dari
tindak perilaku syekh yang salah—kalau syekh tadi berbuat salah—adalah lebih
besar manfaatnya daripada manfaat yang dia peroleh dari kebenaran yang dia
temukan sendiri, kalau saja dia benar dalam menemukan jalan kebenaran tersebut.[32]
Semua manusia yang dianugerahi pengetahuan
batin mengakui bahwa latihan rohani dan kezuhudan hanya bermanfaat di bawah
instruksi seorang syekh yang "sadar." Penyucian dari berbagai noda serta
keberhasilan mendekatkan diri dan kerendahan hati dalam doa dan ibadah bisa dicapai
jika ditempuh melalui bimbingan syekh paripurna yang mengetahui psikologi
manusia dan berbagai masalah spiritual melalui pengetahuan, perasaan, dan
pengalaman.[33]
Syekh dalam posisi ini sebagai sentral pengarah untuk mengantarkan murid pada
jalan menuju Allah.
Selain
itu, al-Ghazâlî mengidentifikasi hubungan guru dan murid dengan hubungan dokter
dan pasien. Dokter harus mengikuti pasien sesuai dengan penyakit yang
dideritanya. Dia tidak boleh hanya menggunakan satu obat jika penyakitnya
bermacam-macam. Jika hal itu dilakukan, kondisinya justru semakin parah.
Demikian juga seorang guru; dia tidak boleh mengobati beberapa penyakit hanya
dengan satu metode. Hal ini jika dilakukan justru akan memperburuk kondisi para
murid dan membahayakan mereka. Dalam hal ini, al-Ghazâlî mengatakan:
Seorang dokter jika
mengobati semua penyakit dengan satu obat, dia akan membunuh banyak orang.
Demikian juga seorang guru; jika dia memberi petunjuk kepada murid dengan satu
bentuk latihan, dia akan merusak mereka dan mematikan hati mereka. Oleh karena
itu, syekh harus mengetahui penyakit murid, kondisinya, umurnya, dan
temparamennya.[34]
Uraian
itu mengilustrasikan adanya metodik praktis dalam membentuk etika seorang
murid. Penyakit jiwa yang berupa etika tercela seperti penyakit fisik. Jika
badan sakit panas misalnya, obatnya adalah yang menurunkan panas, demikian juga
seterusnya.
Mayoritas
pemikir Arab sepakat bahwa kekejian (kehinaan) merupakan penyakit jiwa yang
membutuhkan pengobatan. Dari aspek ini, segi keserupaan antara ilmu etika dan
ilmu kedokteran menjadi tampak. Dalam konteks ini, ilmu etika menjadi pekerjaan
yang mengantarkan pada pengobatan berbagai penyakit dan menjaga kesehatan, yang
pada akhirnya adalah merealisasikan kebahagiaan.[35]
Untuk itu, al-Ghazâlî sangat intens membahas persoalan etika sufistik-filosofis agar manusia dapat
membersihkan jiwanya sehingga mencapai kebahagiaan yang hakiki di dunia dan
akhirat.
Pada
aspek ibadah, al-Ghazâlî mempertajam analisisnya terhadap rahasia-rahasia
ibadah dan tasawufnya. Uraiannya tentang thahârah tidak hanya menekankan
aspek lahir tetapi juga aspek batin. Dalam elaborasinya tentang ibadah, dia
menuangkan berbagai ibadah dengan mengarah pada beberapa hal seperti salat,
puasa, dan haji. Oleh karena itu, ibadah bagi al-Ghazâlî merupakan instrumen
untuk mengantarkan pada pembersihan rohani.
Terkait
dengan konsep ibadah, menurut al-Ghazâlî, ada dua hal yang sangat penting
tentang sumber kebaikan bagi manusia. Pertama, sumber kebaikan yang
terletak pada kebersihan rohani. Kedua, sumber kebaikan yang terletak
pada taqarrub kepada Allah. Al-Ghazâlî menganggap Tuhan sebagai pencipta
yang aktif berkuasa, yang sangat memelihara dan menyebarkan rahmat (kebaikan)
bagi sekalian alam. Dalam hal ini, dia sama sekali tidak cocok dengan prinsip filsafat
klasik yang menganggap Tuhan sebagai kebaikan yang tertinggi, tetapi pasif
menanti pendekatan diri dari manusia.[36]
Menurutnya—sebagaimana yang terdapat dalam berbagai karyanya—sumber kebaikan
adalah Tuhan yang telah menganugerahkannya kepada manusia melalui berbagai
cara. Oleh karena itu, manusia mempunyai tugas mempersiapkan diri menerima
cahaya Tuhan dengan membersihkan jiwa. Cara ini dilakukan kerena hambatan
menerima cahaya Tuhan (kebaikan) akibat kotornya jiwa. Oleh karena itu, manusia
harus mengendalikan hawa nafsu dan tetap beribadah kepada Allah.
Tentang
taqarrub, al-Ghazâlî
memberikan cara latihan secara langsung yang menyentuh dan mempengaruhi rohani
seperti murâqabah dan muẖâsabah.[37] Dalam
hal ini manusia merasa diawasi oleh Tuhan dan selalu introspeksi diri. Dengan
dua cara ini, manusia selalu berusaha untuk sampai kepada Tuhan. Sistem
pemikiran al-Ghazâlî tersebut merupakan upaya untuk membatasi penghayatan
mistik (tasawuf) dengan penghayatan qurbah. Oleh karena itu, dalam al-Munqidz min al-Dlalâl, al-Ghazâlî menyalahkan
paham ẖulûl, ittiẖâd, dan wushûl sebagai paham-paham
union-mistik atas dasar khayal belaka.[38]
Kemudian, al-Ghazâlî menyusun Iẖyâ’ sebagai
ajaran tasawuf yang dipandang ideal, yang menjalin keselarasan antara syariat
dan tasawuf,[39]
tasawuf sebagai penggerak syariat, sedangkan syariat sebagai pelurus tasawuf.
Kedua hal ini oleh al-Ghazâlî dijadikan kekuatan yang seimbang untuk beribadah
kepada Allah.
Untuk menjaga keseimbangan hidup dalam beribadah,
al-Ghazâlî menyelaraskan pengalaman tasawuf dengan syariat yang dicetuskan dan
menjadi perhatian ulama sufi sebelunya. Al-Ghazâlî secara konkret berhasil
merumuskan dan mengkompromikan secara ketat antara pengalaman sufisik dan
syariat sebagaimana yang tertuang dalam Iẖyâ’.
Di dalam kitab ini dibahas secara
penjang lebar dan mendalam pelaksanaan kewajiban agama beserta pokok-pokok
akidah yang berkaitan dengan syariat. Tarekat dan makrifat dibahas
secara rinci dengan menakankan pada muẖâsabah
dan tazkîyat al-nafs. Cara zikir
dan penghayatan alam ghaib hingga mencapai penghayatan dekat dengan Allah dan
menyaksikan secara langsung zat-Nya, dibahas. Penyakit yang merusak hati dan
keburukan yang berkaitan dengan mulut, mata, telinga, dan anggota fisik lain,
perbuatan manusia, dan tatacara menyembuhkannya juga diungkap. Pembahasan ini
bermuara pada pendidikan etika sufistik-filosofis yang dikembangkan oleh
al-Ghazâlî untuk pembinaan mental dan ketakwaan kepada Tuhan.
Pokok pikiran al-Ghazâlî dalam Iẖyâ’ menggambarkan
pembahasan hubungan antara syariat dan hakikat. Dalam uraiannya, seseorang yang
belum mempelajari dan mengamalkan tasawuf, dia harus memperdalam ilmu syariat
dan akidah. Dia harus konsekuen menjalankan syariat secara baik. Dalam pelaksanaan
ibadah yang berkaitan dengan syariat seperti salat dan puasa, al-Ghazâlî
membagi menjadi tiga tingkatan, yaitu salat atau puasanya orang ‘awâm, khawâsh,
dan khawâsh al-khawâsh. Sesudah menjalan syariat secara baik,
seseorang boleh mempelajari tarikat. Dalam hal
ini, muẖâsabah dan tazkîyat
al-nafs serta praktik zikir untuk mencapai mukâsyafah dalam makrifat
adalah penting. Untuk mempertahankan nilai-nilai luhur dan spiritual,
pengendalian nafsu dan penyakit yang mengokotori hati dan badan harus diatasi.
Konsepsi ini mengilustrasikan bangunan sarana penyelarasan hubungan syariat dan
hakikat.
Pengaruh Pendidikan Etika Sufistik-Filosofis al-Ghazâlî
Kedudukan al-Ghazâlî di kalangan umat Islam bukan sekadar
kehebatan dan kebesaran karya ilmiahnya, atau karena usahanya untuk membendung
bahaya aliran kebatinan dan perang pemikiran terhadap filsafat Yunani. Kedudukannya
yang semakin tinggi justru karena cahaya spiritualitas dan pengaruh perasaannya
yang telah dianugerahkan Allah kepadanya, yang cahaya spiritualitas itu
meninggalkan pengaruh di kalangan umat Islam sepanjang abad hingga sekarang.[40]
Cahaya
spiritualitas al-Ghazâlî sangat tampak dalam penjernihan diri, khususnya dalam
keikhlasan. Keikhlasan adalah prioritas utama al-Ghazâlî. Dia rela menghabiskan
umurnya dalam mencari tujuan tersebut.[41]
Dalam pencariannya,
dia melewati perjalanan panjang untuk mencari kebenaran. Menurutnya,
kebahagiaan hakiki adalah kebahagiaan
akhirat. Tidak ada ambisi untuk mencapai kebahagiaan akhirat tersebut kecuali
dengan takwa dan menahan hawa nafsu. Puncak dari itu semua adalah memutuskan
hubungan hati dengan dunia.[42]
Pada akhir perjalanan intelektualnya, al-Ghazâlî berkesimpulan bahwa pendidikan
batin yang diperlukan oleh manusia bukan pendidikan intelektual untuk
memperoleh kebahagiaan hidup di dunia. Oleh karena itu, al-Ghazâlî meramu
pembahasannya tentang mistik yang bersifat kerohanian dengan formulasi yang
begitu ketat dan mengikat agar manusia mencapai ketenangan batin. Dalam
kitabnya al-Munqizh min
al-Dlalâl, al-Ghazîlî
menjelaskan bahwa hanya jalan mistik yang memuaskan dan mengantarkan pada
ketenangan dirinya setelah menempuh pergumulan intelektual.
Upaya
al-Ghazâlî membuat sistem ajaran tasawuf sangat berpengaruh dan menentukan arah
perkembangan tasawuf di dunia Islam, terutama dunia Islam bagian Timur.
Kesuksesan al-Ghazâlî menyusun konsep pendidikan
etika
sufistik-filosofis yang
serasi dan seimbang itu menggait massa
dan pendukung yang banyak, terutama dari kalangan ulama moderat. Ajaran
al-Ghazâlî kemudian menjadi aliran raksasa yang kokoh dan mengakar di
masyarakat. Pengaruh ini tidak hanya di daerahnya, tetapi juga di daerah lain
seperti Indonesia.
Dalam dunia pesantren generasi awal, warna sufisme yang
kental terlihat dari anutan mereka yang
didominasi oleh sufisme al-Ghazali, sufisme yang sangat kuat mewarnai
kesantrian masa itu. Dalam kelompok ini, buku-buku karangan al-Ghazâlî adalah
sumber bacaan sufisme yang paling digemari dan pada umumnya memuat pokok
bahasan tasawuf akhlak dan amali, yang keseluruhannya beraliran tasawuf sunni.[43]
Jika merujuk pada perkembangan Islam di Jawa, umumnya
digerakkan oleh Walisongo. Sebutan itu sudah cukup beralasan bahwa mereka
pengikut tasawuf al-Ghazâlî. Bukti ini diperkuat oleh hikayat Jawa yang
mengisahkan drama pertentangan antara Sunan Giri dan Sunan Kalijaga di satu
pihak dengan Syekh Siti Jenar di pihak lain, sebuah pertentangan antara tasawuf
sunni dan tasawuf falsafi. Kisah ini hampir sama dengan serangan al-Ghazâlî
yang mengkritik Ibn al-‘Arabî dan al-Ḫallâj. Dengan demikian, di Indonesia
secara umum ajaran sufistik al-Ghazâlî menjadi landasan untuk mengukur orang
lain dalam bidang tasawuf.
Dalam konteks di atas, Mukti Ali mengungkapkan bahwa pengaruh
al-Ghazâlî dalam pemikiran Islam di antaranya adalah sebagai berikut. Pertama,
membawa
manusia kembali dari pemikiran skolastik terhadap dogma-dogma teologis kepada
meneliti, mempelajari, dan menafsiri al-Qur’ân dan hadis secara langsung.
Ikatan skolatikisme abad pertengahan yang terjadi di Eropa Kristen diputus. Di
dunia Islam, kebanyakan orang terperangkap di bawah pimpinan al-Ghazâlî. Dia
bisa menjadi ahli ilmu kalam jika berhadapan dengan ahli kalam. Hanya saja,
metode al-Ghazâlî dalam menjelaskan doktrin-doktrin teologis didasarkan pada
al-Qur’ân dan hadis. Oleh karena itu, di Barat dia dikenal dengan Biblical
Theologian. Kedua, dia membawa filsafat dan ilmu kalam (pemikiran ketuhanan
berdasarkan filsafat) dalam jangkauan pemikiran awam. Sebelum al-Ghazâlî,
filsafat dan ilmu kalam merupakan ilmu yang kurang lebih eksklusif yang
diliputi dengan penuh misteri. Bahasanya aneh, kata-kata dan istilah yang
digunakan perlu dipelajari secara khusus. Orang yang mampu bahasa Arab belum
tentu memahami kitab-kitab filsafat. Ide-ide Yunani dan ungkapan-ungkapan yang
diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dengan bahasa Suryani sangat sulit dipahami
oleh kebanyakan orang. Latihan yang panjang diperlukan sebelum dapat memahami
uraian, argumen, dan metode filsafat. Ketentuan itu diubah oleh al-Ghazâlî.
Dalam hal ini, dia menyajikan kitab Tahâfut al-Falâsifah.[44]
Dua pengaruh di atas dapat menempatkan Islam kembali ke fakta-fakta
fundamental dan historis dengan menempatkan emosi agama pada sistem pemikiran
Islam.
Pengaruh
al-Ghazâlî tidak terbatas pada dunia Islam saja, tetapi melebar sampai ke dunia
Barat. Sebagaimana dijelaskan Palacios, pengaruh al-Ghazâlî tampak jelas pada
para ahli teologi Yahudi yang banyak bersandar pada al-Ghazâlî dalam banyak
pendapat mereka. Palacios menyebutkan bahwa dalam buku-buku mereka yang terkenal
terdapat paragraf al-Ghazâlî, bahkan menukil beberapa halaman dari kitab-kitab
al-Ghazâlî, seperti Maqâshid
al-Falâsifah, Tahâfut al-Falâsifah, al-Munqidz min al-Dlalâl, Iẖyâ’
‘Ulûm al-Dîn, Mizân al-‘Amal, dan sebagainya.[45] Al-Ghazâlî sangat berpengaruh pada Yahudi. Beberapa
ilmuwan Yahudi di abad pertengahan memahami bahasa Arab dengan baik dan
beberapa buku al-Ghazâlî diterjemahkan ke dalam bahasa Ibrani. Mizân
al-‘Amal secara khusus dibaca secara luas di kalangan Yahudi abad
pertengahan. Beberapa terjemahannya dibuat dalam bahasa Ibrani dan dicetak
kembali untuk para pembaca Yahudi dengan mengganti ayat-ayat al-Qur’ân dengan
pasal-pasal dari Taurat. Salah seorang pemikir Yahudi besar yang terpengaruh
oleh al-Ghazâlî adalah Moeses been Maimonades atau Mûsâ bin Maimûn (1135-1204
M) yang menulis buku Dalâlat al-Ḫa’irîn
(Petunjuk bagi Orang-orang yang Bingung).
Al-Ghazâlî juga mempengaruhi beberapa pemikir Nasrani di
Eropa yang menggunakan buku-bukunya dan bersandar pada pendapat-pendapatnya
seperti filosof Thomas Aquinas, Pascal, dan sebagainya.[46] Pengaruh metode skeptis milik al-Ghazâlî tampak
jelas pengaruhnya pada metodologi Descartes. Para
peneliti telah menunjukkan persamaan besar antara dua metode tersebut. Mereka
menyimpulkan bahwa ilmuwan pada periode berikutnya telah terpengaruh oleh
ilmuwan periode sebelumnya, apalagi buku-buku al-Ghazâlî telah banyak
diterjemahkan ke dalam bahasa Eropa.[47] Selain itu, pengaruh al-Ghazâlî dapat ditemukan dalam
berbagai karya para filosof dan ilmuwan abad pertengahan dan awal periode
modern, khususnya St. Thomas Aquinas (1225-12274 M), Dente Aleghiere (1265-1321
M), dan David Hume (1711-1776 M).
Kalangan
orientalis juga banyak yang tertarik pada al-Ghazâlî, misalnya Renan yang
pernah memujinya. Menurut Munich, kebesaran al-Ghazâlî terpusat pada metode
skeptis yang menempati kedudukan terhormat dalam sejarah filsafat Barat.
Menurut Carra de Voux dari Perancis, al-Ghazâlî telah mendahului Kant dalam
menemukan teori "kelemahan akal." Kitab Tahâfut al-Falâsifah adalah
kitab terbaik untuk mempelajari nilai akal.
Meskipun
demikian, hal itu bukan berarti mematikan sama sekali ajaran union-mistik.
Ajaran ini masih tetap jalan sekalipun pada akhirnya hanya diikuti oleh
orang-orang tertentu saja, yaitu sekelompok kecil dari kalangan sufi. Hal ini
terbukti—sesudah al-Ghazâlî wafat—paham union-mistik memuncak menjadi paham waẖdat
al-wujûd di tangan Ibn al-‘Arabî (1165-1240 M) yang kemudian
menyebar. Penyebaran ajaran waẖdat al-wujûd sampai
pula pengaruhnya ke Indonesia
melalui Aceh dengan perantaraan India.
Dari Aceh paham waẖdat al-wujûd menyebar
ke daerah-daerah lain seperti Sumatera Barat, Jawa Barat, dan terus ke jantung
kerajaan Mataram. Paham waẖdat al-wujûd akhirnya
justru disenangi oleh penguasa kerajaan Mataram yang berpusat di Surakarta.[48]
Selain
di atas, konsep pendidikan etika
sufistik-filosofis
al-Ghazâlî yang dituangkan dalam bentuk praksis juga sangat berpengaruh di
belahan penjuru dunia. Implikasi dan konsekuensi secara sosiologis mengkristal
di benak pribadi seseorang maupun kelompok. Ini tercermin dalam bentuk
pengajian-pengajian yang diadakan baik secara formal maupun informal. Bahkan
jika diamati lebih lanjut, etika sufistik-filosofis
al-Ghazâlî dijadikan pegangan oleh kalangan kelompok pengajian tarekat (tharîqah) secara dogmatis, bukan
analisis. Oleh karena itu, mereka menggantung di tali konsepsi filsafat etika
sufistik al-Ghazâlî.
Dalam
wacana ilmiah, dapat dilihat secara riil bahwa referensi yang dijadikan pijakan
dalam filsafat etika Islam adalah Iẖyâ’
‘Ulûm al-Dîn. Bahkan dapat dikatakan, kitab ini menjadi pijakan
sentral setelah al-Qur’ân dan al-Sunnah dalam berbagai buku kontemporer. Di Indonesia,
kitab itu dijadikan landasan dalam beretika sebagaimana di Barat menjadi bahan
diskusi meskipun tidak menjadi pegangan praktis. Hal ini sebagai indikasi bahwa
pendidikan etika sufistk-filosofis al-Ghazâlî sangat besar
pengaruhnya, baik bagi yang pro maupun yang kontra.
Pengaruh
hubungan antara guru dan murid ini sangat melekat di kalangan pesantren. Guru
tidak ubahnya seperti raja yang memberikan nasehat kepada bawahannya. Dalam hal
ini, arah ajaran etika lebih cenderung beraroma normatif daripada wacana
pemikiran. Untuk itu, hubungan kedua belah pihak yang terus berjalan dengan
posisi atas dan bawah sulit dilepaskan.
Dalam hal ini, sistem pendidikan pesantren menerapkan prinsip-prinsip al-Ghazâlî
yang sampai sekarang masih eksis. Terlepas dari kritik yang muncul bahwa ide rekonsiliasi
yang dibawa al-Ghazâlî kurang dikembangkan oleh pesantren dan tidak dijabarkan
secara dialektik dengan konteks lokal. Dengan demikian, format konstruksi
pemikiran masih menampakkan khas manifestasi abad pertengahan yang dinilai
statis dan rigid.
Tulisan al-Ghazâlî tentang pendidikan etika merupakan
puncak kulminasi tertinggi dari pemikirannya tentang pengetahuan. Abad ke-12 M hingga
abad ke-19 M, pemikiran Islam tentang pendidikan etika sangat besar dipengaruhi
oleh al-Ghazâlî. Beberapa karya yang ditulis oleh intelektual muslim berikutnya,
menurut catatan Irsyad Zamjani,[49] banyak menukil karaya
al-Ghazâlî. Karya al-Zarnûjî (w. 1175 M/571 H) yang berjudul Ta‘lîm al-Muta‘allim
Tharîqat al-Ta‘allum, misalnya adalah suatu kompilasi dasar dari
pasal-pasal dalam Iẖyâ’ ‘Ulûm al-Dîn dan Mizân al-‘Amal karya al-Ghazâlî yang
diproduksi secara literal dengan beberapa penambahan kacil. Pengarah al-Ghazâlî
secara tidak langsung ditemukan dalam tulisan al-Thûsî (w. 1273 M/672 H), salah
seorang ilmuwan terkemuka abad pertengahan, penulis dari 100 buku tentang
filsafat, logika, etika, matematika, dan astronomi. Karya terpentingnya dalam
bidang pendidikan adalah Akhlâq al-Nâsirî dan Adab al-Muta‘allimîn. Demikian
halnya Ibn Jam‘ah (w. 1332 M/733 H), penulis Tadzkirat al-Sâmi‘ wa
al-Mutakallim fî Adab al-‘Âlim wa al-Muta‘allim, terpengaruh secara
langsung oleh al-Ghazâlî.
Karya Ibn al-Ḫajj al-‘Abdarî (w. 1336 M/737 H), Madkhal
al-Syar‘î al-Syarîf praktis memiliki karakter sama dengan Iẖya’ ‘Ulûm al-Dîn, namun merefleksikan perbedaan besar antara peradaban
Islam abad ke-5 H dan abad ke-8 H. Penulis sering menyebutkan al-Ghazâlî dan
tampak memperkenalkan dengan baik ide-ide dan tulisan-tulisannya, baik mengenai
topik-topik umum maupun mengenai pendidikan. Pada abad ke-16 M (abad ke-8 H)
didapatkan Ibn Ḫajar al-Haytamî, penulis Taẖrîr al-Maqâl fî al-Adab wa al-Aẖkâm wa al-Fawâ’id Yaẖtaj
ilayhâ Mu’addib al-Ahtfâl, seorang
Mesir yang melakukan studi dan mengajar di al-Azhar sebelum berpindah ke
wilayah sekitar Mekah. Tulisan-tulisannya adalah tipe pemikiran dan literatur
yang bergulir pada era Turki Usmani. Ia memusatkan pada pengajaran di katâtib
termasuk juga pada panduan kerja beserta aturan yang harus dipenuhi oleh
para guru pengajar sekolah. Ia berulangkali mengutip dan merujuk pada
al-Ghazâlî.
Kesimpulan
Dari
berbagai formulasi di atas dapat ditarik dua kesimpulan.
1.
Dalam pendidikan etika sufistik-filosofis, al-Ghazâlî memberi penekanan kepada orang-orang yang ingin sampai
kepada Allah dan ingin mengetahui-Nya dengan cara tazkîyat al-nafs (membersihkan
diri). Hal ini dapat dilakukan dengan beberapa cara, di antaranya dengan
latihan. Apabila jiwanya telah bersih, dia dapat mengetahui jiwanya. Dengan
demikian, dia akan mampu "mengetahui" Tuhan. Untuk itu, dia harus
berusaha ber-taqarrub kepada Allah dan ber-taẖassub.
Di
samping hal tersebut, seseorang yang belum mampu membersihkan jiwanya, dia
harus berguru kepada syekh. Dia harus meminta petunjuk kepadanya secara
dogmatis dengan berjanji setia dan melaksanakan petunjuknya secara mutlak.
2. Pendidikan etika
sufistik-filosofis
al-Ghazâlî dapat menumbangkan aliran tasawuf yang berlaku pada saat itu dan
dapat menarik massa
yang begitu banyak. Dengan kebesaran al-Ghazâlî, pendidikan etika sufistik-filosofisnya sangat berpengaruh dan
berkembang ke belahan dunia baik di dunia Islam maupun dunia Barat, terutama di
dunia Islam bagian Timur. Pengaruh tersebut juga bukan hanya kepada umat Islam,
tetapi juga kepada pemikir Yahudi dan Nasrani, baik kalangan teolog maupun
filosof. Secara praktis, etika sufistik-filosofis
al-Ghazâlî dapat dijadikan pijakan oleh kalangan pengikut tarekat yang secara
sosiologis telah mengakar dan mengkristal di hati mereka, sedangkan secara
teoritis, juga sering dijadikan pijakan dalam berbagai diskursus ilmiah, baik dalam wacana
ilmiah transformasi maupun wacana ilmiah. Selain itu, beberapa karya belakangan
yang berkaitan dengan etika juga banyak menggunakan karya al-Ghazâlî sebagai
referensi.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin
Ibn Rusd, Pemikiran al-Ghazâlî tentang Pendidikan (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1998).
Ahmad
Hanafi, Pengantar Filsafat Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1998).
Amin
Abdullah, Falsafah Islam di Era Post Modernisme (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1997).
---------, Studi Agama (Nomativitas atau Historisitas? (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1996).
A.
Mukti Ali, Metode Memahami Agama Islam (Jakarta: PT Bulan Bintang,
1991).
A.
Rifay Siregar, Tasawuf: Dari Tasawuf Klasik ke Neo-Sufisme (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2000).
Fazlur
Rahman, Tema Pokok al-Qur’ân, ter. Anas Mahyuddin (Bandung: Penerbit
Pustaka, 1996).
Harun
Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya (Jakarta: Penerbit UI
Press, 1996).
al-Imâm Abû Ḫâmid Muẖammad
bin Muẖammad bin Muẖammad al-Ghazâlî, Iẖyâ’
‘Ulûm al-Dîn, vol. 3 (Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.).
---------, al-Munqidz min al-Dlalâl (Beirut:
al-Maktabah al-Sya‘bîyah, t.t.).
---------, Teosofia al-Qur’ân, ter. M. Luqman Hakim
dan Hosen Arjaz Jamad (Surabaya: Penerbit Risalah Gusti, 1995).
Irsyad Zamzani, Wacana Pendidikan al-Ghazâlî: Telaah
Kitab “Iẖyâ’ ‘Ulûm al-Dîn”, dalam Gerbang: Jurnal Studi Agama dan Demokrasi, N0.
12, vol. V, Juli-September 2002.
Majid
Fakhri, Etika dalam Islam, ter. Zakiyuddin Baidhawi (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar Bekerjasama dengan Pusat Studi Islam Universitas Muhammadiyah
Surakarta, 1996).
Mir
Valiuddin, Zikir dan Kontemplasi dalam Tasawuf, ter. M.S. Nasrullah
(Bandung: Pustaka Hidayah, 1997).
Muẖammad Luthfî Jam‘ah, Târîkh
al-Falâsifah al-Islâmî fî al-Masyriq wa al-Maghrib (Beirut: Maktabat
al-‘Ilmîyah, t.t.
Muẖammad Yûsuf Mûsâ, Falsafat
al-Akhlâq fî al-Islâm (Mesir: Mu’assasat al-Khanajî al-Qâhirah, 1963).
Oliver
Leamen, Pengantar Filsafat Islam, ter. M. Amin Abdullah (Jakarta:
Penerbit CV Rajawali, 1989).
Osman
Bakar, Hirarkhi Ilmu: Membangun Rangka-Fikir Islamisasi Ilmu, ter.
Purwanto (Bandung: Penerbit Mizan, 1998).
Poerwantara
et.al., Seluk Beluk Filsafat Islam, ed. Tjun Surjaman (Bandung: Penerbit
Rosdakarya, 1994).
R.
Joseph McCarthy, Freedom and Fulfillment: An Annoteted Translition of
al-Ghazzâlî’s al-Munqidz min al-Dlalâl
and Other Relevant Works of Ghazzâlî (Boston: t.p., 1980).
Said
Aqil Siroj, Islam Kebangsaan: Fiqh Demokratik Kaum Sunni (Jakarta:
Penerbit Pudtaka Ciganjur, 1999).
---------,
Tasawuf sebagai Kritik Sosial: Mengedepankan Islam sebagai Inspirasi, bukan
Aspirasi (Bandung: Mizan Bekerjasama dengan Yayasan Khas, 2006).
Simuh,
Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam (Jakarta: Manajemen PT Raja
Grafindo, 1997).
Tawfîq
Thawîl,
Falsafat al-Akhlâq: Nasy’atuhâ wa Tathawwuruhâ
(Saudi
Arabia: al-Nahdlah
al-‘Arabîyah, 1979).
W.
Montgomery Watt, Islamic Theology and Philosophy (Edinburgh: Edinburgh
University Press, 1979).
Yahya
Jaya, Spiritualisasi Islam dalam Menumbuhkembangkan Kepribadian dan
Kesehatan Mental (Bandung: Penerbit PT Remaja Rosdakarya Offset, 1994).
Yusuf
al-Qardhawi, Pro-Kontra Pemikiran al-Ghazâlî, ter. Ahmad Satori Ismail
(Surabaya: Penerbit Risalah Gusti, 1997).
[1]Lihat Fazlur Rahman, Tema
Pokok al-Qur’ân, ter. Anas Mahyuddin (Bandung: Penerbit Pustaka, 1996), 96.
[2]Menurut penilaian Muẖammad Luthfî Jam‘ah, secara
objektif al-Ghazâlî bukan seorang filosof yang rasional. Dia lebih pantas
menjadi seorang teolog. Dia menjadikan ilmu, akal, dan syar‘
sebagai
substansinya untuk menuju kepada Allah (keadaan yang hakiki). Lihat Muẖammad Luthfî Jam‘ah, Târîkh
al-Falâsifah al-Islâmî fî al-Masyriq wa al-Maghrib (Beirut: Maktabat al-‘Ilmîyah, t.t.), 78.
[3]Nama aslinya hanya Muẖammad. Nama Abû Ḫâmid diberikan kemudian
kerena dia mempunyai putra Ḫâmid yang meninggal
ketika masih bayi. Meskipun dikenal sebagai al-Ghazâlî, namun kadang-kadang dia
dirujuk dalam sumber-sumber tradisional sebagai al-Syâfi‘î al-Naysâbûrî.
Osman Bakar, Hirarkhi Ilmu: Membangun Rangka-Fikir Islamisasi Ilmu, ter.
Purwanto (Bandung: Penerbit Mizan, 1998), 9.
[4]Ahmad Hanafi, Pengantar
Filsafat Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1991),
135.
Abidin Ibn Rusd, Pemikiran al-Ghazâlî tentang Pendidikan (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1998), 9.
[5]Pada umumnya dia
dikenal dengan al-Ghazâlî (dengan satu z) dan nama ini berasal dari nama desa
tempat dia lahir. Akan tetapi dia dikenal juga dengan al-Ghazzâlî (dengan dua
z) dan nama ini diambil dari pekerjaan orang tuanya sebagai gazzâl. Harun
Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya (Jakarta: Penerbit UI
Press, 1996), 52. Baca Jam‘ah, Târîkh, 73.
[6]Amin Abdullah, Studi
Agama: Nomativitas atau Historisitas? (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1996), 267.
[7]Muẖammad Yûsuf Mûsâ, Falsafat al-Akhlâq fî al-Islâm (Mesir:
Mu’assasat al-Khanajî al-Qâhirah, 1963), 126.
[8]Abdullah, Islam, 267.
[9]Nasution, Islam, 52.
[10]Yahya Jaya, Spiritualisasi
Islam dalam Menumbuhkembangkan Kepribadian dan Kesehatan Mental (Bandung:
Penerbit PT Remaja Rosdakarya Offset, 1994), 21.
[11]Nasutian, Islam, 92.
[12]Lihat R. Joseph
McCarthy, Freedom and Fulfillment: An Annoteted Translition of al-Ghazzâlî’s
al-Munqidz min al-Dlalâl and Other Relevant
Works of Ghazzâlî (Boston:
t.p., 1980), 91.
[13]Tiga pemikiran yang dijadikan
sintesis oleh al-Ghazâlî ini sudah mengkafer empat kelompok di atas.
[14]Majid Fakhri, Etika
dalam Islam, ter. Zakiyuddin Baidhawi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Bekerjasama dengan Pusat Studi Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta, 1996),
125.
[16]Lihat Poerwantara et.al.,
Seluk Beluk Filsafat Islam, ed. Tjun Surjaman (Bandung: Penerbit
Rosdakarya, 1994), 172.
[17]Said Aqil Siroj, Islam Kebangsaan: Fiqh Demokratik Kaum Sunni (Jakarta:
Penerbit Pudtaka Ciganjur, 1999), 1.
[19]Said Aqil Siroj, Tasawuf sebagai Kritik Sosial: Mengedepankan Islam
sebagai Inspirasi, bukan Aspirasi (Bandung: Mizan Bekerjasama dengan
Yayasan Khas, 2006), 431.
[20]Imam al-Ghazâlî, Teosofia
al-Qur’ân, ter. M. Luqman Hakim dan Hosen Arjaz Jamad (Surabaya: Penerbit
Risalah Gusti, 1995), 236.
[21]Ibid.
[22]Ibid.
[23]al-Imâm Abû Ḫâmid Muẖammad bin Muẖammad bin Muẖammad al-Ghazâlî, Iẖyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, vol. 3 (Beirut: Dâr al-Fikr,
t.t.), 55.
[24]Yahya Jaya memberi
makna spiritual Islam. Lihat Jaya, Spiritualisasi, 51.
[25]Mir Valiuddin, Zikir
dan Kontemplasi dalam Tasawuf, ter. M.S. Nasrullah (Bandung: Pustaka
Hidayah, 1997), 45.
[27]Muẖammad bin Muẖammad bin Muẖammad al-Ghazâlî, al-Munqidz
min al-Dlalâl (Beirut:
al-Maktabah al-Sya‘bîyah,
t.t.), 108. Hadis yang dikutip al-Ghazâlî ini, menurut al-Nawâwî, bukan hadis. Ada yang mengatakan, hadis
ini tidak marfû‘. Terlepas dari ketidakvalidan hadis itu, yang jelas
al-Ghazâlî memandang urgen terhadap pemeliharaan jiwa. Teks hadisnya adalah Man
‘arafa nafsah fa qad ‘arafa rabbah.
[29]Ahli filsafat etika
memberi pengertian tazkîyat al-nafs adalah takhlîyat al-nafs.
[31]W.
Montgomery
Watt, Islamic Theology and Philosophy (Edinburgh: Edinburgh University
Press, 1979), 104.
[32]Amin Abdullah, Falsafah
Islam di Era Post Modernisme (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), 135.
[33]Valiuddin, Zikir, 81.
[35]Tawfîq Thawîl,
Falsafat al-Akhlâq: Nasy’atuhâ wa Tathawwuruhâ
(Saudi Arabia:
al-Nahdlah
al-‘Arabîyah, 1979), 160.
[36]Poerwantana, Seluk
Beluk, 173.
[38]Di dalam al-Munqidz
min al-Dlalâl pada halaman 57-67, al-Ghazâlî mengkritisi konsep ajaran
ahli tasawuf yang berlaku pada saat itu dengan memberikan argumentasi agama dan
rasio yang sangat akurat. Menurut catatan Oliver Leamen, meskipun al-Ghazâlî
sangat simpatik terhadap ajaran sufi, dia tidak menyetujui gerakan sufi yang
menampilkan sikap sombong di atas tindak pelaksanaan perintah agama. Meskipun
memang benar, jika dikatakan bahwa kebaikan tertinggi (virtuous) merupakan
syarat pokok untuk mencapai tingkat pengetahuan tertinggi dan kecintaan kepada
Tuhan yang keduanya mencerminkan kebahagiaan yang sejati dan merupakan tujuan
akhir manusia, namun perkembangan kesempurnaan moral merupakan suatu hal yang
terpokok pula, jika kita ingin berhasil di dalam mencapai tujuan akhir
tersebut. Oliver Leamen, Pengantar Filsafat Islam, ter. M. Amin Abdullah
(Jakarta: Penerbit CV Rajawali, 1989), 194.
[39]Simuh, Tasawuf dan
Perkembangannya dalam Islam (Jakarta: Manajemen PT Raja Grafindo, 1997),
179.
[40]Yusuf al-Qardhawi, Pro-Kontra
Pemikiran al-Ghazâlî, ter. Ahmad Satori Ismail (Surabaya: Penerbit Risalah
Gusti, 1997), 99.
[43]A. Rifay Siregar, Tasawuf: Dari Tasawuf Klasik ke Neo-Sufisme (Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2000), 218.
[44]Lihat A. Mukti Ali, Metode
Memahami Agama Islam (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1991), 143-144.
[45]al-Qardhawi, Pro-Kontra,
109.
[47]Ibid.
[48]Bandingkan dengan Simuh,
ibid.
[49]Irsyad Zamzani, Wacana Pendidikan al-Ghazâlî: Telaah Kitab “Iẖyâ’
‘Ulûm al-Dîn”, dalam Gerbang: Jurnal Studi Agama
dan Demokrasi, N0. 12, vol. V, Juli-September 2002, 224-225.