Membangun Budaya Akhlak Mulia Dalam Konteks Kebangsaan dan Kenegaraan
Pada tanggal 27 Oktober 2019 ba'da shalat subuh, Prof. Dr. KH. Sahid M.Ag., M.H., Pengasuh Pesantren Al-Qur'an Asy-Syahadah, menyampaikan ceramahnya dengan judul "Membangun Akhlak Mulia dalam Konteks Kebangsaan dan Kenegaraan." Menurutnya, negara akan rapuh jika landasan pembangunan hanya didasarkan pada politik, ekonomi, atau sosial. Sebaliknya, negara akan kokoh jika landasan yang dijadikan dasar adalah akhlak. Jika akhlak kokoh, fondasi yang lain diletakkan, misalnya politik, ekonomi, dan sosial. Di era kemerdekaan, Soekarno menjadi Presiden meletakkan arah Indonesia pada sektor politik, di era orde baru, Soeharto meletakkan arah Indonesia pada aspek ekonomi, di era reformasi, arah Infonesia diletakkan pada berbagai aspek tanpa menguatkan akhlak. Dampaknya, Indonesia mengalami kerapuhan dalam bidang moral. Berbagai sektor kurang berjalan sebagaimana mestinya. Meskipun berbagai aturan dibuat, aturan banyak yang tidak dipatuhi. Korupsi terjadi di berbagai instansi negara, free love and free sex sangat meresahkan masyarakat, dan berbagai pelanggaran menjadi tontonan yang sulit mendapatkan penyelesaian
Rasulullah berdakwah di makah, landasan yang digunakan adalah akhlak yang dibarengi dengan akidah. Akhlak yang menjadi fondasi Rasulullah membangun masyarakat. Dalam suatu hadis, Rasulullah bersabda: إنما بعثت لأتمم مكارم الأخلاق (Sesungguhnh aku diutus di muka bumi untuk menyempurnakan akhlak). Ketika berada di Mekah, Rasulullah meletakkan akhlak yang diberengi dengan akidah sebagai pijakan. Ketika berada di Madinah, Rasulullah meletakkan dasar-dasar yang lain seperti politik, ekonomi, dan sosial. Dalam konteks ini, Rasululllah sukses membangun negara dalam waktu yang relatif singkat. Negara Madinah dibentuk oleh Rasulullah dengan kedamaian. Aturan yang dibuat Rasulullah ditaati secara baik oleh masyarakat. Ketaatan masyarakat terhadap aturan karena mereka memiliki akhlak yang mulia dan akidah yang kuat sebagai dimensi perrtanggungjawan kepada Allah di akhirat.
Dalam membangun kebangsaan, Rasulullah meletekkan Negara Madinah, bukan Negara Agama. Negara dibangun secara bersama-sama oleh berbagai komunitas umat agama tanpa mendeskreditkan salah satu agama. Dengan demikian, toleransi diperkuat di tengah-tengah masyarakat Madinah. Konsep ini menjadi basis Negara Kebangsaan (Nation State). Mereka merasa memiliki Negara Madinah sehingga masyarakat menjadi kokoh.
Nahdlatul Ulama sebagai organisasi kemasyarakaran dan keagamaan, menjadikan wawasan kebangsaan sebagai landasan dengan konsep: حب الوطن من الإيمان (Cinta tanah air bagian dari iman). NU tidak mengantagoniskan agama dan negara. Negara dan agama berjalan secara sinergis dan saling mengisi. Simbiosis mutualistik antara agama dan negara berjalan secara baik. Negara butuh agama dan agama butuh negara. Oleh karena itu, pada tahun 1984 dalam Muktamar di Situbondo, NU menerima Pancasila sebagai asas tunggal. Ini menunjukkan bahwa dalam mengembangkan wawasan kebangsaan, NU menggunakan akhlak mulia yang didasarkan pada prinsip-prinsip ajaran agama Islam secara baik.
Akhlak Nahdlatul Ulama dalam berdakwah mengikuti langkah yang dilakukan oleh Walisongo, tidak konfrontasi tapi akomudasi. Budaya yang eksis di nusantara tidak dihancurkan. Ketika Masjid Demak mau diresmikan, terjadi dialog antara Sunan Kalijaga dan Sunan Giri yang dimediatori oleh Sunan Ampel. Dalam peresmian itu, Sunan Kalijaga ingin menampilkan wayang kulit sebagai media dakwah. Sunan Giri menolak karena wayang kulit menyerupai manusia yang secara normatif dilarang oleh Rasilullah. Sunan Kalijaga akhirnya merubah wayang kulit agar tidak menyerupai manusia dengan mamanjangkan tangannya sampai ke tanah. Kreasi Sunan Kalijogo ini kemudian diterima oleh Sunan Giri. Akhlak semacam ini menciptkan kedamaian kepada masyarakat nusantara karena antara agama dan budaya tidak saling menghancurkan tapi saling mengisi. Dalam hal ini, NU mengembangkan akhlak Walisanga dalam berdakwah untuk membangun kebangsaan dan kenegaraan.
Dalam konteks kekinian, sebagian gerakan keagamaan cenderung tidak menggunakan akhlak mulia dengan menginport tardisi luar yang bertentangan dengan budaya nusantara. Sebagian dai cenderung mengkafirkan umat Islam yang mengamalkan ajaran Islam mengandung unsur budaya. Gerakan takfiri ini berdampak negatif bagi kehidupan berbangsa dan bernegara karena tidak memahami sosologis masyarakat. Gerakan ini justru mendapatkan pertentangan dari masyarakat karena dianggap konfrontatif. Selain gerakan takfiri, gerakan jihadi muncul. Negara Indonesia dianggap negara kafir, pemerintah dianggap thaghut dan mayoritas masyarakat Indonesia dianggap ahlul bid'ah wal khurafat. Mereka melakukan pengeboman dan pembunuhan kepada sesama masyarakat muslim. Mereka dianggap kafir yang harus dibunuh. Gerakan radikal keagamaan ini tidak mencerminkan akhlak mulia. Mereka justru membuat kerusakan di bumi nusantara.
Dari ulasan di atas bangsa dan negara akan kokoh jika akhlak dikedepankan. Wawasan kebangsaan perlu berdialektika dengan agama agar tidak terjadi konfrontasi. Dengan konsepsi ini, negara dan agama saling mengisi. Selain itu, budaya nusantara tidak dihancurkan tapi untuk dipertemukan ajaran agama. Dialektika semacam ini, akan menciptakan Islam Nusantara yang kuat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar