Selasa, 05 September 2017

Konsep Pendidikan Etika Sufistik-Filosofis al-Ghazali; Pengasuh Pesantren Al-Qur'an Asy-Syahadah



KONSEP PENDIDIKAN
ETIKA SUFISTIK-FILOSOFIS AL-GHAZÂLÎ
Oleh: Sahid HM
Abstrak
Kajian ini membahas konsep pendidikan etika al-Ghazâlî.  Pendekatan yang digunakan oleh al-Ghazâlî dalam membina etika bermuara pada sufistik-filosofis yang cenderung pada ma‘rifat Allâh (pengenalan terhadap Tuhan) dan diproses dengan metode tazkîyat an-nafs (membersihkan diri), taqarrub (mendekatkan diri kepada Allah), dan taassub (mengevaluasi diri) dengan cara riyâdlah (latihan). Tiga dimensi ini menjadi landasan untuk membina etika seseorang secara baik. Bagi seseorang yang jiwanya belum bersih, dia harus berguru dan minta petunjuk. Dengan demikian, guru dapat memberi petunjuk dan mengantarkan seorang murid sampai kepada Tuhan. Dalam perkembangannya, konsep pendidikan etika sufistik-filosofis al-Ghazâlî berpengaruh di belahan dunia baik secara teoritik maupun praktis. Dua pengaruh ini menggambarkan bahwa pemikiran al-Ghazâlî secara teoritis-praktis dalam bidang pendidikan etika menjadi pijakan.

Kata Kunci: Pendidikan, Etika, Tasawuf, dan Filsafat
Pendahuluan
            Al-Qur’ân sedikit membicarakan kosmogoni; ia lebih sering membuat pernyataan mengenai alam dan fenomenanya. Meskipun demikian, pernyataan ini pada hakikatnya menghubungkan alam dengan Allah, atau manusia, ataupun dengan keduanya. Pernyataan al-Qur’ân ini pada umumnya mendeskripsikan kekuasaan serta kebesaran Allah yang tidak terhingga dan menyerukan agar menusia beriman kepada-Nya, atau bersyukur kepada-Nya.[1]
            Al-Qur’ân sebagai petunjuk bagi manusia bukan hanya tertuju pada arti metafisis-eskatologis, tetapi juga berkaitan dengan persoalan praksis kehidupan manusia di dunia. Dalam konteks ini, manusia mempunyai peranan penting untuk mengaktualisasikan hubungan tersebut dengan serasi dan seimbang. Untuk itu, para pakar filsafat dan teologi berupaya menuangkan dua komponen tersebut sebagai instrumen hidup yang seimbang sehingga pada dataran diskursus—baik secara teoritis maupun aplikatif—mereka memunculkan wacana pendidikan etika sufistik-filosofis.
            Seorang filosofis sekaligus teolog Islam yang mampu meramu dua komponen tersebut adalah al-Ghazâlî. Dia menampilkan konsep pendidikan etika sufistik-filosofis dengan wacana ilmiah yang sangat memukau bagi para filosof dan teolog, meskipun diskursus dialektika ilmiahnya cenderung mengarah pada teologi. Dalam hal ini, ada orang yang menyebut konsep pendidikan etika sufistik-filosofis al-Ghazâlî tidak rasional murni.[2] Terlepas dari penilaian orang itu, yang jelas dia adalah peletak dasar konsep pendidikan etika sufistik-filosofis Islam. Untuk itu, tulisan ini menyajikan konsep pendidikan etika sufistik-filosofis al-Ghazâlî, sekaligus pengaruhnya.

Biografi al-Ghazâlî
            Dia bernama Abû âmid Muammad bin Muammad bin Muammad al-Ghazâlî.[3] Dia lahir di Ts, suatu kota kecil di Khurasân (Iran).[4] Ayahnya adalah seorang tukang pintal (al-Ghazzâl).[5]  Tempat kelahirannya adalah Ghazaleh, yang terletak di dekat Ts.[6] Ayahnya adalah seorang yang menjaga diri dari perbuatan-perbuatan tercela. Dia tidak mau makan kecuali dari hasil keringatnya sendiri.[7] Sikap menjaga diri ini terus dia jalankan sampai meninggal dunia.
            Ayahnya meninggal pada saat al-Ghazâlî dan satu saudara kandungnya Amad, masih kecil. Dia dan adiknya kemudian dipelihara oleh seorang sufi, kawan dekat ayahnya. Setelah dia belajar beberapa lama dengan para ulama di kampungnya, dia pergi ke berbagai tempat untuk melanjutkan studi sampai akhirnya dia berguru kepada Imam al-aramayn al-Juwaynî di Naysâbûr. Dari gurunya ini dia mempelajari berbagai ilmu yang lazim dipelajari orang pada waktu itu, sehingga dia menonjol dalam bidang logika, filsafat, perdebatan, dan lain-lain.[8] Bekal ilmu yang diperolehnya itu kemudian dia kembangkan dalam pencarian ilmu yang bernilai praksis, bukan teoritis.
            Al-Ghazâlî tinggal di Naysâbûr sampai wafatnya imam al-aramayn di tahun 1058 M. Kemudian dia pindah ke Baghdad dan enam tahun kemudian dia diangkat menjadi guru besar di Madrasah Nizhâmîyah yang ada di Baghdad. Dia mengajar di sana selama empat tahun.[9] Selama masih berada di Naysâbûr, al-Ghazâlî tidak saja belajar dengan imam al-aramayn, tetapi juga mempergunakan kesempatan belajar untuk menjadi pengikut sufi bersama Abû Fadll Muammad bin ‘Alî al-Farmadî al-Thûsî, seorang murid pamannya, al-Qusyayrî, yang ahli tasawuf.[10] Setelah itu, dia mengadakan latihan pembersihan spiritual sendiri dengan bertapa dan lain sebagainya.
            Di tengah-tengah perjalanan mengajar dia terjangkit penyakit keragu-raguan. Dia meragukan ilmu pengetahuan yang dia peroleh melalui pancaindra. Dia menganggap bahwa pancaindra terkadang berdusta. Di samping itu, dia juga meragukan ilmu pengetahuan yang diperoleh melalui rasio. Dia menganggap bahwa sesuatu yang ada dalam pikiran diproyeksikan oleh rasio melalui pancaindra sebagai objek analisis. Akibat penyakit keragu-raguan ini, akhirnya dia tidak mengajar. Pada tahun 1095 M dia meninggalkan Baghdad dan pergi yang pada awalnya ke Damaskus, kemudian ke Mekah, Madinah, Jerussalem, dan lain-lain. Menurut catatan sejarah, dia hidup sebagai seorang sufi. Setelah mengajar kembali ke Naysâbûr untuk beberapa tahun, dia meninggal dunia di Ts pada tahun 1011 M.[11]

Pemikiran al-Ghazâlî tentang Pendidikan Etika Sufistik-Filosofis
Al-Ghazâlî membagi orang yang mencari kebenaran ke dalam empat kelompok. Pertama, kelompok teolog yang menyatakan bahwa mereka adalah orang yang memiliki penilaian dan penalaran yang independen. Kedua, kelompok bâthinîyah yang mengklaim sebagai pemilik tunggal al-ta‘lîm (perintah otoritatif) dan pewaris istimewa pengetahuan yang diperoleh dari para imam ma‘sm. Ketiga, kelompok filosof yang bersikukuh bahwa mereka adalah ahli logika dan pembuktian apodeiktik. Keempat, kelompok sufi yang mengaku sebagai orang yang mengenal kehadiran Tuhan serta ahli pandangan dan iluminasi.[12]
Bagi al-Ghazâlî, empat hal tersebut merupakan masalah yang harus diselesaikan. Masalah besar yang dihadapi al-Ghazâlî pada masa itu adalah goncangnya kepercayaan umat Islam dalam menghadapi gempuran paham filsafat dan ideologi kaum keagamaan kaum Syî‘ah Bâthinîyah serta paham unisme yang menyimpang dari akidah. Pengamalan agama dan pemahaman yang terlalu rasioal dan ukmîyah juga menjadi problem.
Goncangan filsafat adalah warisan Yunani yang mendewa-dewakan akal dan dianggap sebagai qath‘îy al-dalâlah. Al-Ghazâlî menangkal konsep itu yang dituangkan dalam kitab al-Munqidz min al-Dlalâl. Dalam pembahasan ini ditunjukkan kelemahan dan kerelatifan dalil akal dalam pertumbuhan evolusi peningkatan jiwa manusia menuju kedewasaan. Petunjuk akal itu hanya sampai ke tingkat zhann dan tidak sampai pada yang qath‘î seperti perkiraan para filosof jika menjawab masalah ketuhanan dan alam ghaib. Menurut al-Ghazâlî, dasar pikiran yang diandalkan ilmu filsafat dinilai tidak cukup untuk menjelaskan dan membina ilmu ketuhanan. Dalam hal ini, al-Ghazâlî mengkritik dengan tajam pendapat para filosof dalam bukunya Tahâfut al-Falâsifah dengan menjelaskan kesesatan pendapat mereka serta ditunjukkan kelemahan dan kesalahannya.
Tentang goncangan kepercayaan yang dipandang sesat dari ajaran Syî‘ah Bâthinîyah yang mengharuskan percaya kepada imam-imam yang ma‘shûm, al-Ghazâlî menganjurkan agar masyarakat muslim percaya kepada Nabi Muhammad yang memang dianjurkan untuk dipercayai, tidak kepada para imam. Mengenai masalah ajaran sesat dalam sufisme, al-Ghazâlî menjelaskan dalam al-Munqidz min al-Dlalâl dengan mencoba membatasi penghayatan makrifat dalam sufsme agar dimoderasi sampai ke penghayatan yang amat dekat dengan Allah, tidak terjerumus ke paham ulûl, ittiad dan wushûl. Dengan demikian, al-Ghazâlî menolak penghayatan makrifat yang puncak, yaitu fanâ’ al-fanâ’. Dalam mengamalkan tasawuf, al-Ghazâlî membatasi pada yang tawassuth yang masih menyadari perbedaan yang fundamental antara Tuhan, manusia, dan alam, yaitu hanya sampai pada penghayatan yang dekat kepada Tuhan dan tidak dalam penyatuan. Dengan demikian, kesadaran diri bagi orang yang sedang makrifat tetap berbeda dengan Tuhan yang dimakrifati.
Dalam pemikiran al-Ghazâlî baik yang spekulatif maupun yang praksis dapat kita jumpai sintesis antara pemikiran filsafat, agama, dan mistik (tasawuf).[13] Teori pendidikan etikanya terdapat dalam kitab Mîzân al-‘Amal (Creterion of Action) dan dalam karya pendidikan etika religiusnya Iyâ’ Ulûm al-Dîn (Revival of Religion Sciences).[14]
Kitab Iyâ‘ Ulûm al-Dîn adalah karya al-Ghazâlî yang sangat monumental dalam bidang pendidikan etika. Di dalam jilid ke-3 pembahasan mengenai pendidikan etika secara langsung disentuh dalam pembahasan. Di dalam jilid itu dia menulis secara rinci dan transparan tentang konsepsi pendidikan etika mistiknya. Dalam hal ini, pendidikan etika al-Ghazâlî masuk ke dalam tasawufnya. Pembahasan etika dalam Iyâ’ merupakan draf dan pengembangan dari pembahasan yang terdapat dalam Mîzân. Sebenarnya kitab Mîzân adalah karya yang lebih metodis dan komprehensif daripada bagian-bagian yang berkaitan dengan masalah pendidikan etika dari Iyâ’.[15] Hanya saja berbagai kalangan menganggap bahwa Iyâ’ yang merupakan sentral studi filsafat etika sufistik yang standar untuk dijadikan pegangan.
Mengenai tujuan pokok dari etika al-Ghazâlî kita temui semboyan tasawufnya yang terkenal, yaitu al-takhalluq bi akhlâq Allâh ‘alâ tqat al-basyarîyah (berperilaku sesuai etika Allah menurut kemampuan manusia), atau pada semboyannya yang lain, yaitu al-insf bi shifât al-Ramân ‘alâ tqat al-basyarîyah (mensifati sebagaimana sifat Tuhan menurut kemampuan manusia).[16] Semboyan di atas mengillustrasikan kesanggupan manusia meniru perangai dan sifat-sifat ketuhanan serta sifat-sifat yang disukai Tuhan seperti pengasih, penyayang, pemaaf, sabar, jujur, dan lain sebagainya. Dengan mempraktikkan perilaku yang bernuansa sifat-sifat ketuhanan dan sifat-sifat yang disukai Tuhan, manusia diharapkan mampu mengendalikan hawa nafsu yang mengantarkan pada hal-hal yang negatif.
Term etika dalam sembayan tersebut sering diidentikkan dengan budi pekerti, adab, susila, sopan santun, dan tatakrama. Kata tersebut dalam kosa kata Arab sering disebut al-akhlâq. Al-akhlâq merupakan bentuk plural data al-khuluq yang artinya budi pekerti atau moralitas. Kata yang disebutkan dua kali dalam al-Qur’ân (al-Syu‘arâ’ ayat 137 dan al-Qalam ayat 4) itu pada mulanya diproyeksikan sebagai partner kata al-khalq yang artinya ciptaan. Meskipun berasal dari akar kata yang sama (kh-l-q), kedua term tersebut memiliki pengertian yang bertolak belakang. Al-khuluq merupakan karakteristik ketuhanan yang bersifat immateri dan permanen, sedang al-khalq sebagai partner eksistensi manusia yang bersifat materi, bisa dilihat dan sementara. Keduanya tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Menegasikan salah satunya akan memudarkan jati diri manusia. Manusia sejati (al-insân al-kâmil) sebagai manifestasi asan taqwîm (format ciptaan Tuhan terbaik), baru bisa berwujud jika antara al-khuluq memiliki irama dan ritme yang selaras dengan al-khalq.[17]
Menyamakan pekerjaan di atas tidak mudah dan gampang, tidak semudah teori yang dibaca dan dituturkan. Pada diri manusia selain diberi hati nurani yang senantiasa menegakkan karakteristik ketuhanan (al-khuluq), juga terdapat hawa nafsu yang cenderung tergiur pada materi yang nisbi dan instant. Setiap hari, setiap jam, setiap menit, setiap detik antara keduanya terus terjadi tarik-menarik untuk mempengerahui seorang manusia dalam perang hawa nafsu. Jika kemenangan di pihak nafsu, manusia akan turun derajatnya dan etikanya menjadi bejat melebihi binatang. Jika hati nurani mampu mengunggli nafsu, orang tersebut akan naik derajatnya dan etikanya terpuji melebihi para malaikat Tuhan sebagai asan taqwîm. Tipologi manusia terakhir yang layak menjadi wakil Tuhan di muka bumi (khalîfah Allâh fî al-Ardl) untuk mengatur alam semesta. Sebaliknya, apabila dunia seisinya ini diurus oleh manusia yang etikanya bejat dan tidak mampu menyeimbangkan antara format al-khalq dan al-khuluq, kehancuran dan kebinasaan akan menimpa alam emesta.[18]
Wujud kerohanian tersebut bisa berupa qalb, bashîrah, fu’âd, dlamîr, atau sirr. Semuanya itu akan diisi dengan ma‘rifat Allâh dengan cara mendekatkan diri kepada Allah. Kedekatan ini tidak digapai hanya dengan bekal materi tetapi immateri. Untuk itu, hawa nafsu yang rangsangannya adalah materi dihadapi dengan jihâd, sedang hawa nafsu yang bermuara kepada immateri harus dihadapi dengan mujâhadah.[19]
Dua karakter yang bertolak belakang tersebut menjadi perhatian al-Ghazâlî. Karakter jelek harus dibinasakan dengan berbagai cara dengan memunculkan karakteristik baik. Karakter baik yang dimunculkan oleh manusia diupayakan mengikuti irama karakter ketuhanan dalam batas kemanusiaan. Untuk itu, al-Ghazâlî sangat intens membahas pola hidup manusia yang mengarah kepada perilaku Tuhan dengan memunculkan karakter baik kemanusian.
Dalam konteks sabar, al-Ghazâlî memberi penekanan pada esensinya, yaitu keteguhan yang mendorong hidup beragama dalam menghadapi dorongan hawa nafsu. Karakteristik manusia terkomposisi dari unsur malaikat dan unsur binatang. Binatang hanya dikuasai oleh dorongan-dorongan nafsu birahi, sedangkan para malaikat tidak. Mereka semata-mata diarahkan pada kerinduan untuk menelusuri keindahan Tuhan dan dorongan untuk mendekati-Nya. Mereka bertasbih menyucikan Allah sepanjang siang dan malam tiada henti. Pada diri mereka tidak terdapat dorongan-dorongan hawa nafsu.[20] Sementara pada diri manusia dan binatang tidak terdapat sifat sabar, bahkan manusia itu cenderung dikuasai oleh dua macam pasukan yang saling menyerang dan berebut untuk menguasainya.[21]
Serangan dimulai dengan memerangi pasukan syetan. Jika pendorong agama lebih kuat dalam menghadapi pendorong hawa nafsu, maka tingkatan sabar telah tercapai. Sabar itu tidak pernah terwujud kecuali setelah terjadinya perang antara kedua pendorong tersebut. Hal ini identik dengan kesabaran saat neneguk obat pahit yang didorong oleh dorongan akal pikiran, namun dicegah oleh dorongan-dorongan hawa nafsu. Setiap orang yang dikalahkan hawa nafsunya tidak akan menelan obat pahit tersebut; sebaliknya, orang yang akal pikirannya dapat mengalahkan hawa nafsunya mampu bersabar dengan rasa pahit obat itu agar bisa sembuh.[22]
Untuk mengendalikan hawa nafsu dan hal-hal negatif, al-Ghazâlî membagi jalan dengan tazkîyat al-nafs (membersihkan jiwa) dan tahdzîb al-akhlâq (membina etika).[23] Bagi al-Ghazâlî, wawasan tazkîyat al-nafs merupakan konsep pembinaan mental spiritual, pembentukan jiwa, atau penjiwaan hidup dengan nilai-nilai agama Islam.[24] Jika proses penjernihan jiwa sudah dilakukan dan pengaruh positif telah muncul, hubungan jiwa dengan Tuhan dapat teraktualisasi dan etika ketuhanan selalu tercermin dalam kehidupannya.
Dengan demikian, konsep pendidikan tazkîyat al-nafs sangat erat hubungannya dengan etika dan kejiwaan. Dalam hal ini, al-Ghazâlî mengarahkan manusia pada sikap beretika baik dan beriman kepada Allah. Untuk menempuh jalan itu, ia harus melaksanakan tazkîyat nafs. Untuk itu, tazkîyat al-nafs sangat dibutuhkan untuk sampai kepada Allah. Ia sebagai instrumen dan pengantar agar manusia sampai kepada Tuhan. Tuhan itulah sebagai satu-satunya Zat yang dituju oleh manusia sehingga perilakunya mencerminkan etika yang bernuansa ketuhanan. Bagi setiap pemula dan setiap orang yang berada dalam tahap menengah, bahkan setiap orang yang telah mencapai tahap tertinggi, pengekangan diri mutlak diperlukan dan sama sekali tidak bisa dihindarkan oleh sang hamba Allah.[25] Pengekangan diri itu merupakan cara dari pendidikan tazkîyat al-nafs. Hal ini dapat dijadikan indikasi bahwa tazkîyat al-nafs tidak mudah dicapai karena harus mengekang diri secara optimal.
Di dalam al-Munqidz min al-Dlalâl, al-Ghazâlî menjelaskan bahwa kunci mengetahui Tuhan adalah mengetahui jiwa. Al-Ghazâlî mensinyalir firman Allah: "Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda kekuasaan Kami di segenap cakrawala dan pada diri mereka sendiri sehingga menjadi jelas bagi mereka bahwa al-Qur’ân itu benar."[26] Dia juga mengutip sabda Rasulullah yang berbunyi: "Barangsiapa yang mengetahui jiwanya, dia akan mengetahui Tuhannya."[27]
Dalam kitab Riyâdl al-Nafs, al-Ghazâlî memasukkan tazkîyat al-nafs sebagai metode pembinaan mental pendidikan etika dengan tujuan agar terjadi keseimbangan dan kebaikan akhlak serta kesehatan jiwa.[28] Oleh karena itu, al-Ghazâlî memberikan porsi yang sangat penting terhadap pembinaan jiwa untuk menjaga kestabilan hidup. Jika dicermati, pandangan al-Ghazâlî tentang tazkîyat al-nafs dalam Iyâ’ memberi pengertian yang lebih luas daripada yang dikemukakan para ahli filsafat etika.[29] Dalam Iyâ’, pengertian tazkîyat al-nafs terdapat dalam setiap rub‘ dan kitâb.[30] Hal ini menjadi bukti bahwa betapa besarnya perhatian al-Ghazâlî terhadap masalah tazkîyat al-nafs. Secara keseluruhan, misi Iyâ’  adalah tazkîyat al-nafs, karena konsep kehidupan yang baik yang terdapat dalam buku ini bisa dijadikan dasar pelaksanaan kehidupan beragama.[31] Yang menarik dalam kerangka metodologinya untuk membersihkan jiwa dalam tasawuf, al-Ghazâlî menekankan adanya struktur jarak antara guru dan murid. Dia mengaksentuasikan kepada murid agar tunduk kepada guru. Murid harus mengikuti tanpa syarat sebelum ia mampu mencerna ajaran mistik atau tasawuf yang diberikan secara utuh.
Aturan tentang hubungan antara murid dengan guru dijelaskan oleh Fazlur Rahman—sebagaimana dikutip Amin Abdullah—sebagai berikut:
Merupakan suatu keharusan bagi seorang murid untuk meminta petunjuk atau bantuan kepada seorang guru (syekh) yang dapat membimbingnya ke jalan yang benar. Oleh karena jalan menuju kebenaran (agama yang benar adalah sulit, sedang jalan menuju kejahatan syetan adalah beraneka ragam dan gampang), maka bagi siapa saja yang tidak mempunyai guru (syekh) yang dapat membimbingnya ke jalan yang benar, dia akan mudah dibimbing oleh syetan ke jalan kesesatan. Oleh karena itu, seorang murid harus setia kepada syekhnya seperti si buta setia sepenuhnya pada tongkat petunjuk jalannya di seberang sungai. Dia harus benar-benar percaya kepada syekhnya dan tidak boleh menentangnya dalam hal apapun dan lagi pula dia harus berjanji pada dirinya sendiri untuk benar-benar mengikuti ajarannya secara mutlak. Hendaknya dia (murid) tahu bahwa keuntungan yang dapat dia peroleh dari tindak perilaku syekh yang salah—kalau syekh tadi berbuat salah—adalah lebih besar manfaatnya daripada manfaat yang dia peroleh dari kebenaran yang dia temukan sendiri, kalau saja dia benar dalam menemukan jalan kebenaran tersebut.[32]
Semua manusia yang dianugerahi pengetahuan batin mengakui bahwa latihan rohani dan kezuhudan hanya bermanfaat di bawah instruksi seorang syekh yang "sadar." Penyucian dari berbagai noda serta keberhasilan mendekatkan diri dan kerendahan hati dalam doa dan ibadah bisa dicapai jika ditempuh melalui bimbingan syekh paripurna yang mengetahui psikologi manusia dan berbagai masalah spiritual melalui pengetahuan, perasaan, dan pengalaman.[33] Syekh dalam posisi ini sebagai sentral pengarah untuk mengantarkan murid pada jalan menuju Allah.
Selain itu, al-Ghazâlî mengidentifikasi hubungan guru dan murid dengan hubungan dokter dan pasien. Dokter harus mengikuti pasien sesuai dengan penyakit yang dideritanya. Dia tidak boleh hanya menggunakan satu obat jika penyakitnya bermacam-macam. Jika hal itu dilakukan, kondisinya justru semakin parah. Demikian juga seorang guru; dia tidak boleh mengobati beberapa penyakit hanya dengan satu metode. Hal ini jika dilakukan justru akan memperburuk kondisi para murid dan membahayakan mereka. Dalam hal ini, al-Ghazâlî mengatakan:
Seorang dokter jika mengobati semua penyakit dengan satu obat, dia akan membunuh banyak orang. Demikian juga seorang guru; jika dia memberi petunjuk kepada murid dengan satu bentuk latihan, dia akan merusak mereka dan mematikan hati mereka. Oleh karena itu, syekh harus mengetahui penyakit murid, kondisinya, umurnya, dan temparamennya.[34]
Uraian itu mengilustrasikan adanya metodik praktis dalam membentuk etika seorang murid. Penyakit jiwa yang berupa etika tercela seperti penyakit fisik. Jika badan sakit panas misalnya, obatnya adalah yang menurunkan panas, demikian juga seterusnya.
Mayoritas pemikir Arab sepakat bahwa kekejian (kehinaan) merupakan penyakit jiwa yang membutuhkan pengobatan. Dari aspek ini, segi keserupaan antara ilmu etika dan ilmu kedokteran menjadi tampak. Dalam konteks ini, ilmu etika menjadi pekerjaan yang mengantarkan pada pengobatan berbagai penyakit dan menjaga kesehatan, yang pada akhirnya adalah merealisasikan kebahagiaan.[35] Untuk itu, al-Ghazâlî sangat intens membahas persoalan etika sufistik-filosofis agar manusia dapat membersihkan jiwanya sehingga mencapai kebahagiaan yang hakiki di dunia dan akhirat.
Pada aspek ibadah, al-Ghazâlî mempertajam analisisnya terhadap rahasia-rahasia ibadah dan tasawufnya. Uraiannya tentang thahârah tidak hanya menekankan aspek lahir tetapi juga aspek batin. Dalam elaborasinya tentang ibadah, dia menuangkan berbagai ibadah dengan mengarah pada beberapa hal seperti salat, puasa, dan haji. Oleh karena itu, ibadah bagi al-Ghazâlî merupakan instrumen untuk mengantarkan pada pembersihan rohani.
Terkait dengan konsep ibadah, menurut al-Ghazâlî, ada dua hal yang sangat penting tentang sumber kebaikan bagi manusia. Pertama, sumber kebaikan yang terletak pada kebersihan rohani. Kedua, sumber kebaikan yang terletak pada taqarrub kepada Allah. Al-Ghazâlî menganggap Tuhan sebagai pencipta yang aktif berkuasa, yang sangat memelihara dan menyebarkan rahmat (kebaikan) bagi sekalian alam. Dalam hal ini, dia sama sekali tidak cocok dengan prinsip filsafat klasik yang menganggap Tuhan sebagai kebaikan yang tertinggi, tetapi pasif menanti pendekatan diri dari manusia.[36] Menurutnya—sebagaimana yang terdapat dalam berbagai karyanya—sumber kebaikan adalah Tuhan yang telah menganugerahkannya kepada manusia melalui berbagai cara. Oleh karena itu, manusia mempunyai tugas mempersiapkan diri menerima cahaya Tuhan dengan membersihkan jiwa. Cara ini dilakukan kerena hambatan menerima cahaya Tuhan (kebaikan) akibat kotornya jiwa. Oleh karena itu, manusia harus mengendalikan hawa nafsu dan tetap beribadah kepada Allah.
Tentang taqarrub, al-Ghazâlî memberikan cara latihan secara langsung yang menyentuh dan mempengaruhi rohani seperti murâqabah dan muâsabah.[37] Dalam hal ini manusia merasa diawasi oleh Tuhan dan selalu introspeksi diri. Dengan dua cara ini, manusia selalu berusaha untuk sampai kepada Tuhan. Sistem pemikiran al-Ghazâlî tersebut merupakan upaya untuk membatasi penghayatan mistik (tasawuf) dengan penghayatan qurbah. Oleh karena itu, dalam al-Munqidz min al-Dlalâl, al-Ghazâlî menyalahkan paham ulûl, ittiâd, dan wusl sebagai paham-paham union-mistik atas dasar khayal belaka.[38] Kemudian, al-Ghazâlî menyusun Iyâ’ sebagai ajaran tasawuf yang dipandang ideal, yang menjalin keselarasan antara syariat dan tasawuf,[39] tasawuf sebagai penggerak syariat, sedangkan syariat sebagai pelurus tasawuf. Kedua hal ini oleh al-Ghazâlî dijadikan kekuatan yang seimbang untuk beribadah kepada Allah.
Untuk menjaga keseimbangan hidup dalam beribadah, al-Ghazâlî menyelaraskan pengalaman tasawuf dengan syariat yang dicetuskan dan menjadi perhatian ulama sufi sebelunya. Al-Ghazâlî secara konkret berhasil merumuskan dan mengkompromikan secara ketat antara pengalaman sufisik dan syariat sebagaimana yang tertuang dalam Iyâ’. Di dalam kitab ini dibahas secara penjang lebar dan mendalam pelaksanaan kewajiban agama beserta pokok-pokok akidah yang berkaitan dengan syariat. Tarekat dan makrifat dibahas secara rinci dengan menakankan pada muâsabah dan tazkîyat al-nafs. Cara zikir dan penghayatan alam ghaib hingga mencapai penghayatan dekat dengan Allah dan menyaksikan secara langsung zat-Nya, dibahas. Penyakit yang merusak hati dan keburukan yang berkaitan dengan mulut, mata, telinga, dan anggota fisik lain, perbuatan manusia, dan tatacara menyembuhkannya juga diungkap. Pembahasan ini bermuara pada pendidikan etika sufistik-filosofis yang dikembangkan oleh al-Ghazâlî untuk pembinaan mental dan ketakwaan kepada Tuhan.
Pokok pikiran al-Ghazâlî dalam Iyâ’ menggambarkan pembahasan hubungan antara syariat dan hakikat. Dalam uraiannya, seseorang yang belum mempelajari dan mengamalkan tasawuf, dia harus memperdalam ilmu syariat dan akidah. Dia harus konsekuen menjalankan syariat secara baik. Dalam pelaksanaan ibadah yang berkaitan dengan syariat seperti salat dan puasa, al-Ghazâlî membagi menjadi tiga tingkatan, yaitu salat atau puasanya orang ‘awâm, khawâsh, dan khawâsh al-khawâsh. Sesudah menjalan syariat secara baik, seseorang boleh mempelajari tarikat. Dalam hal  ini, muâsabah dan tazkîyat al-nafs serta praktik zikir untuk mencapai mukâsyafah dalam makrifat adalah penting. Untuk mempertahankan nilai-nilai luhur dan spiritual, pengendalian nafsu dan penyakit yang mengokotori hati dan badan harus diatasi. Konsepsi ini mengilustrasikan bangunan sarana penyelarasan hubungan syariat dan hakikat.

Pengaruh Pendidikan Etika Sufistik-Filosofis al-Ghazâlî
Kedudukan al-Ghazâlî di kalangan umat Islam bukan sekadar kehebatan dan kebesaran karya ilmiahnya, atau karena usahanya untuk membendung bahaya aliran kebatinan dan perang pemikiran terhadap filsafat Yunani. Kedudukannya yang semakin tinggi justru karena cahaya spiritualitas dan pengaruh perasaannya yang telah dianugerahkan Allah kepadanya, yang cahaya spiritualitas itu meninggalkan pengaruh di kalangan umat Islam sepanjang abad hingga sekarang.[40]
Cahaya spiritualitas al-Ghazâlî sangat tampak dalam penjernihan diri, khususnya dalam keikhlasan. Keikhlasan adalah prioritas utama al-Ghazâlî. Dia rela menghabiskan umurnya dalam mencari tujuan tersebut.[41] Dalam pencariannya, dia melewati perjalanan panjang untuk mencari kebenaran. Menurutnya, kebahagiaan  hakiki adalah kebahagiaan akhirat. Tidak ada ambisi untuk mencapai kebahagiaan akhirat tersebut kecuali dengan takwa dan menahan hawa nafsu. Puncak dari itu semua adalah memutuskan hubungan hati dengan dunia.[42] Pada akhir perjalanan intelektualnya, al-Ghazâlî berkesimpulan bahwa pendidikan batin yang diperlukan oleh manusia bukan pendidikan intelektual untuk memperoleh kebahagiaan hidup di dunia. Oleh karena itu, al-Ghazâlî meramu pembahasannya tentang mistik yang bersifat kerohanian dengan formulasi yang begitu ketat dan mengikat agar manusia mencapai ketenangan batin. Dalam kitabnya al-Munqizh min al-Dlalâl, al-Ghazîlî menjelaskan bahwa hanya jalan mistik yang memuaskan dan mengantarkan pada ketenangan dirinya setelah menempuh pergumulan intelektual.
Upaya al-Ghazâlî membuat sistem ajaran tasawuf sangat berpengaruh dan menentukan arah perkembangan tasawuf di dunia Islam, terutama dunia Islam bagian Timur. Kesuksesan al-Ghazâlî menyusun konsep pendidikan etika sufistik-filosofis yang serasi dan seimbang itu menggait massa dan pendukung yang banyak, terutama dari kalangan ulama moderat. Ajaran al-Ghazâlî kemudian menjadi aliran raksasa yang kokoh dan mengakar di masyarakat. Pengaruh ini tidak hanya di daerahnya, tetapi juga di daerah lain seperti Indonesia.
Dalam dunia pesantren generasi awal, warna sufisme yang kental  terlihat dari anutan mereka yang didominasi oleh sufisme al-Ghazali, sufisme yang sangat kuat mewarnai kesantrian masa itu. Dalam kelompok ini, buku-buku karangan al-Ghazâlî adalah sumber bacaan sufisme yang paling digemari dan pada umumnya memuat pokok bahasan tasawuf akhlak dan amali, yang keseluruhannya beraliran tasawuf sunni.[43]
Jika merujuk pada perkembangan Islam di Jawa, umumnya digerakkan oleh Walisongo. Sebutan itu sudah cukup beralasan bahwa mereka pengikut tasawuf al-Ghazâlî. Bukti ini diperkuat oleh hikayat Jawa yang mengisahkan drama pertentangan antara Sunan Giri dan Sunan Kalijaga di satu pihak dengan Syekh Siti Jenar di pihak lain, sebuah pertentangan antara tasawuf sunni dan tasawuf falsafi. Kisah ini hampir sama dengan serangan al-Ghazâlî yang mengkritik Ibn al-‘Arabî dan al-allâj. Dengan demikian, di Indonesia secara umum ajaran sufistik al-Ghazâlî menjadi landasan untuk mengukur orang lain dalam bidang tasawuf.
Dalam konteks di atas, Mukti Ali mengungkapkan bahwa pengaruh al-Ghazâlî dalam pemikiran Islam di antaranya adalah sebagai berikut. Pertama, membawa manusia kembali dari pemikiran skolastik terhadap dogma-dogma teologis kepada meneliti, mempelajari, dan menafsiri al-Qur’ân dan hadis secara langsung. Ikatan skolatikisme abad pertengahan yang terjadi di Eropa Kristen diputus. Di dunia Islam, kebanyakan orang terperangkap di bawah pimpinan al-Ghazâlî. Dia bisa menjadi ahli ilmu kalam jika berhadapan dengan ahli kalam. Hanya saja, metode al-Ghazâlî dalam menjelaskan doktrin-doktrin teologis didasarkan pada al-Qur’ân dan hadis. Oleh karena itu, di Barat dia dikenal dengan Biblical Theologian. Kedua, dia membawa filsafat dan ilmu kalam (pemikiran ketuhanan berdasarkan filsafat) dalam jangkauan pemikiran awam. Sebelum al-Ghazâlî, filsafat dan ilmu kalam merupakan ilmu yang kurang lebih eksklusif yang diliputi dengan penuh misteri. Bahasanya aneh, kata-kata dan istilah yang digunakan perlu dipelajari secara khusus. Orang yang mampu bahasa Arab belum tentu memahami kitab-kitab filsafat. Ide-ide Yunani dan ungkapan-ungkapan yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dengan bahasa Suryani sangat sulit dipahami oleh kebanyakan orang. Latihan yang panjang diperlukan sebelum dapat memahami uraian, argumen, dan metode filsafat. Ketentuan itu diubah oleh al-Ghazâlî. Dalam hal ini, dia menyajikan kitab Tahâfut al-Falâsifah.[44] Dua pengaruh di atas dapat menempatkan Islam kembali ke fakta-fakta fundamental dan historis dengan menempatkan emosi agama pada sistem pemikiran Islam.
Pengaruh al-Ghazâlî tidak terbatas pada dunia Islam saja, tetapi melebar sampai ke dunia Barat. Sebagaimana dijelaskan Palacios, pengaruh al-Ghazâlî tampak jelas pada para ahli teologi Yahudi yang banyak bersandar pada al-Ghazâlî dalam banyak pendapat mereka. Palacios menyebutkan bahwa dalam buku-buku mereka yang terkenal terdapat paragraf al-Ghazâlî, bahkan menukil beberapa halaman dari kitab-kitab al-Ghazâlî, seperti Maqâshid al-Falâsifah, Tahâfut al-Falâsifah, al-Munqidz min al-Dlalâl, Iyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, Mizân al-‘Amal, dan sebagainya.[45] Al-Ghazâlî sangat berpengaruh pada Yahudi. Beberapa ilmuwan Yahudi di abad pertengahan memahami bahasa Arab dengan baik dan beberapa buku al-Ghazâlî diterjemahkan ke dalam bahasa Ibrani. Mizân al-‘Amal ­secara khusus dibaca secara luas di kalangan Yahudi abad pertengahan. Beberapa terjemahannya dibuat dalam bahasa Ibrani dan dicetak kembali untuk para pembaca Yahudi dengan mengganti ayat-ayat al-Qur’ân dengan pasal-pasal dari Taurat. Salah seorang pemikir Yahudi besar yang terpengaruh oleh al-Ghazâlî adalah Moeses been Maimonades atau Mûsâ bin Maimûn (1135-1204 M) yang menulis buku Dalâlat al-a’irîn (Petunjuk bagi Orang-orang yang Bingung).
Al-Ghazâlî juga mempengaruhi beberapa pemikir Nasrani di Eropa yang menggunakan buku-bukunya dan bersandar pada pendapat-pendapatnya seperti filosof Thomas Aquinas, Pascal, dan sebagainya.[46] Pengaruh metode skeptis milik al-Ghazâlî tampak jelas pengaruhnya pada metodologi Descartes. Para peneliti telah menunjukkan persamaan besar antara dua metode tersebut. Mereka menyimpulkan bahwa ilmuwan pada periode berikutnya telah terpengaruh oleh ilmuwan periode sebelumnya, apalagi buku-buku al-Ghazâlî telah banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Eropa.[47] Selain itu, pengaruh al-Ghazâlî dapat ditemukan dalam berbagai karya para filosof dan ilmuwan abad pertengahan dan awal periode modern, khususnya St. Thomas Aquinas (1225-12274 M), Dente Aleghiere (1265-1321 M), dan David Hume (1711-1776 M).
Kalangan orientalis juga banyak yang tertarik pada al-Ghazâlî, misalnya Renan yang pernah memujinya. Menurut Munich, kebesaran al-Ghazâlî terpusat pada metode skeptis yang menempati kedudukan terhormat dalam sejarah filsafat Barat. Menurut Carra de Voux dari Perancis, al-Ghazâlî telah mendahului Kant dalam menemukan teori "kelemahan akal." Kitab Tahâfut al-Falâsifah adalah kitab terbaik untuk mempelajari nilai akal.
Meskipun demikian, hal itu bukan berarti mematikan sama sekali ajaran union-mistik. Ajaran ini masih tetap jalan sekalipun pada akhirnya hanya diikuti oleh orang-orang tertentu saja, yaitu sekelompok kecil dari kalangan sufi. Hal ini terbukti—sesudah al-Ghazâlî wafat—paham union-mistik memuncak menjadi paham wadat al-wujûd di tangan Ibn al-‘Arabî (1165-1240 M) yang kemudian menyebar. Penyebaran ajaran wadat al-wujûd sampai pula pengaruhnya ke Indonesia melalui Aceh dengan perantaraan India. Dari Aceh paham wadat al-wujûd menyebar ke daerah-daerah lain seperti Sumatera Barat, Jawa Barat, dan terus ke jantung kerajaan Mataram. Paham wadat al-wujûd akhirnya justru disenangi oleh penguasa kerajaan Mataram yang berpusat di Surakarta.[48]
Selain di atas, konsep pendidikan etika sufistik-filosofis al-Ghazâlî yang dituangkan dalam bentuk praksis juga sangat berpengaruh di belahan penjuru dunia. Implikasi dan konsekuensi secara sosiologis mengkristal di benak pribadi seseorang maupun kelompok. Ini tercermin dalam bentuk pengajian-pengajian yang diadakan baik secara formal maupun informal. Bahkan jika diamati lebih lanjut, etika sufistik-filosofis al-Ghazâlî dijadikan pegangan oleh kalangan kelompok pengajian tarekat (tharîqah) secara dogmatis, bukan analisis. Oleh karena itu, mereka menggantung di tali konsepsi filsafat etika sufistik al-Ghazâlî.
Dalam wacana ilmiah, dapat dilihat secara riil bahwa referensi yang dijadikan pijakan dalam filsafat etika Islam adalah Iyâ’ ‘Ulûm al-Dîn. Bahkan dapat dikatakan, kitab ini menjadi pijakan sentral setelah al-Qur’ân dan al-Sunnah dalam berbagai buku kontemporer. Di Indonesia, kitab itu dijadikan landasan dalam beretika sebagaimana di Barat menjadi bahan diskusi meskipun tidak menjadi pegangan praktis. Hal ini sebagai indikasi bahwa pendidikan etika sufistk-filosofis al-Ghazâlî sangat besar pengaruhnya, baik bagi yang pro maupun yang kontra.
Pengaruh hubungan antara guru dan murid ini sangat melekat di kalangan pesantren. Guru tidak ubahnya seperti raja yang memberikan nasehat kepada bawahannya. Dalam hal ini, arah ajaran etika lebih cenderung beraroma normatif daripada wacana pemikiran. Untuk itu, hubungan kedua belah pihak yang terus berjalan dengan posisi atas dan bawah sulit dilepaskan. Dalam hal ini, sistem pendidikan pesantren menerapkan prinsip-prinsip al-Ghazâlî yang sampai sekarang masih eksis. Terlepas dari kritik yang muncul bahwa ide rekonsiliasi yang dibawa al-Ghazâlî kurang dikembangkan oleh pesantren dan tidak dijabarkan secara dialektik dengan konteks lokal. Dengan demikian, format konstruksi pemikiran masih menampakkan khas manifestasi abad pertengahan yang dinilai statis dan rigid.
Tulisan al-Ghazâlî tentang pendidikan etika merupakan puncak kulminasi tertinggi dari pemikirannya tentang pengetahuan. Abad ke-12 M hingga abad ke-19 M, pemikiran Islam tentang pendidikan etika sangat besar dipengaruhi oleh al-Ghazâlî. Beberapa karya yang ditulis oleh intelektual muslim berikutnya, menurut catatan Irsyad Zamjani,[49] banyak menukil karaya al-Ghazâlî. Karya al-Zarnûjî (w. 1175 M/571 H) yang berjudul Ta‘lîm al-Muta‘allim Tharîqat al-Ta‘allum, misalnya adalah suatu kompilasi dasar dari pasal-pasal dalam Iyâ’ ‘Ulûm al-Dîn dan Mizân al-‘Amal karya al-Ghazâlî yang diproduksi secara literal dengan beberapa penambahan kacil. Pengarah al-Ghazâlî secara tidak langsung ditemukan dalam tulisan al-Thûsî (w. 1273 M/672 H), salah seorang ilmuwan terkemuka abad pertengahan, penulis dari 100 buku tentang filsafat, logika, etika, matematika, dan astronomi. Karya terpentingnya dalam bidang pendidikan adalah Akhlâq al-Nâsirî dan Adab al-Muta‘allimîn. Demikian halnya Ibn Jam‘ah (w. 1332 M/733 H), penulis Tadzkirat al-Sâmi‘ wa al-Mutakallim fî Adab al-‘Âlim wa al-Muta‘allim, terpengaruh secara langsung oleh al-Ghazâlî.
Karya Ibn al-ajj al-‘Abdarî (w. 1336 M/737 H), Madkhal al-Syar‘î al-Syarîf praktis memiliki karakter sama dengan Iya’ ‘Ulûm al-Dîn, namun merefleksikan perbedaan besar antara peradaban Islam abad ke-5 H dan abad ke-8 H. Penulis sering menyebutkan al-Ghazâlî dan tampak memperkenalkan dengan baik ide-ide dan tulisan-tulisannya, baik mengenai topik-topik umum maupun mengenai pendidikan. Pada abad ke-16 M (abad ke-8 H) didapatkan Ibn ajar al-Haytamî, penulis Tarîr al-Maqâl fî al-Adab wa al-Akâm wa al-Fawâ’id Yataj ilayhâ Mu’addib al-Ahtfâl, seorang Mesir yang melakukan studi dan mengajar di al-Azhar sebelum berpindah ke wilayah sekitar Mekah. Tulisan-tulisannya adalah tipe pemikiran dan literatur yang bergulir pada era Turki Usmani. Ia memusatkan pada pengajaran di katâtib termasuk juga pada panduan kerja beserta aturan yang harus dipenuhi oleh para guru pengajar sekolah. Ia berulangkali mengutip dan merujuk pada al-Ghazâlî.

Kesimpulan
Dari berbagai formulasi di atas dapat ditarik dua kesimpulan.
1.      Dalam pendidikan etika sufistik-filosofis, al-Ghazâlî memberi penekanan kepada orang-orang yang ingin sampai kepada Allah dan ingin mengetahui-Nya dengan cara tazkîyat al-nafs (membersihkan diri). Hal ini dapat dilakukan dengan beberapa cara, di antaranya dengan latihan. Apabila jiwanya telah bersih, dia dapat mengetahui jiwanya. Dengan demikian, dia akan mampu "mengetahui" Tuhan. Untuk itu, dia harus berusaha ber-taqarrub kepada Allah dan ber-taassub. Di samping hal tersebut, seseorang yang belum mampu membersihkan jiwanya, dia harus berguru kepada syekh. Dia harus meminta petunjuk kepadanya secara dogmatis dengan berjanji setia dan melaksanakan petunjuknya secara mutlak.
2.      Pendidikan etika sufistik-filosofis al-Ghazâlî dapat menumbangkan aliran tasawuf yang berlaku pada saat itu dan dapat menarik massa yang begitu banyak. Dengan kebesaran al-Ghazâlî, pendidikan etika sufistik-filosofisnya sangat berpengaruh dan berkembang ke belahan dunia baik di dunia Islam maupun dunia Barat, terutama di dunia Islam bagian Timur. Pengaruh tersebut juga bukan hanya kepada umat Islam, tetapi juga kepada pemikir Yahudi dan Nasrani, baik kalangan teolog maupun filosof. Secara praktis, etika sufistik-filosofis al-Ghazâlî dapat dijadikan pijakan oleh kalangan pengikut tarekat yang secara sosiologis telah mengakar dan mengkristal di hati mereka, sedangkan secara teoritis, juga sering dijadikan pijakan dalam berbagai diskursus ilmiah, baik dalam wacana ilmiah transformasi maupun wacana ilmiah. Selain itu, beberapa karya belakangan yang berkaitan dengan etika juga banyak menggunakan karya al-Ghazâlî sebagai referensi.


DAFTAR PUSTAKA

Abidin Ibn Rusd, Pemikiran al-Ghazâlî tentang Pendidikan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998).
Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1998).
Amin Abdullah, Falsafah Islam di Era Post Modernisme (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997).
---------, Studi Agama (Nomativitas atau Historisitas? (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996).
A. Mukti Ali, Metode Memahami Agama Islam (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1991).
A. Rifay Siregar, Tasawuf: Dari Tasawuf Klasik ke Neo-Sufisme (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000).
Fazlur Rahman, Tema Pokok al-Qur’ân, ter. Anas Mahyuddin (Bandung: Penerbit Pustaka, 1996).
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya (Jakarta: Penerbit UI Press, 1996).
al-Imâm Abû âmid Muammad bin Muammad bin Muammad al-Ghazâlî, Iyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, vol. 3 (Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.).
---------, al-Munqidz min al-Dlalâl (Beirut: al-Maktabah al-Sya‘bîyah, t.t.).
---------, Teosofia al-Qur’ân, ter. M. Luqman Hakim dan Hosen Arjaz Jamad (Surabaya: Penerbit Risalah Gusti, 1995).
Irsyad Zamzani, Wacana Pendidikan al-Ghazâlî: Telaah Kitab “Iyâ’ ‘Ulûm al-Dîn”, dalam  Gerbang: Jurnal Studi Agama dan Demokrasi, N0. 12, vol. V, Juli-September 2002.
Majid Fakhri, Etika dalam Islam, ter. Zakiyuddin Baidhawi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Bekerjasama dengan Pusat Studi Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta, 1996).
Mir Valiuddin, Zikir dan Kontemplasi dalam Tasawuf, ter. M.S. Nasrullah (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997).
Muammad Luthfî Jam‘ah, Târîkh al-Falâsifah al-Islâmî fî al-Masyriq wa al-Maghrib (Beirut: Maktabat al-‘Ilmîyah, t.t.
Muammad Yûsuf Mûsâ, Falsafat al-Akhlâq fî al-Islâm (Mesir: Mu’assasat al-Khanajî al-Qâhirah, 1963).
Oliver Leamen, Pengantar Filsafat Islam, ter. M. Amin Abdullah (Jakarta: Penerbit CV Rajawali, 1989).
Osman Bakar, Hirarkhi Ilmu: Membangun Rangka-Fikir Islamisasi Ilmu, ter. Purwanto (Bandung: Penerbit Mizan, 1998).
Poerwantara et.al., Seluk Beluk Filsafat Islam, ed. Tjun Surjaman (Bandung: Penerbit Rosdakarya, 1994).
R. Joseph McCarthy, Freedom and Fulfillment: An Annoteted Translition of al-Ghazzâlî’s al-Munqidz min al-Dlalâl and Other Relevant Works of Ghazzâlî (Boston: t.p., 1980).
Said Aqil Siroj, Islam Kebangsaan: Fiqh Demokratik Kaum Sunni (Jakarta: Penerbit Pudtaka Ciganjur, 1999).
---------, Tasawuf sebagai Kritik Sosial: Mengedepankan Islam sebagai Inspirasi, bukan Aspirasi (Bandung: Mizan Bekerjasama dengan Yayasan Khas, 2006).
Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam (Jakarta: Manajemen PT Raja Grafindo, 1997).
Tawfîq Thawîl, Falsafat al-Akhlâq: Nasy’atuhâ wa Tathawwuruhâ (Saudi Arabia: al-Nahdlah al-‘Arabîyah, 1979).
W. Montgomery Watt, Islamic Theology and Philosophy (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1979).
Yahya Jaya, Spiritualisasi Islam dalam Menumbuhkembangkan Kepribadian dan Kesehatan Mental (Bandung: Penerbit PT Remaja Rosdakarya Offset, 1994).
Yusuf al-Qardhawi, Pro-Kontra Pemikiran al-Ghazâlî, ter. Ahmad Satori Ismail (Surabaya: Penerbit Risalah Gusti, 1997).



[1]Lihat Fazlur Rahman, Tema Pokok al-Qur’ân, ter. Anas Mahyuddin (Bandung: Penerbit Pustaka, 1996), 96.
[2]Menurut penilaian Muammad Luthfî Jam‘ah, secara objektif al-Ghazâlî bukan seorang filosof yang rasional. Dia lebih pantas menjadi seorang teolog. Dia menjadikan ilmu, akal, dan syar‘ sebagai substansinya untuk menuju kepada Allah (keadaan yang hakiki). Lihat Muammad Luthfî Jam‘ah, Târîkh al-Falâsifah al-Islâmî fî al-Masyriq wa al-Maghrib (Beirut: Maktabat al-‘Ilmîyah, t.t.), 78.
[3]Nama aslinya hanya Muammad. Nama Abû âmid diberikan kemudian kerena dia mempunyai putra âmid yang meninggal ketika masih bayi. Meskipun dikenal sebagai al-Ghazâlî, namun kadang-kadang dia dirujuk dalam sumber-sumber tradisional sebagai al-Sfi‘î al-Naysâbûrî. Osman Bakar, Hirarkhi Ilmu: Membangun Rangka-Fikir Islamisasi Ilmu, ter. Purwanto (Bandung: Penerbit Mizan, 1998), 9.
[4]Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), 135. Abidin Ibn Rusd, Pemikiran al-Ghazâlî tentang Pendidikan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), 9.
[5]Pada umumnya dia dikenal dengan al-Ghazâlî (dengan satu z) dan nama ini berasal dari nama desa tempat dia lahir. Akan tetapi dia dikenal juga dengan al-Ghazzâlî (dengan dua z) dan nama ini diambil dari pekerjaan orang tuanya sebagai gazzâl. Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya (Jakarta: Penerbit UI Press, 1996), 52. Baca Jam‘ah, Târîkh, 73.
[6]Amin Abdullah, Studi Agama: Nomativitas atau Historisitas? (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), 267.
[7]Muammad Yûsuf Mûsâ, Falsafat al-Akhlâq fî al-Islâm (Mesir: Mu’assasat al-Khanajî al-Qâhirah, 1963), 126.
[8]Abdullah, Islam, 267.
[9]Nasution, Islam, 52.
[10]Yahya Jaya, Spiritualisasi Islam dalam Menumbuhkembangkan Kepribadian dan Kesehatan Mental (Bandung: Penerbit PT Remaja Rosdakarya Offset, 1994), 21.
[11]Nasutian, Islam, 92.
[12]Lihat R. Joseph McCarthy, Freedom and Fulfillment: An Annoteted Translition of al-Ghazzâlî’s al-Munqidz min al-Dlalâl and Other Relevant Works of Ghazzâlî (Boston: t.p., 1980), 91.
[13]Tiga pemikiran yang dijadikan sintesis oleh al-Ghazâlî ini sudah mengkafer empat kelompok di atas.
[14]Majid Fakhri, Etika dalam Islam, ter. Zakiyuddin Baidhawi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Bekerjasama dengan Pusat Studi Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta, 1996), 125.
[15]Ibid.
[16]Lihat Poerwantara et.al., Seluk Beluk Filsafat Islam, ed. Tjun Surjaman (Bandung: Penerbit Rosdakarya, 1994), 172.
[17]Said Aqil Siroj, Islam Kebangsaan: Fiqh Demokratik Kaum Sunni (Jakarta: Penerbit Pudtaka Ciganjur, 1999), 1.
[18]Ibid., 2.
[19]Said Aqil Siroj, Tasawuf sebagai Kritik Sosial: Mengedepankan Islam sebagai Inspirasi, bukan Aspirasi (Bandung: Mizan Bekerjasama dengan Yayasan Khas, 2006), 431.
[20]Imam al-Ghazâlî, Teosofia al-Qur’ân, ter. M. Luqman Hakim dan Hosen Arjaz Jamad (Surabaya: Penerbit Risalah Gusti, 1995), 236.
[21]Ibid.
[22]Ibid.
[23]al-Imâm Abû âmid Muammad bin Muammad bin Muammad al-Ghazâlî, Iyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, vol. 3 (Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.), 55.
[24]Yahya Jaya memberi makna spiritual Islam. Lihat Jaya, Spiritualisasi, 51.
[25]Mir Valiuddin, Zikir dan Kontemplasi dalam Tasawuf, ter. M.S. Nasrullah (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997), 45.
[26]Qs. 41 (Fushshilat): 53.
[27]Muammad  bin Muammad bin Muammad al-Ghazâlî, al-Munqidz min al-Dlalâl (Beirut: al-Maktabah al-Sya‘bîyah, t.t.), 108. Hadis yang dikutip al-Ghazâlî ini, menurut al-Nawâwî, bukan hadis. Ada yang mengatakan, hadis ini tidak marfû‘. Terlepas dari ketidakvalidan hadis itu, yang jelas al-Ghazâlî memandang urgen terhadap pemeliharaan jiwa. Teks hadisnya adalah Man ‘arafa nafsah fa qad ‘arafa rabbah.
[28]Baca al-Ghazâlî, Iyâ’, vol. 3, 48.
[29]Ahli filsafat etika memberi pengertian tazkîyat al-nafs adalah takhlîyat al-nafs.
[30]Kitâb dalam Iyâ’ identik (sama) dengan bab.
[31]W. Montgomery Watt, Islamic Theology and Philosophy (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1979), 104.
[32]Amin Abdullah, Falsafah Islam di Era Post Modernisme (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), 135.
[33]Valiuddin, Zikir, 81.
[34]al-Ghazâlî, Iyâ’, vol. 3, 3.
[35]Tawfîq Thawîl, Falsafat al-Akhlâq: Nasy’atuhâ wa Tathawwuruhâ (Saudi Arabia: al-Nahdlah al-‘Arabîyah, 1979), 160.
[36]Poerwantana, Seluk Beluk, 173.
[37]Tentang muqârabah dan muâsabah, lihat al-Ghazâlî, Iyâ’, vol. 4, 393.
[38]Di dalam al-Munqidz min al-Dlalâl pada halaman 57-67, al-Ghazâlî mengkritisi konsep ajaran ahli tasawuf yang berlaku pada saat itu dengan memberikan argumentasi agama dan rasio yang sangat akurat. Menurut catatan Oliver Leamen, meskipun al-Ghazâlî sangat simpatik terhadap ajaran sufi, dia tidak menyetujui gerakan sufi yang menampilkan sikap sombong di atas tindak pelaksanaan perintah agama. Meskipun memang benar, jika dikatakan bahwa kebaikan tertinggi (virtuous) merupakan syarat pokok untuk mencapai tingkat pengetahuan tertinggi dan kecintaan kepada Tuhan yang keduanya mencerminkan kebahagiaan yang sejati dan merupakan tujuan akhir manusia, namun perkembangan kesempurnaan moral merupakan suatu hal yang terpokok pula, jika kita ingin berhasil di dalam mencapai tujuan akhir tersebut. Oliver Leamen, Pengantar Filsafat Islam, ter. M. Amin Abdullah (Jakarta: Penerbit CV Rajawali, 1989), 194.
[39]Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam (Jakarta: Manajemen PT Raja Grafindo, 1997), 179.
[40]Yusuf al-Qardhawi, Pro-Kontra Pemikiran al-Ghazâlî, ter. Ahmad Satori Ismail (Surabaya: Penerbit Risalah Gusti, 1997), 99.
[41]Ibid., 100.
[42]Ibid., 103.
[43]A. Rifay Siregar, Tasawuf: Dari Tasawuf Klasik ke Neo-Sufisme (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000), 218.
[44]Lihat A. Mukti Ali, Metode Memahami Agama Islam (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1991), 143-144.
[45]al-Qardhawi, Pro-Kontra, 109.
[46]Ibid., 110.
[47]Ibid.
[48]Bandingkan dengan Simuh, ibid.
[49]Irsyad Zamzani, Wacana Pendidikan al-Ghazâlî: Telaah Kitab “Iyâ’ ‘Ulûm al-Dîn”, dalam  Gerbang: Jurnal Studi Agama dan Demokrasi, N0. 12, vol. V, Juli-September 2002, 224-225.

Yudisium Hafidzah & Pelantikan Pengurus Masa Bakti 2020- 2021 Pondok Pesantren Al-Qur'an Asy-Syahadah Surabaya

Setelah mengalami penundaan karena wabah corona, Pesantren Al-Qur'an Asy-Syahadah Surabaya bisa melaksanakan Yudisium Hafidzah Al-Q...