MENTRANSFORMASIKAN IDUL ADHA
Oleh: Dr. H. Sahid
HM, M.Ag., M.H.
اَللهُ
أَكْبَرُ تِسْعَ مَرَّاتٍ. اَللهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا, وَالْحَمْدُ للهِ كَثِيْرًا, وَسُبْحَانَ اللهِ
بُكْرَةً وَأَصِيْلًا, لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ صَدَقَ وَعْدَهُ وَنَصَرَ
عَبْدَهُ وَأَعَزَّ جُنْدَهُ وَهَزَمَ الْأَحْزَابَ وَحْدَهُ, لَا إِلٰهَ إِلَّا
اللهُ وَلَا نَعْبُدُ إِلَّا إِيَّاهُ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ وَلَوْ كَرِهَ
الْمُشْرِكُوْنَ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ, اَللهُ أَكْبَرُ وَللهِ
الْحَمْدُ.
اَلْحَمْدُ
للهِ حَمْدًا كَثِيْرًا كَمَا أَمَرَ, أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ
لَا شَرِيْكَ لَهُ إِرْغَامًا لِمَنْ جَحَدَ بِهِ وَكَفَرَ, وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا
مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ سَيِّدُ الْخَلَائِقِ وَالْبَشَرِ. اَللّهُمَّ صَلِّ
عَلَى مُحَمَّدٍ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا, أَمَّا بَعْدُ. فَيَا أَيُّهَا
النَّاسُ اتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوْتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ.
وَقَالَ اللهُ تَعَالَى فِى كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ: يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا
خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوْبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوْا
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ.
Hadirin sidang salat Idul Adha yang berbahagia,
Surat
al-Shaffat ayat 100-107 bercerita tentang perjuangan dan pengorbanan Nabi
Ibrahim dan Ismail, di antaranya perintah Allah kepada Ibrahim untuk
menyembelih Ismail, yang telah lama mendambakan keturunan untuk mengukur kepatuhan
kepada-Nya. Ibrahim berdoa agar dikaruniai putra dan kemudian doanya
dikabulkan. Ketika Ismail menginjak dewasa dan mampu mengikuti ayahnya, Ibrahim
diperintah agar menyembelih putranya yang sangat disayangi melalui mimpi.
Keduanya berserah diri dan taat terhadap perintah yang diberikan. Ketika Ismail
dibaringkan untuk disembelih, Allah memanggilnya. Karena kepatuhan itu, Allah
menggantinya dengan sembelihan yang besar berupa seekor kambing sebagai pahala
bagi orang yang melakukan kebaikan.
Allah
memerintahkan menyembelih dan sebelum selesai penyembelihan, perintah tersebut
kemudian digagalkan. Menurut Quraish Shihab (Tafsir al-Mishbah, vol. 12, 2003:
65), Nabi Ibrahim as hidup pada masa persimpangan pemikiran manusia menyangkut
pengorbanan manusia kepada Tuhan. Ketika itu hampir seantreo dunia, masyarakat
manusia rela mempersembahkan manusia sebagai sesajen kepada tuhan yang
disembah. Di Mesir misalnya, gadis
cantik dipersembahkan kepada Dewa Sungai Nil. Di Kan‘an, Irak, yang
dipersembahkan kepada Dewa Baal adalah bayi; berbeda dengan suku Astec di
Meksiko, mereka mempersembahkan kepada Dewa Matahari, jantung dan darah
manusia. Di Eropa Timur, orang-orang Viking yang menyembah Dewa Perang, yaitu
yang mereka namai "Odion," mempersembahkan pemuka agama mereka kepada
Dewa. Pada masa Ibrahim as itu, muncul ide yang menyatakan tidak wajar
mempersembahkan manusia kepada Tuhan. Manusia terlalu mahal untuk itu. Perintah
Allah kepada Ibrahim as mendeskripsikan bahwa tidak ada sesuatu yang mahal jika
panggilan Tuhan telah datang. Anak satu-satunya yang paling dicintai harus
dikorbankan; dan ini dibuktikan oleh Ibrahim as. Hanya saja, Allah membatalkan
penyembelihan itu karena jiwa manusia terlalu mahal. Allah melarang persembahan
manusia sebagai korban; sebagai penggantinya adalah kambing sebagai lambang
pengabdian manusia kepada Allah.
Perintah di
atas kemudian menjadi kewajiban bagi umat Islam yang mampu untuk menyembelih
hewan qurban sebagai manifestasi kepatuhan hamba kepada Allah dan pengorbanan
untuk kepentingan masyarakat. Dengan demikian, Idul Adha tidak hanya ibadah
yang bersifat transendental tetapi juga sosial. Ibadah sosial ini menjadi
mementum introspeksi umat Islam dan sebagai peyeimbang ibadah ritual. Hal ini
menjadi kewajiban bersama dalam menyelesaikan masalah sosial yang beragam dan
jumlahnya sangat banyak. Dengan Idul Adha, umat Islam dapat mengubah status
sebagai penonton menjadi pemain.
Jamaah salat Idul Idha yang
dimuliakan Allah,
Sekarang umat Islam sedang berhari raya, yaitu beridul
adha. Idul Adha adalah ajaran berkorban binatang yang di dalamnya terkandung
aktualisasi perjuangan dan pengorbanan. Gambaran Idul Qurban semacam ini
mengillustrasikan dimensi pembebasan dengan menentang ketidakadilan dan melawan
dominasi. Idul Qurban merefleksikan perasaan dan pengalaman mental terhadap
fenomena yang terjadi. Pemaknaan Idul Qurban menukik pada dataran universalisme
Islam sebagai ajaran yang rahmah li al-‘alamin dan tidak hanya berhenti pada penyembelihan binatang ternak. Sebagai
sasaran akhir, umat Islam dapat memahami Idul Qurban secara kaffah dan
tidak eksklusif. Untuk itu, kita dituntut agar sampai ke yang esensial, tidak
hanya pada yang formal lahiri. Tujuannya adalah sesajen kepada manusia, bukan
sesajen kepada Allah. Dalam ajaran korban kita diminta agar daging diberikan
kepada orang yang sangat membutuhkan. Hikmah yang terkandung dalam ritual
korban itu adalah membangun mentalitas kepedualian sosial, khususnya bagi umat
Islam yang mampu. Hal ini diungkap oleh Allah dalam al-Qur'an surat al-Hajj
ayat 36-37:
لَنْ يَنَالَ اللهَ لُحُوْمُهَا
وَلَا دِمَاؤُهَا وَلٰكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ كَذٰلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ
لِتُكَبِّرُوْا اللهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَبَشِّرِ الْمُحْسِنِيْنَ.
Daging-daging
onta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridaan) Allah, tetapi
ketakwaan dari kalianlah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah
menundukkannya untuk kalian. Berilah kabar gembira kepada orang-orang yang
berbuat baik.
Meskipun demikian, tindakan formal lahiri bukan berarti
tidak penting, tetapi mana prioritas yang harus didahulukan. Dalam sutu riwayat
Rasulullah pernah bersabda: al-dhahiru yadullu ‘ala al-Bathin (tindakan
lahir menjadi indikator hal yang batin). Dalam hal ini, tindakan lahir adalah
sekunder, sedang tindakan batin adalah yang primer. Hal ini sama dengan pakaian
yang memiliki fungsi asesoris sebagai perhiasan agar tampak menarik dan
menawan. Pakaian luar semacam ini adalah sekunder, sedang yang primer adalah
takwa. Kita dituntut tidak sekedar mementingkan pakaian luar tapi pakaian
dalam, yaitu takwa. Meskipun pakaian kita rapat dan bagus tetapi ketakwaan
tidak tercermin, secara substansial pakaian tidak berfungsi. Di dalam al-Qur'an
Allah berfirman dalam surat al-A‘raf ayat 26:
يَا بَنِى اٰدَمَ قَدْ
أَنْزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُوَارِى سَوْاٰتِكُمْ وَرِيْشًا وَلِبَاسُ التَّقْوَى
ذٰلِكَ خَيْرٌ ذٰلِكَ مِنْ اٰيَاتِ اللهِ لَعَلَّهُمْ يَذَّكَّرُوْنَ.
Hai anak Adam,
sesungguhnya Kami telah menurunkan kepada kalian pakaian untuk menutupi aurat
kalian dan pakaian indah untuk perhiasan. Pakaian takwa itulah yang paling
baik. Yang demikian itu adalah sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah,
semoga mereka selalu ingat.
Hal yang sama juga terjadi pada masalah salat sebagaimana
diungkap oleh Allah dalam surat al-Ma'un. Orang yang salat tetapi mereka
melupakan makna salat dan tidak mencerminkan perilaku yang mulia. Mereka
mengerjakan salat dengan pamer. Mereka juga tidak mau menolong dan tidak
berkorban. Orang semacam ini dikategorikan sebagai orang yang mendustakan agama.
Mereka mampu tapi tidak mempedulikan anak yatim dan tidak menganjurkan memberi
makanan kepada orang miskin. Allah mengancam orang yang mengabaikan orang lemah
dalam bidang politik, ekonomi, dan sosial-budaya. Meskipun secara ritual mereka
taat kepada Allah, ketundukan mereka tidak memiliki makna yang signifikan jika
tidak disertai dengan tindakan yang bermuara pada kepedulian sosial. Dalam makna
simbolik dapat diungkap, urusan agama berkaitan erat dengan kepedulian sosial.
Kepadulian sosial juga berkaitan erat dengan kebutuhan dasar (basic needs) seseorang.
Jika kebutuhan seseorang telah terpenuhi dan belenggu kemiskinan telah hilang,
keagamaan seseorang dapat meningkat baik secara kualitas dan kuantitas.
Hadirin yang berbahagia,
Hal yang sangat urgen dalam Idul Adha adalah menangkap
ulang nilai persaudaraan. Perintah berkorban dengan binatang ternak sangat
terkait dengan masyarakat Ibrahim pada saat itu yang bercorak pastoralis. Oleh
karena itu, komoditi yang paling berharga terletak pada pemeliharaan
binatang ternak dan pengorbanan yang
paling bernilai bermuara pada pemberian makanan berupa daging. Pada masa
Muhammad saw juga hampir sama; berkorban dengan binatang ternak sebagai
manifestasi solidaritas sosial memiliki makna yang sangat tinggi. Dalam konteks
Indonesia, perjuangan dan pengorbanan seseorang sebagai tindakan peduli sosial
dan pemberdayaan masyarakat mungkin berbeda. Masyarakat Indonesia memiliki
tanah yang subur dan kekayaan yang melimpah tapi masyarakatnya terpasung oleh
sistem ekonomi yang membelenggu, demikian juga politik dan sosial-budaya.
Eksploitasi terhadap masyarakat lemah sering terjadi di mana-mana. Dalam
konteks ini, refleksi komitmen sosial dalam pengentasan kemiskinan tidak hanya
bermuara pada pemberian daging korban tetapi memerlukan langkah dan bantuan
yang membebaskan mereka dari keterbelengguan dan keterkungkungan.
Untuk membangun solidaritas dan kepedulian sosial, kita
dapat memulai dari persaudaraan umat Islam yang dikenal ukhuwah Islamiyah.
Ukhuwah Islamiyah mengandung nilai pengikat yang didasarkan pada
keyakinan secara dogmatis. Keyakinan satu Tuhan, satu rasul, dan satu kitab
dapat diejawantahkan dalam budi pekerti yang luhur dengan menyadari adanya hak
dan kewajiban. Meskipun demikian, hal itu bukan berarti lepas dari perbedaan.
Masing-masing umat mempunyai ciri, watak, latar belakang kehidupan, dan wawasan
yang berbeda. Dalam perbedaan ini kita dituntut untuk tidak bermusuhan (khushumah),
perlawanan, ('adawah), dan saling menghasut (muhasadah). Ukhuwah
Islamiyah semacam ini dapat menumbuhkan sikap saling mengerti dan memahami
yang didasarkan pada ikatan tersebut. Kelebihan dan potensi, kekurangan dan
kelemahan yang dimiliki dapat saling mengisi. Sikap ini mengantarkan umat Islam
pada capaian maslahah dan penghilangan keterbelakangan, kemiskinan, dan
kebodohan.
Bapak-bapak, ibu-ibu, dan
saudara-saudara yang bahagia,
Selain ukhuwah Islamiyah yang harus dibangun dalam
konteks Idul Adha, ukhuwah insaniyah (persaudaraan kemanusiaan) juga
penting. Islam adalah agama universal yang bermuara pada cinta kasih di antara
sesama manusia. Di dalam Islam, manusia ditempatkan pada posisi yang paling
berharga dan terhormat dibandingkan ciptaan yang lain. Kita harus menghormati
manusia apa adanya tanpa mengggunakan berbagai simbol. Di dalam al-Qur’an surat
al-Isra’ ayat 70 Allah sendiri menghormati manusia tanpa simbol. Dengan
demikian, ukhuwah insaniyah dapat direalisasikan dalam realitas
kehidupan.
Kalau kita merujuk pada sejarah, ciptaan Allah yang
memberikan sekat dan batas penghargaan dan penghormatan kepada makhluk lain
adalah iblis. Dia adalah makhluk pertama yang mengembangkan rasialisme. Dia
menolak sujud kepada Adam karena menganggap dirinya lebih baik, dia diciptakan
dari api sedang Adam diciptakan dari tanah. Hal ini dideskripsikan oleh Allah
dalam al-Qur’an surat al-A‘raf ayat 11-12:
وَلَقَدْ خَلَقْنَاكُمْ ثُمَّ
صَوَّرْنَاكُمْ ثُمَّ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوْا لِاٰدَمَ فَسَجَدُوْا إِلَّا
إِبْلِيْسَ لَمْ يَكُنْ مِنَ السَّاجِدِيْنَ قَالَ مَا مَنَعَكَ أَنْ لَا تَسْجُدَ
إِذْ أَمَرْتُكَ قَالَ أَنَا خَيْرٌ مِنْهُ خَلَقْتَنِى مِنْ نَارٍ وَخَلَقْتَهُ مِنْ
طِيْنٍ.
Sesungguhnya
Kami telah menciptakan kamu (Adam), lalu Kami bentuk tubuhmu, kemudian Kami
katakan pada para malaikat: “Bersujudlah kalian kepada Adam,” maka mereka
bersujud kecuali iblis. Dia tidak termasuk mereka yang bersujud. Allah
berfirman: “Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku
menyuruhmu?” Iblis menjawab: “Saya lebih baik daripadanya. Engkau ciptakan saya
dari api, sedang dia Engkau ciptakan dari tanah.”
Sebagai kerangka pijak untuk menghargai dan menghormati
manusia adalah takwa. Ketakwaan seseorang tidak dapat diukur dalam konteks
hubungan vertikal manusia dengan Allah. Hubungan horisontal antara manusia
dengan manusia sangat penting. Artinya, nilai ketakwaan seseorang dapat dilihat
dari prestasi dan kreasi seseorang. Amal seseorang adalah pilar penting untuk
dijadikan pegangan. Kompetisi seseorang yang mengarah pada prestasi merupakan
indikator ketakwaan seseorang. Amal seseorang inilah yang nantinya
diperlihatkan oleh Allah di Hari Kiamat. Di dalam al-Qur’an surat al-Najm ayat
38-41 Allah berfirman:
وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ
إِلَّا مَا سَعَى وَأَنَّ سَعْيَهُ سَوْفَ يُرَى ثُمَّ يُجْزَاهُ الْجَزَاءَ الْأَوْفَى .
Sesungguhnya
manusia tidak memperoleh selain apa yang telah diusahakan. Sesungguhnya usaha
manusia kelak akan diperlihatkan, kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan
balasan yang paling sempurna.
Dengan
mempertimbangkan amal manusia, kita tidak mudah menghancurkan nilai-nilai
kemanusiaan. Ketika menghancurkan satu nilai kemanusiaan, kita diibaratkan
telah menghancurkan nilai kemanusiaan secara universal. Sebagai pegangan, kita
dapat mengambil pelajaran moral dalam al-Qur’an. Di dalam al-Qur’an disebutkan
Qabil telah membunuh Habil. Meskipun dia membunuh satu orang, al-Qur’an
mengibaratkan satu pembunuhan seperti pembunuhan secara menyeluruh. Allah
berfirman dalam al-Qur’an surat al-Maidah ayat 36:
مِنْ أَجْلِ ذٰلِكَ كَتَبْنَا
بَنِى إِسْرَائِيْلَ أَنَّهُ مَنْ قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِى
الْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيْعًا وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا
أَحْيَا النَّاسَ جَمِيْعًا.
Oleh karena itu, Kami tetapkan
suatu hukum bagi Bani Israil bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang manusia,
bukan karena itu membunuh orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di
muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya.
Ayat di atas secara implisit mengungkapkan bahwa
kejahatan yang dilakukan kepada manusia secara individu atau personal
mengandung resiko universal. Artinya, kejahatan itu tidak dipertanggungjawabkan
secara pribadi kepada Allah tetapi secara kolektif, demikian juga dosa yang
dikerjakan. Dengan memperhatikan konsepsi al-Qur’an semacam itu, nilai
kemanusiaan harus dijaga. Bagian dari penjagaan terhadap kemanusiaan adalah
Idul Adha. Oleh karena itu, di Idul Adha ini kita harapkan betul-betul menjadi
manusia yang utuh dan peduli terhadap sosial.
أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ
الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ. وَالْعَصْرِ إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِى خُسْرٍ إِلَّا الَّذِيْنَ
اٰمَنُوْا وَعَمِلُوْا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ.
بَارَكَ اللهُ لِى وَلَكُمْ فِى الْقُرْاٰنِ
مِنَ الْاٰيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ مِنِّى وَمِنْكُمْ تِلَاوَتَهُ
إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. أَقُوْلُ قَوْلِى هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ
اللهَ الْعَظِيْمَ لِى وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ
وَالْمُؤْمِنَاتِ فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar