Senin, 04 September 2017

Khutbah Idul Adha; Pengasuh Pesantren Al-Qur'an Asy-Syahadah



MENTRANSFORMASIKAN IDUL ADHA
DALAM KONTEKS KEPEDULIAN SOSIAL
Oleh: Dr. H. Sahid HM, M.Ag., M.H.

اَللهُ أَكْبَرُ تِسْعَ مَرَّاتٍ. اَللهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا,  وَالْحَمْدُ للهِ كَثِيْرًا, وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلًا, لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ صَدَقَ وَعْدَهُ وَنَصَرَ عَبْدَهُ وَأَعَزَّ جُنْدَهُ وَهَزَمَ الْأَحْزَابَ وَحْدَهُ, لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَلَا نَعْبُدُ إِلَّا إِيَّاهُ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُوْنَ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ, اَللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الْحَمْدُ.
اَلْحَمْدُ للهِ حَمْدًا كَثِيْرًا كَمَا أَمَرَ, أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ إِرْغَامًا لِمَنْ جَحَدَ بِهِ وَكَفَرَ, وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ سَيِّدُ الْخَلَائِقِ وَالْبَشَرِ. اَللّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا, أَمَّا بَعْدُ. فَيَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوْتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ. وَقَالَ اللهُ تَعَالَى فِى كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ: يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوْبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوْا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ.

Hadirin sidang  salat Idul Adha yang berbahagia,
Surat al-Shaffat ayat 100-107 bercerita tentang perjuangan dan pengorbanan Nabi Ibrahim dan Ismail, di antaranya perintah Allah kepada Ibrahim untuk menyembelih Ismail, yang telah lama mendambakan keturunan untuk mengukur kepatuhan kepada-Nya. Ibrahim berdoa agar dikaruniai putra dan kemudian doanya dikabulkan. Ketika Ismail menginjak dewasa dan mampu mengikuti ayahnya, Ibrahim diperintah agar menyembelih putranya yang sangat disayangi melalui mimpi. Keduanya berserah diri dan taat terhadap perintah yang diberikan. Ketika Ismail dibaringkan untuk disembelih, Allah memanggilnya. Karena kepatuhan itu, Allah menggantinya dengan sembelihan yang besar berupa seekor kambing sebagai pahala bagi orang yang melakukan kebaikan.
Allah memerintahkan menyembelih dan sebelum selesai penyembelihan, perintah tersebut kemudian digagalkan. Menurut Quraish Shihab (Tafsir al-Mishbah, vol. 12, 2003: 65), Nabi Ibrahim as hidup pada masa persimpangan pemikiran manusia menyangkut pengorbanan manusia kepada Tuhan. Ketika itu hampir seantreo dunia, masyarakat manusia rela mempersembahkan manusia sebagai sesajen kepada tuhan yang disembah. Di Mesir misalnya,  gadis cantik dipersembahkan kepada Dewa Sungai Nil. Di Kan‘an, Irak, yang dipersembahkan kepada Dewa Baal adalah bayi; berbeda dengan suku Astec di Meksiko, mereka mempersembahkan kepada Dewa Matahari, jantung dan darah manusia. Di Eropa Timur, orang-orang Viking yang menyembah Dewa Perang, yaitu yang mereka namai "Odion," mempersembahkan pemuka agama mereka kepada Dewa. Pada masa Ibrahim as itu, muncul ide yang menyatakan tidak wajar mempersembahkan manusia kepada Tuhan. Manusia terlalu mahal untuk itu. Perintah Allah kepada Ibrahim as mendeskripsikan bahwa tidak ada sesuatu yang mahal jika panggilan Tuhan telah datang. Anak satu-satunya yang paling dicintai harus dikorbankan; dan ini dibuktikan oleh Ibrahim as. Hanya saja, Allah membatalkan penyembelihan itu karena jiwa manusia terlalu mahal. Allah melarang persembahan manusia sebagai korban; sebagai penggantinya adalah kambing sebagai lambang pengabdian manusia kepada Allah.
Perintah di atas kemudian menjadi kewajiban bagi umat Islam yang mampu untuk menyembelih hewan qurban sebagai manifestasi kepatuhan hamba kepada Allah dan pengorbanan untuk kepentingan masyarakat. Dengan demikian, Idul Adha tidak hanya ibadah yang bersifat transendental tetapi juga sosial. Ibadah sosial ini menjadi mementum introspeksi umat Islam dan sebagai peyeimbang ibadah ritual. Hal ini menjadi kewajiban bersama dalam menyelesaikan masalah sosial yang beragam dan jumlahnya sangat banyak. Dengan Idul Adha, umat Islam dapat mengubah status sebagai penonton menjadi pemain.

Jamaah salat Idul Idha yang dimuliakan Allah,
         Sekarang umat Islam sedang berhari raya, yaitu beridul adha. Idul Adha adalah ajaran berkorban binatang yang di dalamnya terkandung aktualisasi perjuangan dan pengorbanan. Gambaran Idul Qurban semacam ini mengillustrasikan dimensi pembebasan dengan menentang ketidakadilan dan melawan dominasi. Idul Qurban merefleksikan perasaan dan pengalaman mental terhadap fenomena yang terjadi. Pemaknaan Idul Qurban menukik pada dataran universalisme Islam sebagai ajaran yang rahmah li al-‘alamin dan tidak hanya berhenti pada penyembelihan binatang ternak. Sebagai sasaran akhir, umat Islam dapat memahami Idul Qurban secara kaffah dan tidak eksklusif. Untuk itu, kita dituntut agar sampai ke yang esensial, tidak hanya pada yang formal lahiri. Tujuannya adalah sesajen kepada manusia, bukan sesajen kepada Allah. Dalam ajaran korban kita diminta agar daging diberikan kepada orang yang sangat membutuhkan. Hikmah yang terkandung dalam ritual korban itu adalah membangun mentalitas kepedualian sosial, khususnya bagi umat Islam yang mampu. Hal ini diungkap oleh Allah dalam al-Qur'an surat al-Hajj ayat 36-37:
لَنْ يَنَالَ اللهَ لُحُوْمُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلٰكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ كَذٰلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوْا اللهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَبَشِّرِ الْمُحْسِنِيْنَ.
Daging-daging onta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kalianlah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kalian. Berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.
          Meskipun demikian, tindakan formal lahiri bukan berarti tidak penting, tetapi mana prioritas yang harus didahulukan. Dalam sutu riwayat Rasulullah pernah bersabda: al-dhahiru yadullu ‘ala al-Bathin (tindakan lahir menjadi indikator hal yang batin). Dalam hal ini, tindakan lahir adalah sekunder, sedang tindakan batin adalah yang primer. Hal ini sama dengan pakaian yang memiliki fungsi asesoris sebagai perhiasan agar tampak menarik dan menawan. Pakaian luar semacam ini adalah sekunder, sedang yang primer adalah takwa. Kita dituntut tidak sekedar mementingkan pakaian luar tapi pakaian dalam, yaitu takwa. Meskipun pakaian kita rapat dan bagus tetapi ketakwaan tidak tercermin, secara substansial pakaian tidak berfungsi. Di dalam al-Qur'an Allah berfirman dalam surat al-A‘raf ayat 26:
يَا بَنِى اٰدَمَ قَدْ أَنْزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُوَارِى سَوْاٰتِكُمْ وَرِيْشًا وَلِبَاسُ التَّقْوَى ذٰلِكَ خَيْرٌ ذٰلِكَ مِنْ اٰيَاتِ اللهِ لَعَلَّهُمْ يَذَّكَّرُوْنَ.
Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepada kalian pakaian untuk menutupi aurat kalian dan pakaian indah untuk perhiasan. Pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, semoga mereka selalu ingat.
          Hal yang sama juga terjadi pada masalah salat sebagaimana diungkap oleh Allah dalam surat al-Ma'un. Orang yang salat tetapi mereka melupakan makna salat dan tidak mencerminkan perilaku yang mulia. Mereka mengerjakan salat dengan pamer. Mereka juga tidak mau menolong dan tidak berkorban. Orang semacam ini dikategorikan sebagai orang yang mendustakan agama. Mereka mampu tapi tidak mempedulikan anak yatim dan tidak menganjurkan memberi makanan kepada orang miskin. Allah mengancam orang yang mengabaikan orang lemah dalam bidang politik, ekonomi, dan sosial-budaya. Meskipun secara ritual mereka taat kepada Allah, ketundukan mereka tidak memiliki makna yang signifikan jika tidak disertai dengan tindakan yang bermuara pada kepedulian sosial. Dalam makna simbolik dapat diungkap, urusan agama berkaitan erat dengan kepedulian sosial. Kepadulian sosial juga berkaitan erat dengan kebutuhan dasar (basic needs) seseorang. Jika kebutuhan seseorang telah terpenuhi dan belenggu kemiskinan telah hilang, keagamaan seseorang dapat meningkat baik secara kualitas dan kuantitas.  

Hadirin yang berbahagia,
          Hal yang sangat urgen dalam Idul Adha adalah menangkap ulang nilai persaudaraan. Perintah berkorban dengan binatang ternak sangat terkait dengan masyarakat Ibrahim pada saat itu yang bercorak pastoralis. Oleh karena itu, komoditi yang paling berharga terletak pada pemeliharaan binatang  ternak dan pengorbanan yang paling bernilai bermuara pada pemberian makanan berupa daging. Pada masa Muhammad saw juga hampir sama; berkorban dengan binatang ternak sebagai manifestasi solidaritas sosial memiliki makna yang sangat tinggi. Dalam konteks Indonesia, perjuangan dan pengorbanan seseorang sebagai tindakan peduli sosial dan pemberdayaan masyarakat mungkin berbeda. Masyarakat Indonesia memiliki tanah yang subur dan kekayaan yang melimpah tapi masyarakatnya terpasung oleh sistem ekonomi yang membelenggu, demikian juga politik dan sosial-budaya. Eksploitasi terhadap masyarakat lemah sering terjadi di mana-mana. Dalam konteks ini, refleksi komitmen sosial dalam pengentasan kemiskinan tidak hanya bermuara pada pemberian daging korban tetapi memerlukan langkah dan bantuan yang membebaskan mereka dari keterbelengguan dan keterkungkungan.
         Untuk membangun solidaritas dan kepedulian sosial, kita dapat memulai dari persaudaraan umat Islam yang dikenal ukhuwah Islamiyah. Ukhuwah Islamiyah mengandung nilai pengikat yang didasarkan pada keyakinan secara dogmatis. Keyakinan satu Tuhan, satu rasul, dan satu kitab dapat diejawantahkan dalam budi pekerti yang luhur dengan menyadari adanya hak dan kewajiban. Meskipun demikian, hal itu bukan berarti lepas dari perbedaan. Masing-masing umat mempunyai ciri, watak, latar belakang kehidupan, dan wawasan yang berbeda. Dalam perbedaan ini kita dituntut untuk tidak bermusuhan (khushumah), perlawanan, ('adawah), dan saling menghasut (muhasadah). Ukhuwah Islamiyah semacam ini dapat menumbuhkan sikap saling mengerti dan memahami yang didasarkan pada ikatan tersebut. Kelebihan dan potensi, kekurangan dan kelemahan yang dimiliki dapat saling mengisi. Sikap ini mengantarkan umat Islam pada capaian maslahah dan penghilangan keterbelakangan, kemiskinan, dan kebodohan.

Bapak-bapak, ibu-ibu, dan saudara-saudara yang bahagia,
        Selain ukhuwah Islamiyah yang harus dibangun dalam konteks Idul Adha, ukhuwah insaniyah (persaudaraan kemanusiaan) juga penting. Islam adalah agama universal yang bermuara pada cinta kasih di antara sesama manusia. Di dalam Islam, manusia ditempatkan pada posisi yang paling berharga dan terhormat dibandingkan ciptaan yang lain. Kita harus menghormati manusia apa adanya tanpa mengggunakan berbagai simbol. Di dalam al-Qur’an surat al-Isra’ ayat 70 Allah sendiri menghormati manusia tanpa simbol. Dengan demikian, ukhuwah insaniyah dapat direalisasikan dalam realitas kehidupan.
         Kalau kita merujuk pada sejarah, ciptaan Allah yang memberikan sekat dan batas penghargaan dan penghormatan kepada makhluk lain adalah iblis. Dia adalah makhluk pertama yang mengembangkan rasialisme. Dia menolak sujud kepada Adam karena menganggap dirinya lebih baik, dia diciptakan dari api sedang Adam diciptakan dari tanah. Hal ini dideskripsikan oleh Allah dalam al-Qur’an surat al-A‘raf ayat 11-12:
 وَلَقَدْ خَلَقْنَاكُمْ ثُمَّ صَوَّرْنَاكُمْ ثُمَّ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوْا لِاٰدَمَ فَسَجَدُوْا إِلَّا إِبْلِيْسَ لَمْ يَكُنْ مِنَ السَّاجِدِيْنَ قَالَ مَا مَنَعَكَ أَنْ لَا تَسْجُدَ إِذْ أَمَرْتُكَ قَالَ أَنَا خَيْرٌ مِنْهُ خَلَقْتَنِى مِنْ نَارٍ وَخَلَقْتَهُ مِنْ طِيْنٍ.
Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu (Adam), lalu Kami bentuk tubuhmu, kemudian Kami katakan pada para malaikat: “Bersujudlah kalian kepada Adam,” maka mereka bersujud kecuali iblis. Dia tidak termasuk mereka yang bersujud. Allah berfirman: “Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?” Iblis menjawab: “Saya lebih baik daripadanya. Engkau ciptakan saya dari api, sedang dia Engkau ciptakan dari tanah.”
          Sebagai kerangka pijak untuk menghargai dan menghormati manusia adalah takwa. Ketakwaan seseorang tidak dapat diukur dalam konteks hubungan vertikal manusia dengan Allah. Hubungan horisontal antara manusia dengan manusia sangat penting. Artinya, nilai ketakwaan seseorang dapat dilihat dari prestasi dan kreasi seseorang. Amal seseorang adalah pilar penting untuk dijadikan pegangan. Kompetisi seseorang yang mengarah pada prestasi merupakan indikator ketakwaan seseorang. Amal seseorang inilah yang nantinya diperlihatkan oleh Allah di Hari Kiamat. Di dalam al-Qur’an surat al-Najm ayat 38-41 Allah berfirman:
وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى وَأَنَّ سَعْيَهُ سَوْفَ يُرَى ثُمَّ يُجْزَاهُ الْجَزَاءَ الْأَوْفَى .
Sesungguhnya manusia tidak memperoleh selain apa yang telah diusahakan. Sesungguhnya usaha manusia kelak akan diperlihatkan, kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna.
       Dengan mempertimbangkan amal manusia, kita tidak mudah menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan. Ketika menghancurkan satu nilai kemanusiaan, kita diibaratkan telah menghancurkan nilai kemanusiaan secara universal. Sebagai pegangan, kita dapat mengambil pelajaran moral dalam al-Qur’an. Di dalam al-Qur’an disebutkan Qabil telah membunuh Habil. Meskipun dia membunuh satu orang, al-Qur’an mengibaratkan satu pembunuhan seperti pembunuhan secara menyeluruh. Allah berfirman dalam al-Qur’an surat al-Maidah ayat 36:
مِنْ أَجْلِ ذٰلِكَ كَتَبْنَا بَنِى إِسْرَائِيْلَ أَنَّهُ مَنْ قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِى الْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيْعًا وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيْعًا.
        Oleh karena itu, Kami tetapkan suatu hukum bagi Bani Israil bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena itu membunuh orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya.

          Ayat di atas secara implisit mengungkapkan bahwa kejahatan yang dilakukan kepada manusia secara individu atau personal mengandung resiko universal. Artinya, kejahatan itu tidak dipertanggungjawabkan secara pribadi kepada Allah tetapi secara kolektif, demikian juga dosa yang dikerjakan. Dengan memperhatikan konsepsi al-Qur’an semacam itu, nilai kemanusiaan harus dijaga. Bagian dari penjagaan terhadap kemanusiaan adalah Idul Adha. Oleh karena itu, di Idul Adha ini kita harapkan betul-betul menjadi manusia yang utuh dan peduli terhadap sosial.
أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ. وَالْعَصْرِ إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِى خُسْرٍ إِلَّا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوْا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ. بَارَكَ اللهُ لِى وَلَكُمْ  فِى الْقُرْاٰنِ مِنَ الْاٰيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ مِنِّى وَمِنْكُمْ تِلَاوَتَهُ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. أَقُوْلُ قَوْلِى هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ لِى وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.

      

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Yudisium Hafidzah & Pelantikan Pengurus Masa Bakti 2020- 2021 Pondok Pesantren Al-Qur'an Asy-Syahadah Surabaya

Setelah mengalami penundaan karena wabah corona, Pesantren Al-Qur'an Asy-Syahadah Surabaya bisa melaksanakan Yudisium Hafidzah Al-Q...