REKONSTRUKSI FIQH JINAYAH
TERHADAP PERDA SYARIAT ISLAM
Abstrak: Kajian ini membahas formalisasi syariat Islam
tentang peraturan daerah (perda) dalam kajian rekonstruksi
fiqh jinayah.
Masalah yang dikaji adalah formalisasi syariat tentang Perda Anti Perzinaan, Perda Anti
Minum-minuman Keras, dan Perda Anti Kemaksiatan. Dalam perspektif fiqh jinayah, Perda
Syariat Islam tentang Anti Pelacuran dalam pandangan fiqh jinayah
mendapat legitimasi. Dalam hal ini, perzinaan termasuk dalam wilayah h}udud. Hanya saja, dalam rekonstruksi
fiqh jinayah, sanksi hukum tidak secara normatif harus sama
dengan ketentuan tekstualitas al-Qur’an dan al-Sunnah. Perda Syariat Islam tentang
Minum-minuman Keras, meskipun wilayah sanksinya terjadi perbedaan pendapat,
pelakunya tetap mendapat sanksi hukum. Dalam konteks individual dan sosial,
minum-minuman keras aspek negatifnya lebih besar daripada aspek positifnya.
Perda Anti Maksiat termasuk dalam wilayah ta‘zir. Dalam
rekonstruksi fiqh jinayah, hukum
pidana ta‘zir tetap dalam koridor menghargai keberagaman budaya,
kebebasan beragama, dan tidak diskriminatif. Dalam hal ini, Perda Syariat Islam
tentang Anti Kemaksiatan mencerminkan diskriminasi dan meminggirkan kelompok
perempuan. Dalam pandangan fiqh jinayah, perda tersebut tidak
diperkenankan.
Kata Kunci: Rekonstruksi, Fiqh Jinayah, Peraturan Daerah, dan Syariat Islam
Kata Kunci: Rekonstruksi, Fiqh Jinayah, Peraturan Daerah, dan Syariat Islam
Pendahuluan
Di masa otonomi daerah, pemerintah mengakomodasi
dan merespons secara positif terhadap keinginan umat Islam di berbagai daerah
yang berupaya melakukan formalisasi syariat Islam. Selama masih dalam kerangka
kesatuan dan persatuan bangsa serta tidak mengancam disintegrasi nasional,
pemerintah memberikan suasana yang kondusif terhadap kesiapan masyarakat dalam
mengaplikasikan syariat Islam. Hal ini diartikan sebagai keragaman dan
pengayaan hukum yang menjadi bagian dari sistem hukum nasional. Keinginan
masyarakat di berbagai daerah untuk melakukan formalisasi dan aplikasi syariat
Islam, tidak diartikan secara politik bahwa mereka ingin mendirikan negara
Islam. Trauma politik yang pernah terjadi pada masa lalu perlu diwaspadai
secara proporsional tetapi tidak memberikan stigma negatif yang memunculkan
kecurigaan terhadap umat Islam.[2]
Kebijakan pemerintah tentang otonomi daerah tersebut,
disambut positif oleh berbagai daerah dengan melahirkan berbagai kebijakan
daerah, tidak terkecuali kebijakan yang bernuansa agama. Lahirnya beberapa
peraturan daerah (perda) yang berbasis pada ajaran agama misalnya dapat
dijadikan contoh respons sejumlah daerah itu. Perda tersebut kemudian populer
dengan istilah perda syariat Islam, sekalipun para pengusungnya tidak setuju
dengan istilah tersebut dan lebih senang dengan sebutan Perda Amar
Ma‘ruf Nahi Munkar atau perda yang berkaitan dengan moralitas.
Secara juridis, perda-perda syariat Islam tentang
hukum pidana Islam di beberapa daerah banyak bermunculan, di antaranya: 1)
Perda 2/2004 tentang Pencegahan, Penindakan, dan Pemberantasan Maksiat di
Padang Pariaman, 2) Perda 6/2002 tentang Wajib Berbusana Muslim di Solok, 3)
Perda 11/2001 tentang Pemberantasan dan Pencegahan Maksiat di Sumatera Barat, 4)
Perda 24/2000 tentang Pelarangan Pelacuran di Kota Bengkulu, 5) Perda 13/2002
tentang Pemberantasan Maksiat di Sumatera Selatan, 6) Perda 2/2004 tentang Pemberantasan
Pelacuran di Palembang, 7) Perda 6/2002 tentang Ketertiban Sosial (Pelacuran,
Pakaian Warga, dan Kumpul Kebo) di Batam, 8) Raperda Pemberantasan Pelacuran
dan Minuman Keras di Depok, 9) Perda 8/2005 tentang Pemberantasan Maksiat di
Kota Tangerang, (10) Perda 6/2000 tentang Kesusilaan di Garut, 11), Surat Edaran
29 Agustus tentang Wajib Berjilbab Siswa Sekolah di Cianjur dan Perda 8/2006
tentang Larangan Pelacuran di Cianjur, 12) Perda 7/1999 tentang Prostitusi di
Indramayu, 13) Surat Edaran Bupati Pamekasan Nomor 450/2002 tentang Kewajiban
Berjilbab bagi Karyawan Pemerintah, Perda 18/2001 tentang Larangan atas
Minum-minuman Keras, dan Perda 18/2004 tentang Larangan atas Pelacuran dalam
Wilayah Kabupaten Pamekasan, 14) Perda 19/2004 tentang Larangan Minuman Keras
dan Beralkohol, Perda 22/2004 tentang Larangan berbuat Cabul dan Melakukan
Tindak Asusila di Gresik, 15) Perda 6/2005 tentang Busana Muslim di Enrekang, 16)
Perda 10/2003 tentang Pencegahan Maksiat, dan 17) Perda 15/2003 tentang Busana
Muslim, 18) Perda 2/2002 tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Keras, 19)
Surat Edaran Nomor 451/2001 tentang Himbauan Memakai Jilbab dan Perda 1/2000
tentang Pemberantasan Pelacuran, dan 20) Peraturan Desa 5/2006 tentang Pemberlakuan
Hukum Pidana H}udud dan Qisas di Padang Sulawesi
Selatan.[3]
Sebagian kalangan meminta pencabutan terhadap perda
tersebut dan memberikan kesempatan kepada semua warga negara untuk menjalankan
UU tanpa diskriminasi terhadap kelompok tertentu. Perda dinilai merusak
kebhinekaan dan bisa menimbulkan ego kedaerahan. Selain itu, mereka menilai
perda tersebut inkonstitusinal. Sebagian yang lain
berpendapat bahwa perda tidak bertentangan dengan UU. Dalam hal ini,
nilai-nilai Islam yang dituangkan dalam perda merupakan implementasi dari nilai
yang telah hidup di masyarakat sebagaimana nilai adat dan barat. Selain itu,
perda syariat selaras dengan semangat reformasi dan dapat mengisi kelemahan
hukum nasional. Menurutnya, jika perda tidak diterima, judicial review
dapat diajukan ke Mahkamah Agung.
Dalam konteks hukum
pidana Islam, perda syariat Islam tentang moralitas dapat berupa Perda
Berbusana,[4]
Anti Pelacuran, Anti Perzinaan, Anti Minuman Beralkohol, atau Anti Kemaksitan.[5]
Istilah “maksiat” yang digunakan adalah tipikal Islam, namun isunya terkadang
bukan tipikal Islam. Secara realistis beberapa perda yang dikeluarkan cenderung
mengarah pada kelompok perempuan, di
antaranya adalah perda syariat Islam yang terkait dengan berpakaian seperti keharusan
memakai jilbab.[6]
Terkait perda syariat Islam tersebut, penerapan hukum pidana Islam, terutama
bertalian dengan jenis-jenis sanksi dijatuhkan bagi pelanggar. Karena
Islamisasi di Indonesia tidak menyentuh level ini, Islamisasi di daerah dapat
diarahkan. Kalau di Aceh Islamisasi sudah sampai level ini, maka daerah lain
dimungkinkan akan melakukan ekspremen yang sama.
Dari beberapa
uraian di atas, formalisasi syariat Islam tentang perda dalam perspektif fiqh
jina>yah adalah urgen dibahas. Kajian ini menitikberatkan pada kajian
hukum pidana yang secara realistis dan aplikatif selalu menjadi kontroversi di
tengah masyarakat.
Rekonstruksi
Perda
Anti Perzinaan
Sebagian umat
Islam, khususnya mereka yang terlibat dalam politik menuntut pemberlakuan
syariat Islam dengan memperlihatkan asumsi bahwa reformasi dalam kehidupan umat
Islam dapat dilakukan dengan pendekatan hukum, institusi, dan instrumen negara.
Syariat dalam hal ini dipersepsikan pada nuansa yang berbasis negara dan
perangkat-perangkatnya. Oleh karena itu, syariat Islam secara legal formal
dalam konstitusi diupayakan dapat tercantum. Kelompok-kelompok yang ingin
menerapkan syariat Islam seringkali menekankan hudud sebagai unsur
pokok dalam penerapan syariat. Selama h}udud belum diterapkan,
penerapan syariat Islam dipandang tidak lebih dari basa-basi.[7] Hudud
menjadi garis pemisah yang nyata dan tegas antara kelompok yang
menginginkan syariat Islam dan para penentang. Bagi kelompok yang menentang
penerapan syariat Islam, hudud juga menjadi target utama. Sebagai
isu kontroversial antara kelompok yang pro dan yang kontra, hudud lebih
membedakan dan menimbulkan polarisasi daripada hukum keluarga seperti nikah,
talak, cerai, dan rujuk, demikian juga yang berkaitan dengan formalisasi zakat,
wakaf, bank syariah, dan haji. Untuk itu, pembaruan hukum pidana secara
aplikatif terhadap syariat Islam perlu dilakukan untuk meminimalisir visted
interest di kalangan yang pro dan yang kontra penerapan syariat Islam.
Sebagai langkah rekonstruksi terhadap masalah hudud, misalnya
adalah hukuman rajam bagi pelaku zina. Rajam merupakan
hukuman yang diakui oleh seluruh fuqaha’ kecuali sekelompok
Azariqah dari kelompok Khawarij. Mereka tidak menerima hadis-hadis jika
tidak memenuhi syarat mutawatir. Menurut mereka, hukuman bagi muhsan
dan yang bukan muhsan adalah jilid. Mereka menyandarkan hukuman
itu kepada al-Qur’an surat
al-Nur ayat 2.[8]
Pendapat ini sejalan dengan pandangan an-Na‘im, hanya argumennya yang berbeda.
An-Na‘im memberi penekanan, jilid adalah hukuman hadd yang didasarkan
pada al-Qur’an, sedang rajam yang berdasarkan al-Sunnah[9]
berlaku dalam situasi tertentu,[10]
tidak totalitas.
Tampaknya hukuman rajam bagi pelaku zina muhsan
di dalam al-Qur’an tidak ada, yang ada hanya dalam hadis. Penerapan
rajam dalam aspek penjeraan tidak tercermin, karena peluang hidup bagi
pelakunya sangat mungkin tidak ada. Hukuman hadd sebagai hak Allah,
inti penekanannya adalah kemaslahatan umat dan penyadaran. Jika hukuman jilid
memberi penyadaran, kemaslahatan umat tidak terganggu. Sanksi hukum yang bersifat
kondisional ini dapat dikembangkan berupa hukuman penjara atau sanksi hukum
lain yang mengarah pada maslahah dan penyadaran.
Paradigma di atas sejalan dengan pemikiran hukum
pidana Islam kontemporer. Hukuman dalam konteks riil lebih ditekankan pada aspek
zawajir daripada aspek jawabir sebagai maqasid atau
‘illah hukum.
Artinya, hukuman yang dilakukan ditekankan pada yang bersalah agar jera dan
tidak akan mengulangi tindak pidana. Dengan demikian, hukuman tidak terikat dan
terpaku pada apa yang tertera dalam nass.
Atas dasar ini, pelaku tindak pidana bisa saja dihukum dengan hukuman selain
yang tertera dalam nass, yang penting hukuman itu diharapkan dapat
membuat pelakunya jera, tidak akan mengulangi lagi perbuatan yang serupa dan
membuat orang punya niat serupa mengurungkan niatnya.[11]
Dalam konteks ini, pendekatan ta‘aqquli didahulukan daripada
pendekatan ta‘abbudi. Dengan cara berpikir seperti ini, ‘illat
al-hukm dan hikmat al-tasyri‘ dapat dicerna oleh penalaran
rasional yang dapat diterima oleh masyarakat.
Elastisitas hukum dengan tanpa melepaskan
pendekatan normativisme hukum tersebut lebih sejalan daripada dogmatisme hukum
yang tidak boleh ditawar-tawar. Oleh karena itu, sangat proporsional jika rajam
yang berdasarkan hadis hanya bersifat kondisional. Rajam yang terjadi pada masa
Islam awal merupakan hukuman yang didasarkan pada kebijakan tertentu. Untuk
itu, sangat bijak dan lebih mengandung keadilan jika hukuman zina tidak terlalu
diberatkan. Kesempatan bagi pelakunya untuk memperbaiki diri sangat diperlukan,
sehingga dia menjadi orang yang berguna bagi masyarakatnya kelak.
Berdasarkan nilai mas}lah}ah dan keadilan
yang dijadikan ukuran dalam menentukan hukum, maka hal yang sangat urgen adalah
kesesuaian hukum dengan masyarakat. Artinya, jika terdapat hukuman selain rajam
atau jilid dan hukuman itu diterima oleh masyarakat serta menjadi standar untuk
ukuran maslahah dan adil, maka pemberlakuan hukum itu dapat diterima.
Meskipun demikian, langkah itu harus memperhatikan berbagai aspek tujuan. Dalam
hal ini, kita tahu bahwa tujuan hukum pidana itu untuk memenuhi rasa keadilan,
pembalasan, dan pencegahan agar tidak melakukan pelanggaran lagi yang dapat
ditiru oleh masyarakat yang lain. Di samping itu, pemidanaan ini dipakai
sebagai langkah untuk mendidik dan membantu terpidana supaya hidup tenteram dan
diterima oleh masyarakat seperti sebelum dia melakukan pelanggaran.
Keterangan di atas tidak berarti menafikan konsepsi
yang menetapkan hukum rajam atau jilid sebagai satu-satunya hukuman bagi pelaku
zina. Pemberlakuan hukuman ini dilakukan jika kondisi masyarakat menerima dan
tindak pidana terjadi dalam keadaan normal. Jika tidak, kita harus mencari
alternatif hukum yang akseptabel dan mengantarkan pada penjeraan. Dengan
demikian, akal pikiran dapat menyusun ketentuan-ketentuan baru, meskipun
diktum-diktum hukum spesifik al-Qur’an terabaikan, asalkan sejalan atau
tidak bertentangan dengan ajaran pokok dimana al-Qur’a>n diturunkan.
Hukum pidana hudud
yang bermuara pada relativitas sanksi hukum sebagian besar pada dasarnya telah
diatur dalam hukum nasional. Dengan demikian, ideal moral al-Qur’an dan
al-Sunnah telah diimplementasikan dalam hukum pidana nasional. Secara umum, penerapan hukum pidana dalam
syariat diorientasikan pada prinsip larangan, bukan sanksi. Untuk itu, langkah
mamasukkan hukum pidana Islam tetap merujuk pada ideal moral, bukan legal
spesifik.
Dalam konteks tersebut, Perda Syariat tentang Perzinaan
di beberapa daerah mendapat legitimasi. Meskipun demikian, perda itu tidak berlabelkan
Islam, ukurannya adalah pandangan secara umum seperti Perda Anti Pelacuran yang
semua komponen umat beragama melarangnya. Dalam hal ini, perda tidak
bertentangan dengan hak asasi manusia dan mengganggu kepentingan orang lain.
Perda syariat mengakomodasi berbagai kepentingan umat, tetap dalam bingkai
NKRI, dan berorientasi pada ideologi Pancasila. Untuk itu, sanksi Perda Anti
Pelacuran tidak secara normatif sesuai dengan teks sanksi yang tertuang dalam
al-Qur’an, tetapi secara moral sanksi dapat diberikan sesuai kesepakatan
daerah dengan merujuk pada ideal moral dalam al-Qur’an dan al-Sunnah.
Rekonstruksi
Perda
Anti Minum-minuman Keras
Berkenaan dengan
minum-minuman keras (khamer), sebagian daerah telah membuat perda. Jika merujuk
kepada nas}s}, spesifikasi al-Qur’an dan hadis yang menggambarkan
hukuman h}add bagi orang yang minum khamer
sebenarnya tidak ada. Praktik Rasulullah dan para sahabat yang tidak sama dalam
memberikan sanksi, merupakan kebijakan mereka dalam menetapkan hukum. Menurut
sebagian fuqaha’, hukuman itu lebih proporsional jika dikatakan ta‘zir,
sebagai upaya kebijakan dengan melihat kasus tertentu yang lebih relevan
dengan kehidupan masyarakat pada saat ini.
Sebagian yang lain berpendapat, hukuman tersebut termasuk dalam katageri hudud.
Meskipun berbeda pendapat, mereka sepakat bahwa tindakan minum khamer
adalah haram dan dikenai sanksi hukum.
Jika minum khamer itu dianggap sesuatu yang
membahayakan dan melanggar tatanan agama, pada saat sekarang ini—sebagai
rekonstruksi—mungkin kadar yang pasti harus diberi batasan. Minuman
yang memabukkan yang secara langsung terbuat dari perasan anggur atau
buah-buahan lain hampir tidak ada, yang ada adalah minuman yang terbuat dari
alkohol. Hanya saja, kadar antara yang satu dengan yang lain tidak sama. Untuk
itu, batasan minuman yang memabukkan dan dilarang harus ada kejelasan dan pasti
klasifikasinya. Meskipun demikian, jika kadar yang memabukkan sedikit tetapi
bahaya negatif terjadi pada pribadi atau masyarakat, secara faktual hal tersebut
membutuhkan pengaturan.
Hal yang identik
dengan minum-minuman keras adalah narkotika, yaitu zat-zat atau obat yang dapat
mengakibatkan ketidaksadaran atau pembiusan, dikarenakan zat tersebut bekerja
mempengaruhi susunan saraf sentral. Yang termasuk dalam definisi narkotika
adalah candu dan zat yang dibuat dari candu seperti morphine, codein, dan
methadone. Dengan demikian, narkotika adalah sejenis zat yang apabila digunakan
akan membawa efek dan pengaruh tertentu pada tubuh pemakai, yaitu: (a) mempengaruhi
kesadaran, (b) memberikan dorongan yang dapat berpengaruh terhadap perilaku
manusia, (c) pengaruh-pengaruh tersebut berupa penenang, perangsang, dan
menimbulkan halunisasi, yakni pelakunya tidak mampu membedakan antara khayalan
dan kenyataan, kehilangan kesadaran akan waktu dan tempat.[12]
Secara lebih rinci
jenis-jenis narkotoka yang perlu diketahui dalam kehidupan sehari-hari karena
dampaknya yang sangat membahayakan bagi kehidupan generasi muda adalah (1)
candu atau opium, (2) morphine, (3) heroin, (4) cocaine, (5) ganja atau
mariyuana jenis betina, dan (6) Napza (narkotika alkohol psikotropika dan zat
adiktif), yaitu sejenis narkotika yang dihasilkan melalui proses kimia secara
farmakologi, yang termasuk di dalamnya minuman yang mengandung alkohol seperti beer,
whisky, vodka, dan lain sebagainya.[13]
Dewasa ini terdapat
banyak jenis dan merk minuman yang mengandung alkohol. Ada jenis minuman yang kadar alkoholnya
rendah antara 1-5 % seperti bir dan minuman bermerk Green Send; ada pula yang
kadar alkoholnya antara 5-20 % seperti anggur; dan ada pula antara 20-45 %
seperti Wiski. Walaupun secara teoritis minuman yang kadar alkoholnya rendah
tidak memabukkan jika diminum tidak melebihi kadar normal, namun semua minuman
beralkohol mempunyai dampak kecanduan. Karena itu, akibatnya adalah sama,
meracuni manusia.[14]
Minum-minuman lain
juga bermunculan dengan wujud yang berbeda berupa ekstasi. Dalam rumus kimia,
ekstasi disebut MDMA (methylendioxsy-phenylisopropylamine), yang
ditemukan pada tahun 1910 oleh ahli kimia Jerman, yaitu DR. G. Mannis dan DR.
W. Yacobson. Namun baru pada tahun 1939, temuan ini diujicobakan pada hewan dan
hasilnya memberikan efek samping terhadap susunan syaraf. Pada tahun 1950,
Prof. Gordon Allen dari University of California
mengembangkan MDMA. Setelah diuji di laboratorium pada kadar 70 sampai 150 mg,
ternyata efeknya sangat luar biasa dalam mempengaruhi susunan syaraf pusat dan
akhirnya dinamakan ekstasi yang artinya suatu kenikmatan yang luar biasa dan
penuh pesona.[15]
Untuk saat ini, MDMA
sudah dimodifikasi dengan unsur kimia lainnya sehingga mencapai efek seperti
yang diinginkan oleh pembuatnya. Di Belanda
misalnya, sedikitnya 16 jenis ekstasi yang semuanya menimbulkan
rangsangan yang berbeda-beda. Sebagai contoh jenis play boy bisa menimbulkan
halunisasi, sementara jenis lainnya bisa menimbulkan rangsangan tertawa dan
gembira. Sedangkan jenis tango yang banyak beredar di Indonesia saat
ini lebih banyak mengandung rangsangan speed, yang menyebabkan
rangsangan selalu ingin menggerak-gerakkan tubuhnya.[16]
Menurut para pakar
farmakologi dan kedokteran dari berbagai negara, pil ini bisa menimbulkan
kelumpuhan otak. Hal ini disebabkan, bagi peminum pil ini, suhu tubuhnya akan
meningkat penuh semangat. Bila belum klimaks, sinar lampu menjadi sangat indah
dan hentakan musik keras menyebabkan tubuh terasa tersedot mengikuti gerak
iramanya. Reaksi pil ini pada umumnya berkisar 3-5 jam, tergantung kualitasnya.
Uraian di atas
mengilustrasikan bahwa bahaya dan akibat dari penyalahgunaan khamer (narkotika)
berdampak pada pribadi si pemakai dan berdampak pada bahaya sosial di tengah
masyarakat. Bahaya yang berdampak pada pribadi dapat menimbulkan pengaruh dan
efek-efek terhadap tubuh si pemakai dengan gejala sebagai berikut. Pertama,
euphoria, suatu rangsangan kegembiraan yang tidak sesuai dengan kenyataan. Kedua,
delirium, yaitu keadaan menurunnya kesadaran dan timbulnya kegelisahan yang
dapat menimbulkan gangguan terhadap gerakan anggota tubuh. Ketiga, halunisasi,
yaitu suatu keadaan dimana si pemakai mengalami khayalan. Keempat, weakness,
yaitu kelemahan baik dari segi fisik maupun psikis. Kelima, drowsiness, yaitu
mabuk, kacau ingatan dan mengantuk. Keenam, coma, yaitu puncak
kemerosotan yang akhirnya menyebabkan kematian.[17]
Sedang bahaya yang
berdampak sosial adalah menyangkut kepentingan bangsa dan negara di masa yang
akan datang, terutama bagi keberlangsungan generasi anak bangsa seperti
kemerosotan moral, meningkatkan kecelakaan, meningkatkan kriminalitas dan
membunuh generasi penerus secara perlahan tetapi pasti.[18]
Masa depan bangsa menjadi suram apabila penyalahgunaan narkotika melanda
generasi muda secara luas. Selain itu, sistem keamanan, ekonomi, politik dan
budaya nasional akan terancam apabila suatu negara telah dijadikan pasar gelap
narkoba internasional oleh jaringan pengedar narkoba.
Perubahan-perubahan
sosial yang serba cepat sebagai konsekuensi modernisasi dan industrialisasi
telah mempengaruhi kehidupan manusia baik sebagai individu, keluarga,
masyarakat maupun bangsa. Dalam masyarakat modern dan industri yang bercorak
sekuler, terdapat ketidakpastian fundamental di bidang hukum, nilai, moral, dan
etika kehidupan. Terhadap perubahan-perubahan sosial dan ketidakpastian
tersebut, tidak semua orang mampu menyelesaikan diri yang pada gilirannya yang
bersangkutan jatuh sakit dan salah satu bentuknya adalah penyalahgunaan
narkotika. Untuk memperoleh rasa sejahtera (well being), masyarakat
modern mencari solusi dengan menggunakan narkoba dan mengesampingkan agama,
karena agama dianggap tidak rasional dan penghambat kemajuan dan modernisasi.[19]
Untuk
mengantisipasi problem di atas, pemerintah telah mengeluarkan banyak peraturan
perundang-undangan tentang narkotika dan peredarannya, di antaranya UU No. 22
Tahun 1997 tentang Narkotika, UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, UU No.
7 Tahun 1997 tentang Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Pemberantasan
Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika, Permenkes No.
688/Menkes/Per/VII/1997 tentang Peredaran Psikotropika, Permenkes No.
785/Menkes/Per/VII/1997 tentang Ekspor dan Impor Psikotropika, UU No. 8 Tahun
1996 tentang Konvensi Psikotropika. Selain itu Perda Anti Minuman Keras
bermunculan di daerah karena dinilai bertentangan dengan agama dan berbahaya
bagi masyarakat.
Secara legal
formal, pemerintah telah bersungguh-sungguh dalam mengantisipasi dan mengawasi
peredaran obat-obatan yang membahayakan. Obat-obatan itu selain membahayakan
juga mengandung manfaat. Jika obat-obatan tersebut dikonsumsi di luar konsep
dokter, dampaknya adalah perusakan diri, akal, dan jiwa seseorang.[20]
Dalam hal ini, derajad kemanusiaan ternodai dan menjadi rendah.
Dalam konteks hukum
pidana Islam, narkotika dan sejenisnya dapat dianalogikan dengan khamer atau
minuman keras. Pada zaman Jahiliah minum minuman keras menjadi tradisi.
Kebiasaan minuman keras berlanjut sampai masa Islam. Salah satu misi Nabi
Muhammad dalam mengatur tata kehidupan sosial adalah penetapan larangan minuman
keras. Misi ini berhasil dijalankan Rasulullah di tengah masyarakat Arab yang
mewarisi tradisi peminum berat. Keberhasilan ini antara lain, Nabi Muhammad
membangun masyarakat yang secara struktural dan fungsional memiliki etika
normatif yang didasarkan pada wahyu.
Larangan minuman
keras dijelaskan dalam al-Qur’a>n. Penetapan itu dilakukan secara bertahap.
Dalam surat
al-Baqarah ayat 219 diungkapkan bahwa minuman keras mengandung dosa besar
selain ada manfaatnya, tetapi dosanya lebih besar daripada manfaatnya. Setelah
itu, dalam surat
al-Nisa>’ ayat 43 Allah melarang orang yang mengerjakan salat dalam keadaan
mabuk karena dikhawatirkan mengacaukan bacaan dalam salat. Ketika kondisi umat
Islam stabil dan mapan, Allah kemudian melarang minuman keras dengan penegasan
bahwa minuman keras, berhala, dan undian adalah perbuatan keji, termasuk
perbuatan syetan dan harus dihindari sebagaimana dalam surat al-Ma>’idah ayat 90-91. Larangan
secara bertahap dilakukan karena minum minuman khamer adalah tradisi yang
disenangi dan menjadi kebutuhan masyarakat Arab pada saat itu serta mengandung
manfaat bagi manusia. Jika larangan ditetapkan tidak secara bertahap,
masyarakat tentu menolak. Karena itu, larangan dilakukan secara berangsur agar
tidak menjadi beban masyarakat.
Dalam konteks
Islam, kesehatan dan kesejahteraan hidup manusia di dunia dan akhirat merupakan
misi utama. Dua hal tersebut harus tampak nyata dalam berbagai segmen penting
kehidupan dan sekaligus akan menjadi ukuran nilai perilaku dan aktivitas
manusia. Salah satu segmen tersebut adalah memberi perlindungan terhadap
kesehatan akal.[21]
Faktor akal
menempati posisi yang paling vital dalam kehidupan manusia. Manusia sehat
adalah manusia yang akalnya sehat, sistem sarafnya bekerja secara baik. Khamer
mengakibatkan gangguan saraf akal. Orang mabuk karena gangguan khamer, sistem
sarafnya terganggu. Dalam hukum Islam,
di antara tujuannya adalah memelihara akal (h}ifz} al-‘aql). Oleh karena
itu, setiap tindakan yang merusak akal pikiran manusia dilarang oleh Islam.
Selain itu, khamer
(minuman beralkohol) merusak bagian tubuh seperti hati (pankreas) dan
kelumpuhan kekebalan dan pertahanan tubuh. Kerusakan hati akibat alkohol berupa hati berlemak hepatetis atau cirrhosia.
Minuman beralkohal dalam jangka waktu lama menyebabkan tubuh menderita
kekurangan berbagai meneral penting yang masuk ke dalam tubuh manusia akan terserap
alkohol dan akibatnya vitamin itu akan habis dan tidak berfungsi bagi tubuh
manusia. Secara normatif Islam melarang manusia menjatuhkan dirinya dalam
kehancuran (al-Baqarah: 195).
Di dalam hukum
Islam, standar yang digunakan adalah mendahulukan kepentingan umum daripada
kepentingan khusus. Minum khamer jika dianalis lebih cenderung kepada
kepentingan pribadi daripada kepentingan umum. Kepentingan yang mengarah pada
publik relatif kecil. Hal ini terbukti, masyarakat mengalami kekacauan, sedang
yang memproduksi mendapat keuntungan. Dalam hal ini, mudarat lebih banyak
daripada manfaatnya. Dengan demikian, antara kepentingan umum dan kepentingan
pribadi bertolak belakang. Jika terjadi demikian, hukum Islam lebih
mendahulukan kepentingan umum daripada kepentingan khusus. Dalam Kaidah Fiqhi>yah
disebutkan: Dar’ al-mafa>sid muqaddam ‘ala> jalb al-mas}a>lih}
(Menolak kerusakan lebih didahulukan
daripada menarik kemaslahatan).
Secara psikologis
khamer menimbulkan efek menyenangkan, perasaan euporia, banyak bicara,
merasa lebih leluasa berhadapan dengan orang lain dan wajahnya kemerah-merahan.
Rentetan efek negatifnya adalah mal adaptif, agresif, terangsang untuk
berkelahi, halangan fungsi sosial, gangguan kordinasi gerak, pembicaraan
cadel/pelo, berjalan gontai, daya ingat kacau, dan kehilangan kemampuan
intelektual. Dampak yang lainnya adalah kekacauan kemampuan abstraksi, bahasa,
aktivitas motorik, serta nagnosia. Pada studium kronis, peminum alkohol akan
mengalami gangguan yang lebih berat berupa kemunduran mental secara total dan
fisik. Kehidupannya menjadi tergantung pada orang lain. Jika kebiasaan minum
alkohol tidak dihentikan atau dikurangi, gejala tremor kasar (gemetar) pada
tangan, lidah dan kelopak mata; mual dan muntah; kelemahan karena berdebar, tekanan
darah meningkat, kecemasan dan depresi, mudah tersinggung, pembicaraan
melantur, gangguan siklus bangun tidur, dan halunisasi. Dalam hukum Islam,
tindakan merusak diri sendiri dan orang lain dilarang (la> d}arara wa
la> d}ira>ra).
Keterangan-ketarangan
di atas membuktikan bahwa ungkapan dalam al-Qur’a>n dan al-Sunnah mengenai
khamer sesuai realitas. Penelitian medis membuktikan efek negatif khamer bagi
kehidupan manusia baik secara pribadi maupun sosial. Peminum khamer akan
mengalami berbagai gangguan fisik maupun psikis. Bahkan kalaupun kebiasaan
minum khamer dihentikan, pelakunya tidak luput dari gangguan lain. Kebiasaan
minum khamer akan berakibat negatif dan sekalipun akan dihentikan juga akan
menimbulkan efek negatif. Akibat-akibat negatif yang ganda ini memperjelas
penegasan haramnya khamer dalam al-Qur’a>n dan al-Sunnah yang dinyatakan
berulang kali. Rentetan efek negatif ini akan berkembang dan mempengaruhi
kehidupan sosial secara luas yang pada gilirannya menimbulkan anarkhisme, hukum
dan norma etik maupun sosial tidak bisa berjalan. Pada tingkat ini kekacauan
akan terjadi.[22]
Berdasarkan
akibat-akibat yang ditimbulkan dari minuman beralkohol yang sangat beragam dan
negatif, maka sanksi hukum layak diberikan. Peminum minuman keras meskipun
tidak mabuk layak mendapatkan sanksi. Dengan demikian, jenis narkotika
beralkohol kadar ringan dan tidak memabukkan jika diminum bila dikonsumsi
sampai batas normal, hal itu tetap diharamkan. Substansi narkotika hakikatnya
adalah sama dengan khamer untuk memenuhi kebutuhan foya-foya, kesenangan, dan
keberingasan. Realitasnya orang yang minum beralkohol yang sekadarnya tidak
menjadi gejala umum dan jarang terjadi.
Dalam realitasnya
ketentuan-ketantuan tersebut belum teraplikasi secara baik. Untuk itu,
formalisasi atau kodifikasi hukum dalam bentuk Perda Syariat menjadi penting.
Pembenahan peraturan perundang-undangan dan pelaksanaannya dilakukan secara
sungguh-sungguh dan konsisten. Ketentuan-ketentuan agama yang secara eksplisit
dan tidak bertentangan dengan budaya bangsa Indonesia dipositifkan menjadi
hukum negara sebagai pilihan untuk merubah sistem hukum yang berlaku, atau
sebagai penjelas terhadap hukum yang belum konkret.
Sehubungan dengan
hal di atas, antisipasi penyelesaiannya adalah peningkatan perangkat hukum yang
memadai. Untuk mencapai maksud tersebut perlu ditetapkan kebijaksanaan yang
berimbang antara security approach dan welfare approach. Dengan
demikian, upaya demand reduction dan supply reduction dapat
dijalankan secara simultan, sinkron, koordinatif, konsisten, dan kontinu oleh
semua pihak yang terkait, baik oleh pemerintah maupun masyarakat.
Rekonstruksi Perda
Anti Maksiat
Secara normatif,
aturan yang diundangkan oleh negara adalah qa>nu>n dan bersifat
relatif. Dengan logika ini, formalisasi syariat tidak dilakukan secara
totalitas tetapi melalui proses objektivikasi syariat dalam hukum nasional.
Dalam konteks ini, syariat menjadi bagian dari hukum nasional dan menjadi
sumber hukum nasional. Pemahaman ini mengilustrasikan bahwa syariat tidak
dipahami secara literal yang diberlakukan secara totalitas tetapi melalui
penyerapan, verifikasi, dan uji kelayakan untuk menjadi hukum nasional. Dengan
demikian, status syariat sama dengan hukum adat dan hukum Barat. Agar syariat
dapat aplikatif, pemahaman terhadap syariat diorientasikan pada pemaknaan yang
bersifat inklusif dan menjadi hukum semua warga negara, tidak eksklusif dan
hanya berlaku bagi umat tertentu.
Paradigma tersebut
mengilustrasikan bahwa perda yang tidak menghargai keberagaman budaya dan
kebebasan beragama masyarakat direkonstruksi, misalnya perda tentang kewajiban
berjilbab bagi karyawan pemerintah dan perda tentang kewajiban para pelajar
perempuan mengenakan baju kurung dan jilbab serta anjuran memakainya bagi
non-muslim. Masyarakat Indonesia
adalah masyarakat yang pluralis baik dalam aspek agama maupun budaya. Jika
masyarakat dipaksa untuk berjilbab dengan alasan penerapan syariat Islam, hal
ini melanggar legitimasi hak perorangan dan kolektif pihak lain, baik di dalam
maupun di luar komunitas muslim. Syariat Islam tidak memberikan persamaan
konstitusional dan hukum kepada warga negera non-muslim. Masyarakat non-muslim
derajatnya akan turun menjadi warga negara kelas dua. Perempuan muslim dalam
posisi yang hampir sama. Di bawah supremasi syariat, status dan hak-hak mereka
akan berkurang. Dalam konteks ini, syariat melegitimasi penggunaan kekerasan
untuk tidak mengakui persamaan kedaulatan masyarakat non-muslim yang merupakan
pelanggaran terhadap basis hukum internasional.
Secara
implementatif, perda yang diterapkan di beberapa daerah percontohan syariat
Islam, mensyaratkan memakai jilbab bagi perempuan yang hendak mengurus sesuatu
di kantor desa atau kelurahan. Aparat desa atau kelurahan tidak memberi
pelayanan bagi perempuan yang tidak memakai jilbab. Dengan menjadikan perda
sebagai alat legitimasi, pada dasarnya parktik ini telah melanggar hak-hak
perempuan untuk mendapatakan pelayanan publik. Perda ini juga mengabaikan
eksistensi adat dan kebijakan lokal. Masyarakat yang tidak biasa dengan jilbab menjadi
terkekang dan terpaksa untuk melakukan yang dalam tatanan hukum sebenarnya
tidak menjadi pelanggaran.
Perda tentang
larangan perempuan berjalan sendirian atau berada di luar rumah tanpa ditemani muh}rimnya,
khususnya pada selang waktu pukul 24:00 juga perlu dikaji ulang dan
direkonstruksi. Larangan terhadap perempuan untuk meninggalkan rumah kecuali
untuk keperluan yang sangat mendesak merupakan kekerasan terhadap perempuan.
Larangan ini bersifat hegemonik dan pengaruh kultur patriarkhis. Perempuan
dianggap sebagai properti milik laki-laki yang berhak untuk diperlakukan
sekehendaknya, termasuk dengan cara kekerasan. Laki-laki adalah pemilik hak
kontrol dan hak menentukan segala tindakan perempuan, bukan hanya pada wilayah
domistik tetapi juga pada wilayah publik. Jauh sebelum Islam lahir, struktur
sosial Arab dalam perspektif budaya ketika itu bukan hanya tidak memiliki hak
atas tubuhnya sendiri, tetapi juga dipandang sebagai permainan untuk kesenangan
seks laki-laki di satu sisi dan dibenci pada sisi yang lain. Hak-hak mereka
sepenuhnya berada di tangan laki-laki.
Fenomena umum
masyarakat Arab pada masa itu masih berlangsung sampai sekarang, sehingga
perempuan selalu terkungkung dan terbelunggu. Hal ini diperparah oleh pemahaman
secara tekstual terhadap ayat-ayat al-Qur’a>n dan al-Sunnah. Diskriminasi
gender dan kekerasan terhadap perempuan berujung pada problem metodologi tafsir
terhadap teks-teks agama dan kemandegan dalam menganalisis teks-teks tersebut.
Untuk itu, ayat-ayat al-Qur’a>n yang mengkritik budaya Arab yang
dikriminatif menjadi dasar metodologi untuk melangkah ke arah perwujudan
cita-cita al-Qur’a>n, yaitu kesetaraan manusia dan kebebasan untuk melakukan
pemilihan tanpa ancaman dan kekerasan, sehingga tercipta sistem sosial yang
adil.
Untuk melakukan
rekonstruksi hukum, watak evolusi syariat dalam kesetaraan gender diterapkan
jika dihadapkan pada situasi dan kondisi yang bertolak belakang dengan gagasan
moral al-Qur’a>n. Cara ini mengaksentuasikan pada penghilangan makna yang
diskriminatif dengan menempatkan sejarah sebagai realitas yang masih
berlangsung dan diupayakan menuju idealitas gagasan al-Qur’a>n. Dengan
demikian, landasan ini meniscayakan adanya gerak yang dinamis secara
sosiologis, sehingga tidak terjebak pada pemikiran yang salah. Dengan demikian,
relativitas pemahaman dan kontekstualisasi ajaran tetap terjaga dan tidak
ditempatkan pada wilayah yang absolut dan abadi.
Larangan perempuan
muslim keluar rumah tersebut tidak realistis, termasuk dalam konteks generasi
Islam awal. Kenyataan perempuan pada masa Nabi bahkan memperlihatkan sejumlah
realitas tentang aktivitas kaum perempuan, termasuk istri-istri Nabi, di ruang
publik. Dalam sejarah peradaban Islam tercatat sejumlah besar kaum perempuan
memainkan peran-peran publik yang sangat penting. ‘A<’isyah bint Abi>
Bakr adalah tokoh besar, imam ahli hadis dan salah satu dari enam cendikiawan
terkemuka. Ia memberikan kuliah keislaman kepada para sahabat yang lain. Ia
menyampaikan lebih dari 2000 kata-kata dan perilaku keseharian Nabi. Bukha>ri>
dan Muslim yang terkenal dengan standar seleksi yang ketat terhadap hadis-hadis
Nabi mengambil dan memasukkan di dalam bukunya sekitar 300 hadis dari ‘A<’isyah.
Ia sering terlibat dalam perdebatan sengit dengan para sahabat lak-laki. Ia
tidak segan-segan mengkritik sejumlah pandangan ‘Umar ibn al-Khat}t}a>b, Ibn
‘Umar, dan Abu> Hurayrah.
Badr al-Di>n al-Zarkasyi> (794 H) menyebut ada 23 orang sahabat terkemuka
yang pendapat-pendapatnya dikoreksi oleh ‘A<i’syah. Sesudah Nabi wafat, ia
juga tampil sebagai pemimpin politik dan melakukan oposisi terhadap ‘Ali>
bin Abi> T{a>lib. Ia memimpin perang onta untuk melawan ‘Ali>.[23]
Dengan cara
berpikir tersebut, doktrin-doktrin keagamaan yang mengindikasikan keterbatasan
ruang lingkup perempuan perlu dihindari. Kelompok perempuan tidak ditempatkan
dalam tembok yang terbatas. Mereka diberi peran melakukan aktivitas sebagaimana
kelompok laki-laki. Hal yang mengarah pada keterkungkungan dan menjadikan
mereka tidak jumu>d dicarikan alternatif yang mengarah pada keterbukaan
dan kreativitas. Untuk itu, syariat Islam tidak dijadikan landasan untuk
menindas perempuan, baik secara struktural maupun kultural. Pemahaman leteral
terhadap teks keagamaan yang melegitimasi kekerasan domistik dihindarkan.
Dengan demikian, Perda Syariat Islam yang mengarah pada peminggiran perempuan
dapat dihindari.
Dalam konteks perubahan hukum, kondisi peminggiran
perempuan tersebut direspons. Hukum pidana Islam bisa berubah karena terjadi
perubahan zaman, tempat, dan keadaan. Hukum itu berkisar pada ‘illat atau
alasan yang menyebabkan terjadinya perubahan hukum.[24] Di dalam kaidah hukum, terdapat
penjelasan: al-h}ukm yadu>r ma‘a ‘illatih wuju>dan wa ‘adaman (hukum
itu dinamis bergantung ‘illat, ada dan tidak adanya hukum).[25] Dengan demikian, realitas
masyarakat Arab masa lalu yang menempatkan perempuan di bawah laki-laki
diinterpretasi berdasarkan realitas kontemporer dengan merujuk pada nilai kesederajatan
dan kesetaraan.
Perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat
berimplikasi pada pola pikir dan tata nilai yang ada di masyarakat. Kondisi ini
tentu menimbulkan problem bagi umat Islam. Konsekuensinya, solusi atas masalah
tersebut diperlukan.
Dengan demikian, hukum pidana Islam tidak kontra produktif dengan perubahan,
bahkan senantiasa sesuai dengan perkembangan masyarakat. Artinya, hukum pidana
Islam selalu akomodatif terhadap perkembangan.[26]
Dalam hal ini, perubahan potensi perempuan yang menguat dalam realitas
kontemporer diapresiasi oleh hukum pidana Islam dengan ditempatkan pada posisi
yang sama dengan kelompok laki-laki secara fungsional.
Perbedaan semua itu
membawa efek pada penetapan hukum yang tidak harus sama. Satu daerah dengan
daerah lain, ketetapan hukumnya bisa berbeda. Meskipun demikian, ketetapan
hukum tidak boleh keluar dari nilai-nilai universal yang terdapat dalam hukum
pidana Islam. Ketentuan itu sesuai dengan kaidah Us}u>l Fiqh: Taghayyur
al-ah}ka>m bi taghayyur al-azminah wa al-amkinah wa al-ah}wa>l (perubahan
hukum bergantung pada perubahan masa, tempat, dan keadaan).[27]
Dari kaidah
tersebut, sangat jelas bahwa ketetapan hukum bergantung pada realitas perubahan
yang terjadi pada masyarakat. Hukum sebagai pilar penjaga ketenteraman
masyarakat, tentu elastis dan tidak kaku. Maqa>s}id al-syari>‘ah sebagai landasan menjadi
sasaran orientasi dalam penetapan hukum
tersebut.
Kesimpulan
Berdasarkan beberapa uraian di atas, dapat disimpulkan
sebagai berikut:
1. Perda Syariat
Islam tentang Anti Pelacuran dalam pandangan fiqh jina>yah mendapat
legitimasi. Dalam hal ini, perzinaan termasuk dalam wilayah h}udu>d. Hanya saja, dalam rekonstruksi
hukum pidana Islam, sanksi hukum tidak
secara normatif harus sama dengan ketentuan tekstualitas al-Qur’a>n dan al-Sunnah. Sanksi
hukum diorientasikan pada aspek zawa>jir (penjeraan) bukan jawa>bir
(dogmatik). Dengan demikian, sanksi bagi pelaku zina tidak harus dijilid
atau dirajam. Sanksi yang diberikan kepada mereka dapat berupa penjara atau
sanksi yang lain yang dapat menimbulkan aspek jera.
2. Perda Syariat
Islam tentang Minum-minuman Keras, meskipun wilayah sanksinya terjadi perbedaan
pendapat di kalangan ulama apakah termasuk h}udu>d atau ta‘zi>r,
pelakunya tetap mendapat sanksi hukum. Dalam konteks individual dan sosial,
minum-minuman keras aspek negatifnya lebih besar daripada aspek positifnya. Minum-minuman
keras telah merusak berbagai sendi kehidupan baik pribadi maupun masyarakat.
Dalam hal ini, yang termasuk dalam kategori minum-minuman keras sangat
variatif, baik yang berupa cairan, serbuk maupun pil. Untuk itu setiap tindakan
yang memabukkan dilarang dan mendapatkan sanksi. Dalam hal ini, formalisasi
syariat Islam tentang Minum-minuman Keras dibenarkan.
3. Perda Anti Maksiat termasuk dalam wilayah ta‘zi>r, yaitu alternatif hukum yang diberikan kepada pelanggar. Dalam
rekonstruksi fiqh jina>yah, hukum pidana ta‘zi>r tetap dalam koridor
menghargai keberagaman budaya dan kebebasan beragama masyarakat. Jika
bertentangan dengan keberagaman budaya dan kebebasan beragama, hukum pidana ta‘zi>r tidak dapat diberlakukan. Oleh karena itu, Perda Syariat Islam
tentang Anti Kemaksiatan tidak boleh mencerminkan diskriminasi yang
meminggirkan kelompok perempuan. Status perempuan perlu disejajarkan dengan
status laki-laki. Sasaran hukum tidak selalu mengarah kepada perempuan tetapi
juga laki-laki. Aturan yang tidak memperkenankan perempuan pada waktu malam
kecuali bersama muh}rimnya adalah cerminan diskriminatif yang menggambarkan bahwa perempuan kurang
berperan dalam ranah publik, demikian juga aturan tentang kewajiban memakai
jilbab bagi perempuan Islam dan anjuran bagi non-muslim. Untuk itu, diperlukan
rekonstruksi terhadap hukum yang mengarah pada persamaan dan kesederajatan.
DAFTAR PUSTAKA
Abu
Yazid (ed.). Fiqh Realitas: Respons Ma‘had Aly terhadap Wacana Hukum Islam
Kontemporer. Yogyakarta : Pustaka Pelajar,
2005.
Ahmad
Rofiq. Fiqh Kontekstual: Dari Normatif ke Sosial. Yogyakarta :
Pustaka Pelajar, 2004.
al-‘Asymawi>,
Muh}ammad Sa‘i>d. “Syari>‘ah: Kodifikasi Hukum Islam,” dalam Wacana
Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-Isu Global. ed.
Charles Kursman. ter. Bahrul Ulum. Jakarta :
Penerbit Paramadina, 2001.
al-Burnu,
Muhammad Sidqi. al-Wajiz fi Idah al-Fiqh
al-Kulliyat. Beirut :
Mu’assasat al-Risalah, 1983.
Hakim,
Abdul Hamid. al-Bayan. Jakarta :
Sa‘diyah Putra, 1983.
Haidar,
M. Ali. “Hukum Minuman Bir,” dalam Problematika Hukum Islam Kontemporer. ed.
Chuzaimah T. Yanggo dan A. Hafiz Anshari. Jakarta :
Pustaka Firdaus, 2002.
Hosen,
Ibrahim. “Beberapa Catatan tentang Reaktualisasi Hukum Islam,” dalam Kontekstualisasi
Ajaran Islam. ed. Muhammad Wahyuni Nafis et.al. Jakarta : Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia
Bekerjasama dengan Yayasan Wakaf Paramadina, 1995.
Mahmasani, Subhi. Falsafat al-Tashri‘ fi al-Islam.
Beirut : Dar
al-Kashshaf
wa al-Nashr,
1979.
Moesa,
Ali Maschan. Islam Tradisional: Realitas Sosial dan Realitas Politik. Kediri : Penerbit Pustaka
Jenggala Utama, 2008.
---------.
NU, Agama dan Demokrasi: Komitmen Muslim Tradisionalis terhadap Nilai-nilai
Kebangsaan. Surabaya :
Pustaka Dai Muda Bekerjasama dengan Putra Pelajar, 2002.
Mualim,
Amir dan Yusdian. Ijtihad: Suatu Kontroversi antara Teori dan Fungsi. Yogyakarta : Titian Press, t.t.
Muhammad,
Husein. Islam Agama Ramah Perempuan: Pembelaan Kiai Pesantren. Yogyakarta : LKiS, 2004.
Mulya,
Siti Muzdah. “Peminggiran Perempuan dalam Syariat,” dalam Jurnal Tashwirul
Afkar: Perda Syariat Islam Menuai Makna. edisi 20. Jakarta : Lakpesdam, 2006.
al-Nadawi,
‘Ali Ah}mad. al-Qawa’id al-Fiqhiyat: Mafhumuha wa
Nash’atuha wa Adillatuha wa Muhimmatuha wa
Tatbiquh.
Damaskus: Dar al-Qalam, 1994.
an-Na‘im,
Abdullahi Ahmed. Toward an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human
Rights, and International Law. New York : Syracuse University Press, 1990.
al-Naysaburi,
Abu al-H{asan Muslim bin Hajjaj al-Qushayri.
Sahih Muslim. juz 3. Beirut :
Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1992.
al-Qazwini,
Abu ‘Abd Allah Muh}ammad bin Yazid. Sunan Ibn Majah. juz
2. Beirut :
Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.t.
Rosyidi,
A. Rahmat dan Ahmad, M. Rais. Formalisasi Syariat Islam dalam Perspektif
Tata Hukum Indonesia .
Bogor : Ghalia Indonesia , 2006.
Rumadi.
“Perda Syariat Islam: Jalan Lain Menuju Negara Islam?" dalam Jurnal
Tashwirul Afkar: Perda Syariat Islam Menuai Makna. edisi 20. Jakarta : Lakpesdam, 2006.
al-Sijistani,
Abu Dawud Sulayma>n bin Ash‘ath.
Sunan Abi Dawud. juz 2. Beirut :
Dar al-Fikr, 1994.
al-Subki,
‘Ali bin ‘Abd al-Kafi. al-Ibhaj fiSharh al-Minhaj. juz 3. Beirut : Da>r al-Kutub
al-‘Ilmiyah, 1995.
Sudiro,
Masruh. Islam Melawan Narkoba. Yogyakarta: Penerbit Madani Pustaka
Hikmah, 2003.
Usman,
Mushlih. Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1997.
al-Zarqa’.
Ah}mad bin Muh}ammad. Sharh al-Qawa’id al-Fiqhiyat. Damaskus: Dar al-Qalam, 1989.
[1] Penulis adalah Guru Besar UIN Sunan Ampel Surabaya dan Pengasuh Pesantren Al-Qur'an Asy-Syahadah Surabaya.
[2]A. Rahmat Rosyidi dan M. Rais
Ahmad, Formalisasi Syariat Islam dalam Perspektif Tata Hukum Indonesia (Bogor :
Ghalia Indonesia ,
2006), 160.
[3]Lihat Rumadi, “Perda Syariat
Islam: Jalan Lain Menuju Negara Islam?" dalam Jurnal Tashwirul Afkar:
Perda Syariat Islam Menuai Makna, edisi 20 (Jakarta : Lakpesdam, 2006), 17-18. Baca Siti
Muzdah Mulya, “Peminggiran Perempuan dalam Syariat,” dalam Jurnal, ibid.,
41-44.
[4]Perda jenis ini banyak muncul di
beberapa daerah. Perda ini sangat tipikal dengan Islam sehingga orang akan
dengan mudah mengidentifikasi sebagai perda syariat Islam. Siapapun akan
mengatakan bahwa dalam jilbab ada kepentingan untuk menunjukkan identitas
keislamannya. Dalam konteks ini, Musdah Mulia menilai ada peminggiran perempuan
dalam perda syariat, di antaranya Surat Edaran Bupati Pamekasan Jawa Timur
Nomor 450 Tahun 2002 tentang Kewajiban Berjilbab bagi Karyawan Pemerintah,
Surat Edaran Bupati Maros Sulawesi Selatan tanggal 21 Oktober 2002 tentang
Kewajiban Berjilbab bagi Karyawan Pemerintah, Perda Sinjai yang dibuat
berdasarkan kesepakatan DPRD, masyarakat, dan Pemda Sinjai tentang Kewajiban Berjilbab bagi Karyawan
Pemerintah, Perda Gowa Sulawesi Selatan yang dibuat berdasarkan adat dan kesepakatan
masyarakat tentang wajibnya jilbab bagi karyawan pemerintah, Perda Cianjur
Indramayu Pesaman Barat tentang Kewajiban Para Pelajar Perempuan Mengenakan
Baju Kurung atau Jilbab dan Surat Edaran Bupati Cianjur tentang Anjuran
Pemakaian Seragam Kerja (Muslim/Muslimah pada Hari-hari Kerja). Perda serupa
ditemukan dalam bentuk Surat Edaran Bupati Tasikmalaya Nomor
451/SE/04/Sos/2001, Perda Solok Sumatera Barat Tahun 2000, Instruksi Walikota
Padang Nomor 451.421/Binsos-III/2005 tanggal 7 Maret berisi perintah wajib
jilbab bagi orang Islam dan anjuran memakainya untuk non-Islam. Siti Musdah
Mulia, “Peminggiran Perempuan dalam Perda Syariat Islam,” dalam Jurnal
Tashwirul Afkar, 28.
[5]Menurut Musdah, sejumlah perda
membatasi kebebasan perempuan beraktivitas di ruang publik pada malam hari, di
antaranya Perda Kabupaten Goa Nomor 7 Tahun 2003 tentang larangan perempuan
berjalan sendirian atau berada di luar rumah tanpa ditemani muh}rimnya,
khususnya pada selang waktu pukul 24:00, Perda Tangerang Nomor 8 Tahun 2005
yang salah satunya membenarkan menangkap perempuan di tempat umum karena diduga
melacur. Dijumpai pula sejumlah perda yang sepintas isinya tidak
mendiskreditkan perempuan, namun dalam
implementasinya menjadikan perempuan sebagai sasaran utama seperti Qanun
Propinsi Aceh Nomor 14 Tahun 2003 tentang larangan berkhalwat, Perda Kota
Lampung Nomor 15 Tahun 2002 tentang Larangan Perbuatan Prostitusi dan Tuna
Susila, Perda Kabupaten Lahat Nomor 3 Tahun 2002 tentang Larangan Perbuatan
Pelacuran dan Tuna Susila, Perda Kota Mataram Nomor 12 Tahun 2003 tentang
Pencegahan Maksiat, dan Perda Kota Kupang Nomor 39 Tahun 1999 tentang
Penertiban Tempat Pelacuran. Ibid.
[6]Pada tahun 1991, melalui Direktorat
Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, pemerintah mengeluarkan peraturan
mengenai seragam pelajar. Keputusan ini sekaligus membolehkan para pelajar
putri (siswi) muslim di lembaga pendidikan menengah untuk mengenakan jilbab,
karena keyakinan mereka, dapat melakukannya tanpa harus takut terkena sanksi
(SK No. 100/C/Kep/D/1991). Diundangkannya peraturan ini dapat diartikan sebagai
refleksi perhatian negara dan pemerintah
terhadap penerapan ajaran Islam.
[7]Dari berbagai aspek hukum Islam
yang ada, hududd memang menjadi primadona, bahkan dibandingkan
dengan kejahatan-kejahatan yang lain. Sebagai contoh, dari tiga kategori
kejahatan hudud, qisas, dan ta‘zir, kejahatan qisas tidak banyak dibicarakan berkaitan dengan penerapan syariat Islam. Seperti
diketahui, kejahatan-kejahatan qisas mencakup pembunuhan dengan
sengaja, pembunuhan yang terjadi karena salah sasaran, pembunuhan yang tidak
disengaja, dan kejahatan yang disengaja dengan person baik yang menimbulkan
cidera atau cacat. Hukuman untuk kejahatan semacam ini adalah retalisasi dan
kompensasi (diyah). Demikian juga kategori kejahatan ta‘zi>r
tidak banyak mengandung kontroversi karena memang dalam sejarah ta‘zir
diperkenalkan belakangan dan menjadi wadah bagi jenis-jenis kejahatan kategori
sisa dari yang ada di dalam h}udu>d dan qis}a>s}.
[9]Rasulullah bersabda:
خذوا عنى قد جعل الله لهن سبيلا البكر بالبكر جلد مائة وتغريب عام والثيب بالثيب جلد مائة ورجم بالحجارة (Ambillah dariku, Allah telah memberikan jalan kepada para wanita yang berzina. Bujangan yang berzina dengan bujangan dijilid seratus kali dan diasingkan selama satu tahun. Duda yang berzina dengan janda dijilid seratus kali dan dirajam dengan batu). Abu al-Hasan Muslim bin Hajjaj al-Qushayri al-Naysaburi, Sahih Muslim, juz 3 (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1992), 1316. Abu ‘Abd Allah Muh}ammad bin Yazid al-Qazwini, Sunan Ibn Majah, juz 2 (Beirut :
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.t.), 853. Abu Dawud Sulayman bin Ash‘ath al-Sijistani, Sunan
Abi Dawud, juz 2 (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), 348.
خذوا عنى قد جعل الله لهن سبيلا البكر بالبكر جلد مائة وتغريب عام والثيب بالثيب جلد مائة ورجم بالحجارة (Ambillah dariku, Allah telah memberikan jalan kepada para wanita yang berzina. Bujangan yang berzina dengan bujangan dijilid seratus kali dan diasingkan selama satu tahun. Duda yang berzina dengan janda dijilid seratus kali dan dirajam dengan batu). Abu al-Hasan Muslim bin Hajjaj al-Qushayri al-Naysaburi, Sahih Muslim, juz 3 (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1992), 1316. Abu ‘Abd Allah Muh}ammad bin Yazid al-Qazwini, Sunan Ibn Majah, juz 2 (
[12]Ali Maschan Moesa, Islam
Tradisional: Realitas Sosial dan Realitas Politik (Kediri : Penerbit Pustaka Jenggala Utama,
2008), 89.
[13]Ibid.
[14]M. Ali Haidar, “Hukum Minuman
Bir,” dalam Problematika Hukum Islam Kontemporer, ed. Chuzaimah T.
Yanggo dan A. Hafiz Anshari (Jakarta :
Pustaka Firdaus, 2002), 145.
[15]Ali Maschan Moesa, NU, Agama
dan Demokrasi: Komitmen Muslim Tradisionalis terhadap Nilai-nilai Kebangsaan (Surabaya : Pustaka Dai
Muda Bekerjasama dengan Putra Pelajar, 2002), 307.
[16]Ibid., 308.
[17]Maschan, Islam Tradisional, 89-90.
[18]Ibid., 90.
[19]Masruh Sudiro, Islam Melawan
Narkoba (Yogyakarta : Penerbit Madani
Pustaka Hikmah, 2003), 134-135.
[20]Ahmad Rofiq, Fiqh
Kontekstual: Dari Normatif ke Sosial (Yogyakarta :
Pustaka Pelajar, 2004), 174-175.
[21]Abu Yazid (ed.), Fiqh
Realitas: Respons Ma‘had Aly terhadap Wacana Hukum Islam Kontemporer (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005), 269.
[22]Haidar, “Hukum Minuman Bir,” dalam
Problematika, 147.
[23]Husein Muhammad, Islam Agama
Ramah Perempuan: Pembelaan Kiai Pesantren (Yogyakarta :
LKiS, 2004), 32-34.
[25]Lihat ‘Ali bin ‘Abd
al-Kafi al-Subki, al-Ibhaj fi Sharh al-Minhaj, juz 3 (Beirut: Da>r al-Kutub
al-‘Ilmiyah, 1995), 149. Abdul Hamid Hakim, al-Bayan (Jakarta:
Sa‘diyah Putra, 1983), 19. Mushlih Usman, Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997), 20.
[27]Baca Muhammad Sidqi al-Burnu, al-Wajiz fi Idah} al-Fiqh al-Kulliyat
(Beirut: Mu’assasat al-Risa>lah, 1983), 182. Ahmad bin Muh}ammad
al-Zarqa’, Sharh al-Qawa’id al-Fiqhiyat (Damaskus:
Dar al-Qalam, 1989), 227. ‘Ali Ahmad al-Nadawi, al-Qawa’id
al-Fiqhiyat: Mafhu>muha wa Nash’atuha wa Adillatuha wa
Muhimmatuha wa Tat}biquha (Damaskus:
Dar al-Qalam, 1994), 27, 65, dan 158.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar