Senin, 13 Juli 2020

Yudisium Hafidzah & Pelantikan Pengurus Masa Bakti 2020- 2021 Pondok Pesantren Al-Qur'an Asy-Syahadah Surabaya


Setelah mengalami penundaan karena wabah corona, Pesantren Al-Qur'an Asy-Syahadah Surabaya bisa melaksanakan Yudisium Hafidzah Al-Qur'an dan Pelantikan Pengurus masa bakti 2020-2021 yang berada di wilayah Tambak Wedi Kenjeran, tepatnya Jl. Tambak Wedi Gang Lebar Blok H No. 5 Surabaya.

Ada 35 santriwati yang di wisuda sebagai penghafal Al-Qur'an 30 Juz secara tasmi' ditempuh selama 1 tahun. Yang tercepat ditempuh oleh hafidzah selama 3 bulan 18 hari. Ini sebuah prestasi bagi Pondok Pesantren Al-Qur'an yang didirikan semenjak tahun 2015 ini.

Disela-sela yudisium dan pelantikan juga diisi dengan peneguhan santri sebagai Santri Tanggap Covid 19 serta penyerahan sumbangan masker dari Jakarta. Santri ditekankan untuk selalu menerapkan protokol kesehatan dengan sering mencuci tangan setelah melakukan akivitas, menggunakan masker jika keluar pondok, dan selalu menjaga jarak saat berada di luar pondok. Ini dilakukan karena akhir-akhir ini, corona sudah menyerang sebagian pondok pesantren di wilayah Jawa Timur.


Sebagai antisipasi, Pondok Pesantren Al-Qur'an Asy-Syahadah asuhan Prof. Dr. KH. Sahid HM, M.Ag., M.H. menekankan kepada santriwati untuk patuh pada anjuran pemerintah dan selalu mengikuti perkembangan covid 19.

(Tim Publikasi)

Selasa, 29 Oktober 2019

CERAMAH DI MAPOLDA JAWA TIMUR


KEKERASAN DAN ANARKHIS MENURUT ISLAM



Pada tanggal 16 Oktober 2019, Masjid Arif Nurul Huda Mapolda Jawa Timur mengadakan acara pengajian ba'da shalat Dhuhur. Penceramah yang memberi materi adalah Prof. Dr. KH. Sahid HM, M.Ag., M.H., Pengasuh Pesantren Al-Qur'an Asy-Syahadah Surabaya sekaligus Guru Besar UIN Sunan Ampel. Materi yang disampaikan adalah menolak kekerasan dan anarkhis yang selalu terjadi di Indonesia. 


Dalam penjelasannya, Kiai Sahid menyampaikan bahwa Islam adalah agama damai baik secara personal maupun kolektif. Islam tidak mengajarkan kekerasan dan anarkhis. Gerakan yang mengarah pada kekerasan dan anarkhis, meskipun mengatasnamakan agama, tidak dibenarkan oleh Islam. Oleh karena itu, Islam melarang gerakan yang mengarah ke kanan-kananan dan mengarah ke kiri-kirian. Islam menentang gerakan ekstrem kanan dan ekstrem kiri. Dalam kontes ini, Islam adalah ajaran mutawssith atau moderat, tidak ekstrem kanan dan ekstrem kiri.

Dalam realitasnya, di era kontemporer ini gerakan yang mengarah ke kanan-kanan sering disebut fundamentalisme agama atau radikalisme agama. Gerakannya cenderung menghalalkan segala cara. Pandangan yang bertentangan dengan gerakan ini dianggap sesat, bahkan kafir. Oleh karena itu, mereka harus dibunuh. Jika terkait dengan pemerintahan, para pejabat dianggap thagut. Oleh karena itu, struktur negara harus dihancurkan dan langkah yang ditempuh adalah kekerasan dan anarkhis.

Secara normatif, Islam melarang gerakan semacam itu dan secara sosiologis gerakan ini harus ditolak. Tindakan mereka terkategori menentang Allah dan Rasulullah dan melakukan kerusakan di muka bumi. Di dalam al-Qur'an surat al-Maidah (5) ayat 33 Allah berfirman:

إنما جزاء الذين يحاربون الله ورسوله ويسعون فى الأرض فسادا أن يقتلوا أن يصلبوا أو تقطع أيديهم وأرجلهم من خلاف أو ينفوا من الأرض ذلك لهم خزي فى الدنيا ولهم فى الآخرة عذاب عظيم.

"Sesungguhnya pembalasan bagi orang-orang yang memerangi Allah dan RasulNya dan melakukan kerusakan di muka bumi, hendaknya mereka dibunuh, disalib, dipotong tangan dan kaki mereka dengan silang, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka mendapatkan siksaan yang berat."

Memperhatikan gerakan radikalisme tersebut, kesadaran masyarakat perlu dimunculkan dengan gerakan "tolak kekerasan dan anarkhisme." Jika gerakan kesadaran ini dilakukan oleh berbagai elemen masyarakat dan terjadi secara menyeluruh di Indonesia, maka gerakan radikalisme dengan sendirinya akan hilang. Kekuatan radikalisme akan lumpuh dengan sendirinya. Oleh karena itu, umat Islam perlu menyatukan persepsi agar bangsa Indonesia tidak terpecah karena adu domba yang diciptakan. Kebaikan yang tidak terstruktur akan mudah dihancurkan oleh kejahatan yang terstruktur. Umat Islam perlu menciptakan kebaikan yang terstruktur agar dengan mudah menghancurkan kejahatan yang diciptakan.

Pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib, radikalisme agama pernah terjadi dengan munculnya aliran Khawarij. Ketika terjadi perang Shiffin pada tahun 657 M di Suriah yang menyebabkan arbitrasi (tahkim) antara Ali bin Abi Thalib dengan Mu'awiyah, kedua orang ini dianggap kafir. Ali dianggap kafir karena memutus dengan musyawarah, sedang Muawiyah dianggap kafir karena menentang pemerintahan yang sah. Ali bin Abi Thalib dibunuh oleh orang dari kalangan khawarij yang bernama Abdurrahman bin Muljam pada tanggal 26 Januari Tahun 661 M di Masjid Agung Kufah.
 


Di era sekarang, meskipun bukan Khawarij, radikalisme agama muncul.  Kelompok yang bukan golongannya dianggap kafir. Gerakan ini bahkan melakukan kekerasan dengan pembunuhan dan pengoboman. Pemahaman agama yang tekstualis normatif dikembangkan. Slogan yang dimunculkan di masyarakat adalah bahasa Allahu Akbar. Kekerasan yang dilakukan oleh mereka tidak hanya tertuju kepada komunitas non Muslim tetapi juga Muslim. Sasaran yang menjadi target adalah negara atau pemerintah. Untuk mengantisapi radikalisme semacam ini, aparat secara khusus dan masyarakat secara umum harus melakukan pencegahan, karena tindakan mereka bertentangan dengan ajaran Islam.

Islam diturunkan oleh Allah untuk memberikan kedamaian dan keselamatan kepada masyarakat. Sebagai komunitas Muslim, orientasi yang dikembangkan adalah ketenteraman dan keharmonisan. Untuk itu, hubungan antarumat beragama perlu dilakukan secara baik. Nilai-nilai kemanusian perlu dikembangkan untuk membangun perdamaian dunia.


Senin, 28 Oktober 2019

CERAMAH DI MASJID AGUNG KOTA BLITAR

Membangun Budaya Akhlak Mulia Dalam Konteks Kebangsaan dan Kenegaraan


Pada tanggal 27 Oktober 2019 ba'da shalat subuh, Prof. Dr. KH. Sahid M.Ag., M.H., Pengasuh Pesantren Al-Qur'an Asy-Syahadah,  menyampaikan ceramahnya dengan judul "Membangun Akhlak Mulia dalam Konteks Kebangsaan dan Kenegaraan." Menurutnya, negara akan rapuh jika landasan pembangunan hanya didasarkan pada politik, ekonomi, atau sosial. Sebaliknya, negara akan kokoh jika landasan yang dijadikan dasar adalah akhlak. Jika akhlak kokoh, fondasi yang lain diletakkan, misalnya politik, ekonomi, dan sosial. Di era kemerdekaan, Soekarno menjadi Presiden meletakkan arah Indonesia pada sektor politik, di era orde baru, Soeharto meletakkan arah Indonesia pada aspek ekonomi, di era reformasi, arah Infonesia diletakkan pada berbagai aspek tanpa menguatkan akhlak. Dampaknya, Indonesia mengalami kerapuhan dalam bidang moral. Berbagai sektor kurang berjalan sebagaimana mestinya. Meskipun berbagai aturan dibuat, aturan banyak yang tidak dipatuhi. Korupsi terjadi di berbagai instansi negara, free love and free sex sangat meresahkan masyarakat, dan berbagai pelanggaran menjadi tontonan yang sulit mendapatkan penyelesaian



Rasulullah berdakwah di makah, landasan yang digunakan adalah akhlak yang dibarengi dengan akidah. Akhlak yang menjadi fondasi Rasulullah membangun masyarakat. Dalam suatu hadis, Rasulullah bersabda: إنما بعثت لأتمم مكارم الأخلاق (Sesungguhnh aku diutus di muka bumi untuk menyempurnakan akhlak). Ketika berada di Mekah, Rasulullah meletakkan akhlak yang diberengi dengan akidah sebagai pijakan. Ketika berada di Madinah, Rasulullah meletakkan dasar-dasar yang lain seperti politik, ekonomi, dan sosial. Dalam konteks ini, Rasululllah sukses membangun negara dalam waktu yang relatif singkat. Negara Madinah dibentuk oleh Rasulullah dengan kedamaian. Aturan yang dibuat Rasulullah ditaati secara baik oleh masyarakat. Ketaatan masyarakat terhadap aturan karena mereka memiliki akhlak yang mulia dan akidah yang kuat sebagai dimensi perrtanggungjawan kepada Allah di akhirat.

Dalam membangun kebangsaan, Rasulullah meletekkan Negara Madinah, bukan Negara Agama. Negara dibangun secara bersama-sama oleh berbagai komunitas umat agama tanpa mendeskreditkan salah satu agama. Dengan demikian, toleransi diperkuat di tengah-tengah masyarakat Madinah. Konsep ini menjadi basis Negara Kebangsaan (Nation State). Mereka merasa memiliki Negara Madinah sehingga masyarakat menjadi kokoh.

Nahdlatul Ulama sebagai organisasi kemasyarakaran dan keagamaan, menjadikan wawasan kebangsaan sebagai landasan dengan konsep: حب الوطن من الإيمان (Cinta tanah air bagian dari iman). NU tidak mengantagoniskan agama dan negara. Negara dan agama berjalan secara sinergis dan saling mengisi. Simbiosis mutualistik antara agama dan negara berjalan secara baik. Negara butuh agama dan agama butuh negara. Oleh karena itu, pada tahun 1984 dalam Muktamar di Situbondo, NU menerima Pancasila sebagai asas tunggal. Ini menunjukkan bahwa dalam mengembangkan wawasan kebangsaan, NU menggunakan akhlak mulia yang didasarkan pada prinsip-prinsip ajaran agama Islam secara baik.

Akhlak Nahdlatul Ulama dalam berdakwah mengikuti langkah yang dilakukan oleh Walisongo, tidak konfrontasi tapi akomudasi. Budaya yang eksis di nusantara tidak dihancurkan. Ketika Masjid Demak mau diresmikan, terjadi dialog antara Sunan Kalijaga dan Sunan Giri yang dimediatori oleh Sunan Ampel. Dalam peresmian itu, Sunan Kalijaga ingin menampilkan wayang kulit sebagai media dakwah. Sunan Giri menolak karena wayang kulit menyerupai manusia yang secara normatif dilarang oleh Rasilullah. Sunan Kalijaga akhirnya merubah wayang kulit agar tidak menyerupai manusia dengan mamanjangkan tangannya sampai ke tanah. Kreasi Sunan Kalijogo ini kemudian diterima oleh Sunan Giri. Akhlak semacam ini menciptkan kedamaian kepada masyarakat nusantara karena antara agama dan budaya tidak saling menghancurkan tapi saling mengisi. Dalam hal ini, NU mengembangkan akhlak Walisanga dalam berdakwah untuk membangun kebangsaan dan kenegaraan.

Dalam konteks kekinian, sebagian gerakan keagamaan cenderung tidak menggunakan akhlak mulia dengan menginport tardisi luar yang bertentangan dengan budaya nusantara. Sebagian dai cenderung mengkafirkan umat Islam yang mengamalkan ajaran Islam mengandung unsur budaya. Gerakan takfiri ini berdampak negatif bagi kehidupan berbangsa dan bernegara karena tidak memahami sosologis masyarakat. Gerakan ini justru mendapatkan pertentangan dari masyarakat karena dianggap konfrontatif. Selain gerakan takfiri, gerakan jihadi muncul. Negara Indonesia dianggap negara kafir, pemerintah dianggap thaghut dan mayoritas masyarakat Indonesia dianggap ahlul bid'ah wal khurafat. Mereka melakukan pengeboman dan pembunuhan kepada sesama masyarakat muslim. Mereka dianggap kafir yang harus dibunuh. Gerakan radikal keagamaan ini tidak mencerminkan akhlak mulia. Mereka justru membuat kerusakan di bumi nusantara.



Dari ulasan di atas bangsa dan negara akan kokoh jika akhlak dikedepankan. Wawasan kebangsaan perlu berdialektika dengan agama agar tidak terjadi konfrontasi. Dengan konsepsi ini, negara dan agama saling mengisi. Selain itu, budaya nusantara tidak dihancurkan tapi untuk dipertemukan ajaran agama. Dialektika semacam ini, akan menciptakan Islam Nusantara yang kuat.

Sabtu, 19 Oktober 2019

Kunci Meraih Sukses Menghafal al-Qur'an


KUNCI MERAIH SUKSES MENGHAFAL AL-QUR'AN

Pada tanggal 17 Oktober 2019, Pesantren Al-Qur'an Asy-Syahadah mitra Pondok Pesantren Hamalatul Qur'an Jogoroto Jombang, mengadakan acara kajian dengan tema: Kunci Meraih Sukses Menghafal al-Qur'an. Dalam acara tersebut,  Prof. Dr. KH. Sahid HM, M.Ag., M.H. selaku Pengasuh Pesantren Al-Qur'an Asy-Syahadah Surabaya, menjelaskan bahwa al-Qur'an adalah wahyu Allah yang memberikan petunjuk kepada manusia dan menjadi pedoman hidup. Al-Qur'an diturunkan oleh Allah sebagai mukjizat dan tidak satu pun karya manusia yang bisa menandinginya. Membaca al-Qur'an meskipun tanpa menggunakan instrumentalia, orang yang membaca dan mendengarkan dapat meresapi bacaan al-Qur'an.  Oleh karena itu, orang yang menghafal al-Qur'an diberikan kemudahan dan tidak akan mengalami kesulitatan.


Senada dengan apa yang disampaikan oleh Kiai Sahid, KH. Ainul Yakin, S.Q. selaku Pengasuh Pondok Pesantren Hamalatul Qur'an Jogoroto Jombang, memberikan penjelasan bahwa menghafal al-Qur'an itu harus diresapi dengan hati, direnungkan dangan fikiran dan diimplementasikan dengan tindakan. Kiai Yakin kemudian memberikan kunci meraih sukses menghafal al-Qur'an, salah satunya adalah habituasi, yaitu metode pembiasaan. Jika membaca al-Qur'an dijadikan kebiasaan, maka al-Qur'an dengan sendirinya mudah dihafal. Santri yang meghafal al-Qur'an, kebosanan terkadang menghinggapi. Hanya saja, jika rutinatas membaca al-Qur'an dilakukan, kebosanan itu dengan sendirinya akan hilang. Untuk menumbuhkan kebiasaan, pada awalnya teori "pokso" perlu dilakukan. Secara bertahap, kebiasaan akan muncul dan pemaksaan akan halang,  kemudian istiqamah menjadi kebiasaan.

Untuk mempermudah menghafal al-Qur'an, membaca al-Qur'an jangan dilakukan dengan hentakan-hentakan yang justru akan mempersulit karena konsentrasi menjadi terpecah. Membaca al-Qur'an harus dengan tartil dan irama yang lembut. Tajwid harus diperhatikan secara baik. Dengan ilmu tajwid, bacaan al-Qur'an menjadi berirama dan sesuai tata aturan bacaan al-Qur'an. Selain itu, fashahah dalam pembacaan al-Qur'an harus diterapkan. Jika membaca al-Qur'an dilakukan dengan fashahah, kemudahan dalam menghafal akan didapatkan.




Untuk memperkuat hafalan al-Qur'an, Kiai Yakin mewajibkan santri melakukan muraqabah dengan membaca al-Qur'an 10 juz dalam sehari semalam. Dengan demikian, 3 hari sekali santri dapat menghatam al-Qur'an. Rutinitas semaacam ini akan menciptakan kebiasaan dan daya hafal secara reflektif. Kiai Yakin mengarahkan bahwa lagu bacaan dalam muraqabah harus sama. Untuk mengetahui bacaan santri dalam muraqabah, Kiai Yakin mempraktekkan lagu yang digunakan dan para santri diminta untuk mempraktekkannya.






Selasa, 15 Oktober 2019

Terjemah Al-Qur'an dengan Sistem HARFun

Di Pesantren Al-Qur'an Asy-Syahadah, Jl. Tambak Wedi Lebar Blok H No. 5 Surabaya terdapat kegiatan rutin santriwati menerjemahkan Al-Qur'an dengan sistem HARFun. Setiap hari Sabtu setelah salat Isya' dan muraqabah 1 juz, secara rutin kejian terjemah ini dilakukan. Kegiatan ini dibina oleh Ustadz Syaichu Buchori, S.Ag. Ustadz alumnus Universitas Hasyim Asy'ari (UNHASY) Faklutas Dakwah Jombang ini mengajarkan terjemah al-Qur'an dengan sistem cepat dan mudah.

Kegiatan ini sengaja dimulai  pada Tahun Baru Islam 1441 H agar nuansa kemeriahan dan kebahagiaan terasa. Santriwati dengan program 1 tahun hafal al-Qur'an 30 juz, diharapkan mereka mampu memahami artinya. Dengan demikian, Pesantren Al-Qur'an Asy-Syahadah di masa mendatang diharapkan mampu mencetak santriwati yang hafidhah yang menguasai maknanya.



Menurut Ustadz Syaichu, sistem HARFun ini sangat mudah dan rileks. Santriwati yang bisa membaca al-Qur'an bisa belajar dengan sistem ini. Akan lebih cepat jika santriwati telah menguasai bacaan al-Qur'an secara baik, apalagi mereka sudah banyak menghafal ayat-ayat al-Qur'an.

Minggu, 13 Oktober 2019

Rekonstruksi Fiqh Jinayah terhadap PERDA Syariat Islam

REKONSTRUKSI FIQH JINAYAH

TERHADAP PERDA SYARIAT ISLAM

Oleh: Sahid HM[1]
Abstrak: Kajian ini membahas formalisasi syariat Islam tentang peraturan daerah (perda) dalam kajian rekonstruksi fiqh jinayah. Masalah yang dikaji adalah formalisasi syariat tentang Perda Anti Perzinaan, Perda Anti Minum-minuman Keras, dan Perda Anti Kemaksiatan. Dalam perspektif fiqh jinayah, Perda Syariat Islam tentang Anti Pelacuran dalam pandangan fiqh jinayah mendapat legitimasi. Dalam hal ini, perzinaan termasuk dalam wilayah h}udud. Hanya saja, dalam rekonstruksi fiqh jinayah,  sanksi hukum tidak secara normatif harus sama dengan ketentuan tekstualitas al-Quran dan al-Sunnah. Perda Syariat Islam tentang Minum-minuman Keras, meskipun wilayah sanksinya terjadi perbedaan pendapat, pelakunya tetap mendapat sanksi hukum. Dalam konteks individual dan sosial, minum-minuman keras aspek negatifnya lebih besar daripada aspek positifnya. Perda Anti Maksiat termasuk dalam wilayah tazir. Dalam rekonstruksi fiqh jinayah, hukum pidana ta‘zir tetap dalam koridor menghargai keberagaman budaya, kebebasan beragama, dan tidak diskriminatif. Dalam hal ini, Perda Syariat Islam tentang Anti Kemaksiatan mencerminkan diskriminasi dan meminggirkan kelompok perempuan. Dalam pandangan fiqh jinayah, perda tersebut tidak diperkenankan.

Kata Kunci: Rekonstruksi, Fiqh Jinayah, Peraturan Daerah, dan Syariat Islam

Pendahuluan

Di masa otonomi daerah, pemerintah mengakomodasi dan merespons secara positif terhadap keinginan umat Islam di berbagai daerah yang berupaya melakukan formalisasi syariat Islam. Selama masih dalam kerangka kesatuan dan persatuan bangsa serta tidak mengancam disintegrasi nasional, pemerintah memberikan suasana yang kondusif terhadap kesiapan masyarakat dalam mengaplikasikan syariat Islam. Hal ini diartikan sebagai keragaman dan pengayaan hukum yang menjadi bagian dari sistem hukum nasional. Keinginan masyarakat di berbagai daerah untuk melakukan formalisasi dan aplikasi syariat Islam, tidak diartikan secara politik bahwa mereka ingin mendirikan negara Islam. Trauma politik yang pernah terjadi pada masa lalu perlu diwaspadai secara proporsional tetapi tidak memberikan stigma negatif yang memunculkan kecurigaan terhadap umat Islam.[2]
Kebijakan pemerintah tentang otonomi daerah tersebut, disambut positif oleh berbagai daerah dengan melahirkan berbagai kebijakan daerah, tidak terkecuali kebijakan yang bernuansa agama. Lahirnya beberapa peraturan daerah (perda) yang berbasis pada ajaran agama misalnya dapat dijadikan contoh respons sejumlah daerah itu. Perda tersebut kemudian populer dengan istilah perda syariat Islam, sekalipun para pengusungnya tidak setuju dengan istilah tersebut dan lebih senang dengan sebutan Perda Amar Ma‘ruf Nahi Munkar atau perda yang berkaitan dengan moralitas.
Secara juridis, perda-perda syariat Islam tentang hukum pidana Islam di beberapa daerah banyak bermunculan, di antaranya: 1) Perda 2/2004 tentang Pencegahan, Penindakan, dan Pemberantasan Maksiat di Padang Pariaman, 2) Perda 6/2002 tentang Wajib Berbusana Muslim di Solok, 3) Perda 11/2001 tentang Pemberantasan dan Pencegahan Maksiat di Sumatera Barat, 4) Perda 24/2000 tentang Pelarangan Pelacuran di Kota Bengkulu, 5) Perda 13/2002 tentang Pemberantasan Maksiat di Sumatera Selatan, 6) Perda 2/2004 tentang Pemberantasan Pelacuran di Palembang, 7) Perda 6/2002 tentang Ketertiban Sosial (Pelacuran, Pakaian Warga, dan Kumpul Kebo) di Batam, 8) Raperda Pemberantasan Pelacuran dan Minuman Keras di Depok, 9) Perda 8/2005 tentang Pemberantasan Maksiat di Kota Tangerang, (10) Perda 6/2000 tentang Kesusilaan di Garut, 11), Surat Edaran 29 Agustus tentang Wajib Berjilbab Siswa Sekolah di Cianjur dan Perda 8/2006 tentang Larangan Pelacuran di Cianjur, 12) Perda 7/1999 tentang Prostitusi di Indramayu, 13) Surat Edaran Bupati Pamekasan Nomor 450/2002 tentang Kewajiban Berjilbab bagi Karyawan Pemerintah, Perda 18/2001 tentang Larangan atas Minum-minuman Keras, dan Perda 18/2004 tentang Larangan atas Pelacuran dalam Wilayah Kabupaten Pamekasan, 14) Perda 19/2004 tentang Larangan Minuman Keras dan Beralkohol, Perda 22/2004 tentang Larangan berbuat Cabul dan Melakukan Tindak Asusila di Gresik, 15) Perda 6/2005 tentang Busana Muslim di Enrekang, 16) Perda 10/2003 tentang Pencegahan Maksiat, dan 17) Perda 15/2003 tentang Busana Muslim, 18) Perda 2/2002 tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Keras, 19) Surat Edaran Nomor 451/2001 tentang Himbauan Memakai Jilbab dan Perda 1/2000 tentang Pemberantasan Pelacuran, dan 20) Peraturan Desa 5/2006 tentang Pemberlakuan Hukum Pidana H}udud dan Qisas di Padang Sulawesi Selatan.[3]
Sebagian kalangan meminta pencabutan terhadap perda tersebut dan memberikan kesempatan kepada semua warga negara untuk menjalankan UU tanpa diskriminasi terhadap kelompok tertentu. Perda dinilai merusak kebhinekaan dan bisa menimbulkan ego kedaerahan. Selain itu, mereka menilai perda tersebut inkonstitusinal. Sebagian yang lain berpendapat bahwa perda tidak bertentangan dengan UU. Dalam hal ini, nilai-nilai Islam yang dituangkan dalam perda merupakan implementasi dari nilai yang telah hidup di masyarakat sebagaimana nilai adat dan barat. Selain itu, perda syariat selaras dengan semangat reformasi dan dapat mengisi kelemahan hukum nasional. Menurutnya, jika perda tidak diterima, judicial review dapat diajukan ke Mahkamah Agung.
Dalam konteks hukum pidana Islam, perda syariat Islam tentang moralitas dapat berupa Perda Berbusana,[4] Anti Pelacuran, Anti Perzinaan, Anti Minuman Beralkohol, atau Anti Kemaksitan.[5] Istilah “maksiat” yang digunakan adalah tipikal Islam, namun isunya terkadang bukan tipikal Islam. Secara realistis beberapa perda yang dikeluarkan cenderung mengarah pada  kelompok perempuan, di antaranya adalah perda syariat Islam yang terkait dengan berpakaian seperti keharusan memakai jilbab.[6] Terkait perda syariat Islam tersebut, penerapan hukum pidana Islam, terutama bertalian dengan jenis-jenis sanksi dijatuhkan bagi pelanggar. Karena Islamisasi di Indonesia tidak menyentuh level ini, Islamisasi di daerah dapat diarahkan. Kalau di Aceh Islamisasi sudah sampai level ini, maka daerah lain dimungkinkan akan melakukan ekspremen yang sama.
Dari beberapa uraian di atas, formalisasi syariat Islam tentang perda dalam perspektif fiqh jina>yah adalah urgen dibahas. Kajian ini menitikberatkan pada kajian hukum pidana yang secara realistis dan aplikatif selalu menjadi kontroversi di tengah masyarakat.
Rekonstruksi Perda Anti Perzinaan
Sebagian umat Islam, khususnya mereka yang terlibat dalam politik menuntut pemberlakuan syariat Islam dengan memperlihatkan asumsi bahwa reformasi dalam kehidupan umat Islam dapat dilakukan dengan pendekatan hukum, institusi, dan instrumen negara. Syariat dalam hal ini dipersepsikan pada nuansa yang berbasis negara dan perangkat-perangkatnya. Oleh karena itu, syariat Islam secara legal formal dalam konstitusi diupayakan dapat tercantum. Kelompok-kelompok yang ingin menerapkan syariat Islam seringkali menekankan hudud sebagai unsur pokok dalam penerapan syariat. Selama h}udud belum diterapkan, penerapan syariat Islam dipandang tidak lebih dari basa-basi.[7] Hudud menjadi garis pemisah yang nyata dan tegas antara kelompok yang menginginkan syariat Islam dan para penentang. Bagi kelompok yang menentang penerapan syariat Islam, hudud juga menjadi target utama. Sebagai isu kontroversial antara kelompok yang pro dan yang kontra, hudud lebih membedakan dan menimbulkan polarisasi daripada hukum keluarga seperti nikah, talak, cerai, dan rujuk, demikian juga yang berkaitan dengan formalisasi zakat, wakaf, bank syariah, dan haji. Untuk itu, pembaruan hukum pidana secara aplikatif terhadap syariat Islam perlu dilakukan untuk meminimalisir visted interest di kalangan yang pro dan yang kontra penerapan syariat Islam.
Sebagai langkah rekonstruksi terhadap masalah hudud, misalnya adalah hukuman rajam bagi pelaku zina. Rajam merupakan hukuman yang diakui oleh seluruh fuqaha’ kecuali sekelompok Azariqah dari kelompok Khawarij. Mereka tidak menerima hadis-hadis jika tidak memenuhi syarat mutawatir. Menurut mereka, hukuman bagi muhsan dan yang bukan muhsan adalah jilid. Mereka menyandarkan hukuman itu kepada al-Qur’an surat al-Nur ayat 2.[8] Pendapat ini sejalan dengan pandangan an-Na‘im, hanya argumennya yang berbeda. An-Na‘im memberi penekanan, jilid adalah hukuman hadd yang didasarkan pada al-Qur’an, sedang rajam yang berdasarkan al-Sunnah[9] berlaku dalam situasi tertentu,[10] tidak totalitas.
Tampaknya hukuman rajam bagi pelaku zina muhsan di dalam al-Qur’an tidak ada, yang ada hanya dalam hadis. Penerapan rajam dalam aspek penjeraan tidak tercermin, karena peluang hidup bagi pelakunya sangat mungkin tidak ada. Hukuman hadd sebagai hak Allah, inti penekanannya adalah kemaslahatan umat dan penyadaran. Jika hukuman jilid memberi penyadaran, kemaslahatan umat tidak terganggu. Sanksi hukum yang bersifat kondisional ini dapat dikembangkan berupa hukuman penjara atau sanksi hukum lain yang mengarah pada maslahah dan penyadaran.
Paradigma di atas sejalan dengan pemikiran hukum pidana Islam kontemporer. Hukuman dalam konteks riil lebih ditekankan pada aspek zawajir daripada aspek jawabir sebagai maqasid atau ‘illah hukum. Artinya, hukuman yang dilakukan ditekankan pada yang bersalah agar jera dan tidak akan mengulangi tindak pidana. Dengan demikian, hukuman tidak terikat dan terpaku pada apa yang tertera dalam nass. Atas dasar ini, pelaku tindak pidana bisa saja dihukum dengan hukuman selain yang tertera dalam nass, yang penting hukuman itu diharapkan dapat membuat pelakunya jera, tidak akan mengulangi lagi perbuatan yang serupa dan membuat orang punya niat serupa mengurungkan niatnya.[11] Dalam konteks ini, pendekatan ta‘aqquli didahulukan daripada pendekatan ta‘abbudi. Dengan cara berpikir seperti ini, ‘illat al-hukm dan hikmat al-tasyri‘ dapat dicerna oleh penalaran rasional yang dapat diterima oleh masyarakat.
Elastisitas hukum dengan tanpa melepaskan pendekatan normativisme hukum tersebut lebih sejalan daripada dogmatisme hukum yang tidak boleh ditawar-tawar. Oleh karena itu, sangat proporsional jika rajam yang berdasarkan hadis hanya bersifat kondisional. Rajam yang terjadi pada masa Islam awal merupakan hukuman yang didasarkan pada kebijakan tertentu. Untuk itu, sangat bijak dan lebih mengandung keadilan jika hukuman zina tidak terlalu diberatkan. Kesempatan bagi pelakunya untuk memperbaiki diri sangat diperlukan, sehingga dia menjadi orang yang berguna bagi masyarakatnya kelak.
Berdasarkan nilai mas}lah}ah dan keadilan yang dijadikan ukuran dalam menentukan hukum, maka hal yang sangat urgen adalah kesesuaian hukum dengan masyarakat. Artinya, jika terdapat hukuman selain rajam atau jilid dan hukuman itu diterima oleh masyarakat serta menjadi standar untuk ukuran maslahah dan adil, maka pemberlakuan hukum itu dapat diterima. Meskipun demikian, langkah itu harus memperhatikan berbagai aspek tujuan. Dalam hal ini, kita tahu bahwa tujuan hukum pidana itu untuk memenuhi rasa keadilan, pembalasan, dan pencegahan agar tidak melakukan pelanggaran lagi yang dapat ditiru oleh masyarakat yang lain. Di samping itu, pemidanaan ini dipakai sebagai langkah untuk mendidik dan membantu terpidana supaya hidup tenteram dan diterima oleh masyarakat seperti sebelum dia melakukan pelanggaran.
Keterangan di atas tidak berarti menafikan konsepsi yang menetapkan hukum rajam atau jilid sebagai satu-satunya hukuman bagi pelaku zina. Pemberlakuan hukuman ini dilakukan jika kondisi masyarakat menerima dan tindak pidana terjadi dalam keadaan normal. Jika tidak, kita harus mencari alternatif hukum yang akseptabel dan mengantarkan pada penjeraan. Dengan demikian, akal pikiran dapat menyusun ketentuan-ketentuan baru, meskipun diktum-diktum hukum spesifik al-Qur’an terabaikan, asalkan sejalan atau tidak bertentangan dengan ajaran pokok dimana al-Qur’a>n diturunkan.
Hukum pidana hudud yang bermuara pada relativitas sanksi hukum sebagian besar pada dasarnya telah diatur dalam hukum nasional. Dengan demikian, ideal moral al-Qur’an dan al-Sunnah telah diimplementasikan dalam hukum pidana nasional.  Secara umum, penerapan hukum pidana dalam syariat diorientasikan pada prinsip larangan, bukan sanksi. Untuk itu, langkah mamasukkan hukum pidana Islam tetap merujuk pada ideal moral, bukan legal spesifik.
Dalam konteks tersebut, Perda Syariat tentang Perzinaan di beberapa daerah mendapat legitimasi. Meskipun demikian, perda itu tidak berlabelkan Islam, ukurannya adalah pandangan secara umum seperti Perda Anti Pelacuran yang semua komponen umat beragama melarangnya. Dalam hal ini, perda tidak bertentangan dengan hak asasi manusia dan mengganggu kepentingan orang lain. Perda syariat mengakomodasi berbagai kepentingan umat, tetap dalam bingkai NKRI, dan berorientasi pada ideologi Pancasila. Untuk itu, sanksi Perda Anti Pelacuran tidak secara normatif sesuai dengan teks sanksi yang tertuang dalam al-Qur’an, tetapi secara moral sanksi dapat diberikan sesuai kesepakatan daerah dengan merujuk pada ideal moral dalam al-Qur’an dan al-Sunnah.
Rekonstruksi Perda Anti Minum-minuman Keras
Berkenaan dengan minum-minuman keras (khamer), sebagian daerah telah membuat perda. Jika merujuk kepada nas}s}, spesifikasi al-Qur’an dan hadis yang menggambarkan hukuman h}add bagi orang yang minum khamer sebenarnya tidak ada. Praktik Rasulullah dan para sahabat yang tidak sama dalam memberikan sanksi, merupakan kebijakan mereka dalam menetapkan hukum. Menurut sebagian fuqaha’, hukuman itu lebih proporsional jika dikatakan ta‘zir, sebagai upaya kebijakan dengan melihat kasus tertentu yang lebih relevan dengan kehidupan masyarakat pada saat ini. Sebagian yang lain berpendapat, hukuman tersebut termasuk dalam katageri hudud. Meskipun berbeda pendapat, mereka sepakat bahwa tindakan minum khamer adalah  haram dan dikenai sanksi hukum.
Jika minum khamer itu dianggap sesuatu yang membahayakan dan melanggar tatanan agama, pada saat sekarang ini—sebagai  rekonstruksi—mungkin  kadar yang pasti harus diberi batasan. Minuman yang memabukkan yang secara langsung terbuat dari perasan anggur atau buah-buahan lain hampir tidak ada, yang ada adalah minuman yang terbuat dari alkohol. Hanya saja, kadar antara yang satu dengan yang lain tidak sama. Untuk itu, batasan minuman yang memabukkan dan dilarang harus ada kejelasan dan pasti klasifikasinya. Meskipun demikian, jika kadar yang memabukkan sedikit tetapi bahaya negatif terjadi pada pribadi atau masyarakat, secara faktual hal tersebut membutuhkan pengaturan. 
Hal yang identik dengan minum-minuman keras adalah narkotika, yaitu zat-zat atau obat yang dapat mengakibatkan ketidaksadaran atau pembiusan, dikarenakan zat tersebut bekerja mempengaruhi susunan saraf sentral. Yang termasuk dalam definisi narkotika adalah candu dan zat yang dibuat dari candu seperti morphine, codein, dan methadone. Dengan demikian, narkotika adalah sejenis zat yang apabila digunakan akan membawa efek dan pengaruh tertentu pada tubuh pemakai, yaitu: (a) mempengaruhi kesadaran, (b) memberikan dorongan yang dapat berpengaruh terhadap perilaku manusia, (c) pengaruh-pengaruh tersebut berupa penenang, perangsang, dan menimbulkan halunisasi, yakni pelakunya tidak mampu membedakan antara khayalan dan kenyataan, kehilangan kesadaran akan waktu dan tempat.[12]
Secara lebih rinci jenis-jenis narkotoka yang perlu diketahui dalam kehidupan sehari-hari karena dampaknya yang sangat membahayakan bagi kehidupan generasi muda adalah (1) candu atau opium, (2) morphine, (3) heroin, (4) cocaine, (5) ganja atau mariyuana jenis betina, dan (6) Napza (narkotika alkohol psikotropika dan zat adiktif), yaitu sejenis narkotika yang dihasilkan melalui proses kimia secara farmakologi, yang termasuk di dalamnya minuman yang mengandung alkohol seperti beer, whisky, vodka, dan lain sebagainya.[13]
Dewasa ini terdapat banyak jenis dan merk minuman yang mengandung alkohol. Ada jenis minuman yang kadar alkoholnya rendah antara 1-5 % seperti bir dan minuman bermerk Green Send; ada pula yang kadar alkoholnya antara 5-20 % seperti anggur; dan ada pula antara 20-45 % seperti Wiski. Walaupun secara teoritis minuman yang kadar alkoholnya rendah tidak memabukkan jika diminum tidak melebihi kadar normal, namun semua minuman beralkohol mempunyai dampak kecanduan. Karena itu, akibatnya adalah sama, meracuni manusia.[14]
Minum-minuman lain juga bermunculan dengan wujud yang berbeda berupa ekstasi. Dalam rumus kimia, ekstasi disebut MDMA (methylendioxsy-phenylisopropylamine), yang ditemukan pada tahun 1910 oleh ahli kimia Jerman, yaitu DR. G. Mannis dan DR. W. Yacobson. Namun baru pada tahun 1939, temuan ini diujicobakan pada hewan dan hasilnya memberikan efek samping terhadap susunan syaraf. Pada tahun 1950, Prof. Gordon Allen dari University of California mengembangkan MDMA. Setelah diuji di laboratorium pada kadar 70 sampai 150 mg, ternyata efeknya sangat luar biasa dalam mempengaruhi susunan syaraf pusat dan akhirnya dinamakan ekstasi yang artinya suatu kenikmatan yang luar biasa dan penuh pesona.[15]
Untuk saat ini, MDMA sudah dimodifikasi dengan unsur kimia lainnya sehingga mencapai efek seperti yang diinginkan oleh pembuatnya. Di Belanda  misalnya, sedikitnya 16 jenis ekstasi yang semuanya menimbulkan rangsangan yang berbeda-beda. Sebagai contoh jenis play boy bisa menimbulkan halunisasi, sementara jenis lainnya bisa menimbulkan rangsangan tertawa dan gembira. Sedangkan jenis tango yang banyak beredar di Indonesia saat ini lebih banyak mengandung rangsangan speed, yang menyebabkan rangsangan selalu ingin menggerak-gerakkan tubuhnya.[16]
Menurut para pakar farmakologi dan kedokteran dari berbagai negara, pil ini bisa menimbulkan kelumpuhan otak. Hal ini disebabkan, bagi peminum pil ini, suhu tubuhnya akan meningkat penuh semangat. Bila belum klimaks, sinar lampu menjadi sangat indah dan hentakan musik keras menyebabkan tubuh terasa tersedot mengikuti gerak iramanya. Reaksi pil ini pada umumnya berkisar 3-5 jam, tergantung kualitasnya.
Uraian di atas mengilustrasikan bahwa bahaya dan akibat dari penyalahgunaan khamer (narkotika) berdampak pada pribadi si pemakai dan berdampak pada bahaya sosial di tengah masyarakat. Bahaya yang berdampak pada pribadi dapat menimbulkan pengaruh dan efek-efek terhadap tubuh si pemakai dengan gejala sebagai berikut. Pertama, euphoria, suatu rangsangan kegembiraan yang tidak sesuai dengan kenyataan. Kedua, delirium, yaitu keadaan menurunnya kesadaran dan timbulnya kegelisahan yang dapat menimbulkan gangguan terhadap gerakan anggota tubuh. Ketiga, halunisasi, yaitu suatu keadaan dimana si pemakai mengalami khayalan. Keempat, weakness, yaitu kelemahan baik dari segi fisik maupun psikis. Kelima, drowsiness, yaitu mabuk, kacau ingatan dan mengantuk. Keenam, coma, yaitu puncak kemerosotan yang akhirnya menyebabkan kematian.[17]
Sedang bahaya yang berdampak sosial adalah menyangkut kepentingan bangsa dan negara di masa yang akan datang, terutama bagi keberlangsungan generasi anak bangsa seperti kemerosotan moral, meningkatkan kecelakaan, meningkatkan kriminalitas dan membunuh generasi penerus secara perlahan tetapi pasti.[18] Masa depan bangsa menjadi suram apabila penyalahgunaan narkotika melanda generasi muda secara luas. Selain itu, sistem keamanan, ekonomi, politik dan budaya nasional akan terancam apabila suatu negara telah dijadikan pasar gelap narkoba internasional oleh jaringan pengedar narkoba.
Perubahan-perubahan sosial yang serba cepat sebagai konsekuensi modernisasi dan industrialisasi telah mempengaruhi kehidupan manusia baik sebagai individu, keluarga, masyarakat maupun bangsa. Dalam masyarakat modern dan industri yang bercorak sekuler, terdapat ketidakpastian fundamental di bidang hukum, nilai, moral, dan etika kehidupan. Terhadap perubahan-perubahan sosial dan ketidakpastian tersebut, tidak semua orang mampu menyelesaikan diri yang pada gilirannya yang bersangkutan jatuh sakit dan salah satu bentuknya adalah penyalahgunaan narkotika. Untuk memperoleh rasa sejahtera (well being), masyarakat modern mencari solusi dengan menggunakan narkoba dan mengesampingkan agama, karena agama dianggap tidak rasional dan penghambat kemajuan dan modernisasi.[19]
Untuk mengantisipasi problem di atas, pemerintah telah mengeluarkan banyak peraturan perundang-undangan tentang narkotika dan peredarannya, di antaranya UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, UU No. 7 Tahun 1997 tentang Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika, Permenkes No. 688/Menkes/Per/VII/1997 tentang Peredaran Psikotropika, Permenkes No. 785/Menkes/Per/VII/1997 tentang Ekspor dan Impor Psikotropika, UU No. 8 Tahun 1996 tentang Konvensi Psikotropika. Selain itu Perda Anti Minuman Keras bermunculan di daerah karena dinilai bertentangan dengan agama dan berbahaya bagi masyarakat.
Secara legal formal, pemerintah telah bersungguh-sungguh dalam mengantisipasi dan mengawasi peredaran obat-obatan yang membahayakan. Obat-obatan itu selain membahayakan juga mengandung manfaat. Jika obat-obatan tersebut dikonsumsi di luar konsep dokter, dampaknya adalah perusakan diri, akal, dan jiwa seseorang.[20] Dalam hal ini, derajad kemanusiaan ternodai dan menjadi rendah.
Dalam konteks hukum pidana Islam, narkotika dan sejenisnya dapat dianalogikan dengan khamer atau minuman keras. Pada zaman Jahiliah minum minuman keras menjadi tradisi. Kebiasaan minuman keras berlanjut sampai masa Islam. Salah satu misi Nabi Muhammad dalam mengatur tata kehidupan sosial adalah penetapan larangan minuman keras. Misi ini berhasil dijalankan Rasulullah di tengah masyarakat Arab yang mewarisi tradisi peminum berat. Keberhasilan ini antara lain, Nabi Muhammad membangun masyarakat yang secara struktural dan fungsional memiliki etika normatif yang didasarkan pada wahyu.
Larangan minuman keras dijelaskan dalam al-Qur’a>n. Penetapan itu dilakukan secara bertahap. Dalam surat al-Baqarah ayat 219 diungkapkan bahwa minuman keras mengandung dosa besar selain ada manfaatnya, tetapi dosanya lebih besar daripada manfaatnya. Setelah itu, dalam surat al-Nisa>’ ayat 43 Allah melarang orang yang mengerjakan salat dalam keadaan mabuk karena dikhawatirkan mengacaukan bacaan dalam salat. Ketika kondisi umat Islam stabil dan mapan, Allah kemudian melarang minuman keras dengan penegasan bahwa minuman keras, berhala, dan undian adalah perbuatan keji, termasuk perbuatan syetan dan harus dihindari sebagaimana dalam surat al-Ma>’idah ayat 90-91. Larangan secara bertahap dilakukan karena minum minuman khamer adalah tradisi yang disenangi dan menjadi kebutuhan masyarakat Arab pada saat itu serta mengandung manfaat bagi manusia. Jika larangan ditetapkan tidak secara bertahap, masyarakat tentu menolak. Karena itu, larangan dilakukan secara berangsur agar tidak menjadi beban masyarakat.
Dalam konteks Islam, kesehatan dan kesejahteraan hidup manusia di dunia dan akhirat merupakan misi utama. Dua hal tersebut harus tampak nyata dalam berbagai segmen penting kehidupan dan sekaligus akan menjadi ukuran nilai perilaku dan aktivitas manusia. Salah satu segmen tersebut adalah memberi perlindungan terhadap kesehatan akal.[21]
Faktor akal menempati posisi yang paling vital dalam kehidupan manusia. Manusia sehat adalah manusia yang akalnya sehat, sistem sarafnya bekerja secara baik. Khamer mengakibatkan gangguan saraf akal. Orang mabuk karena gangguan khamer, sistem sarafnya terganggu. Dalam  hukum Islam, di antara tujuannya adalah memelihara akal (h}ifz} al-‘aql). Oleh karena itu, setiap tindakan yang merusak akal pikiran manusia dilarang oleh Islam.
Selain itu, khamer (minuman beralkohol) merusak bagian tubuh seperti hati (pankreas) dan kelumpuhan kekebalan dan pertahanan tubuh. Kerusakan hati akibat alkohol  berupa hati berlemak hepatetis atau cirrhosia. Minuman beralkohal dalam jangka waktu lama menyebabkan tubuh menderita kekurangan berbagai meneral penting yang masuk ke dalam tubuh manusia akan terserap alkohol dan akibatnya vitamin itu akan habis dan tidak berfungsi bagi tubuh manusia. Secara normatif Islam melarang manusia menjatuhkan dirinya dalam kehancuran (al-Baqarah: 195).
Di dalam hukum Islam, standar yang digunakan adalah mendahulukan kepentingan umum daripada kepentingan khusus. Minum khamer jika dianalis lebih cenderung kepada kepentingan pribadi daripada kepentingan umum. Kepentingan yang mengarah pada publik relatif kecil. Hal ini terbukti, masyarakat mengalami kekacauan, sedang yang memproduksi mendapat keuntungan. Dalam hal ini, mudarat lebih banyak daripada manfaatnya. Dengan demikian, antara kepentingan umum dan kepentingan pribadi bertolak belakang. Jika terjadi demikian, hukum Islam lebih mendahulukan kepentingan umum daripada kepentingan khusus. Dalam Kaidah Fiqhi>yah disebutkan: Dar’ al-mafa>sid muqaddam ‘ala> jalb al-mas}a>lih} (Menolak  kerusakan lebih didahulukan daripada menarik kemaslahatan).
Secara psikologis khamer menimbulkan efek menyenangkan, perasaan euporia, banyak bicara, merasa lebih leluasa berhadapan dengan orang lain dan wajahnya kemerah-merahan. Rentetan efek negatifnya adalah mal adaptif, agresif, terangsang untuk berkelahi, halangan fungsi sosial, gangguan kordinasi gerak, pembicaraan cadel/pelo, berjalan gontai, daya ingat kacau, dan kehilangan kemampuan intelektual. Dampak yang lainnya adalah kekacauan kemampuan abstraksi, bahasa, aktivitas motorik, serta nagnosia. Pada studium kronis, peminum alkohol akan mengalami gangguan yang lebih berat berupa kemunduran mental secara total dan fisik. Kehidupannya menjadi tergantung pada orang lain. Jika kebiasaan minum alkohol tidak dihentikan atau dikurangi, gejala tremor kasar (gemetar) pada tangan, lidah dan kelopak mata; mual dan muntah; kelemahan karena berdebar, tekanan darah meningkat, kecemasan dan depresi, mudah tersinggung, pembicaraan melantur, gangguan siklus bangun tidur, dan halunisasi. Dalam hukum Islam, tindakan merusak diri sendiri dan orang lain dilarang (la> d}arara wa la> d}ira>ra).
Keterangan-ketarangan di atas membuktikan bahwa ungkapan dalam al-Qur’a>n dan al-Sunnah mengenai khamer sesuai realitas. Penelitian medis membuktikan efek negatif khamer bagi kehidupan manusia baik secara pribadi maupun sosial. Peminum khamer akan mengalami berbagai gangguan fisik maupun psikis. Bahkan kalaupun kebiasaan minum khamer dihentikan, pelakunya tidak luput dari gangguan lain. Kebiasaan minum khamer akan berakibat negatif dan sekalipun akan dihentikan juga akan menimbulkan efek negatif. Akibat-akibat negatif yang ganda ini memperjelas penegasan haramnya khamer dalam al-Qur’a>n dan al-Sunnah yang dinyatakan berulang kali. Rentetan efek negatif ini akan berkembang dan mempengaruhi kehidupan sosial secara luas yang pada gilirannya menimbulkan anarkhisme, hukum dan norma etik maupun sosial tidak bisa berjalan. Pada tingkat ini kekacauan akan terjadi.[22]
Berdasarkan akibat-akibat yang ditimbulkan dari minuman beralkohol yang sangat beragam dan negatif, maka sanksi hukum layak diberikan. Peminum minuman keras meskipun tidak mabuk layak mendapatkan sanksi. Dengan demikian, jenis narkotika beralkohol kadar ringan dan tidak memabukkan jika diminum bila dikonsumsi sampai batas normal, hal itu tetap diharamkan. Substansi narkotika hakikatnya adalah sama dengan khamer untuk memenuhi kebutuhan foya-foya, kesenangan, dan keberingasan. Realitasnya orang yang minum beralkohol yang sekadarnya tidak menjadi gejala umum dan jarang terjadi.
Dalam realitasnya ketentuan-ketantuan tersebut belum teraplikasi secara baik. Untuk itu, formalisasi atau kodifikasi hukum dalam bentuk Perda Syariat menjadi penting. Pembenahan peraturan perundang-undangan dan pelaksanaannya dilakukan secara sungguh-sungguh dan konsisten. Ketentuan-ketentuan agama yang secara eksplisit dan tidak bertentangan dengan budaya bangsa Indonesia dipositifkan menjadi hukum negara sebagai pilihan untuk merubah sistem hukum yang berlaku, atau sebagai penjelas terhadap hukum yang belum konkret.
Sehubungan dengan hal di atas, antisipasi penyelesaiannya adalah peningkatan perangkat hukum yang memadai. Untuk mencapai maksud tersebut perlu ditetapkan kebijaksanaan yang berimbang antara security approach dan welfare approach. Dengan demikian, upaya demand reduction dan supply reduction dapat dijalankan secara simultan, sinkron, koordinatif, konsisten, dan kontinu oleh semua pihak yang terkait, baik oleh pemerintah maupun masyarakat.
Rekonstruksi Perda Anti Maksiat
Secara normatif, aturan yang diundangkan oleh negara adalah qa>nu>n dan bersifat relatif. Dengan logika ini, formalisasi syariat tidak dilakukan secara totalitas tetapi melalui proses objektivikasi syariat dalam hukum nasional. Dalam konteks ini, syariat menjadi bagian dari hukum nasional dan menjadi sumber hukum nasional. Pemahaman ini mengilustrasikan bahwa syariat tidak dipahami secara literal yang diberlakukan secara totalitas tetapi melalui penyerapan, verifikasi, dan uji kelayakan untuk menjadi hukum nasional. Dengan demikian, status syariat sama dengan hukum adat dan hukum Barat. Agar syariat dapat aplikatif, pemahaman terhadap syariat diorientasikan pada pemaknaan yang bersifat inklusif dan menjadi hukum semua warga negara, tidak eksklusif dan hanya berlaku bagi umat tertentu.
Paradigma tersebut mengilustrasikan bahwa perda yang tidak menghargai keberagaman budaya dan kebebasan beragama masyarakat direkonstruksi, misalnya perda tentang kewajiban berjilbab bagi karyawan pemerintah dan perda tentang kewajiban para pelajar perempuan mengenakan baju kurung dan jilbab serta anjuran memakainya bagi non-muslim. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang pluralis baik dalam aspek agama maupun budaya. Jika masyarakat dipaksa untuk berjilbab dengan alasan penerapan syariat Islam, hal ini melanggar legitimasi hak perorangan dan kolektif pihak lain, baik di dalam maupun di luar komunitas muslim. Syariat Islam tidak memberikan persamaan konstitusional dan hukum kepada warga negera non-muslim. Masyarakat non-muslim derajatnya akan turun menjadi warga negara kelas dua. Perempuan muslim dalam posisi yang hampir sama. Di bawah supremasi syariat, status dan hak-hak mereka akan berkurang. Dalam konteks ini, syariat melegitimasi penggunaan kekerasan untuk tidak mengakui persamaan kedaulatan masyarakat non-muslim yang merupakan pelanggaran terhadap basis hukum internasional.
Secara implementatif, perda yang diterapkan di beberapa daerah percontohan syariat Islam, mensyaratkan memakai jilbab bagi perempuan yang hendak mengurus sesuatu di kantor desa atau kelurahan. Aparat desa atau kelurahan tidak memberi pelayanan bagi perempuan yang tidak memakai jilbab. Dengan menjadikan perda sebagai alat legitimasi, pada dasarnya parktik ini telah melanggar hak-hak perempuan untuk mendapatakan pelayanan publik. Perda ini juga mengabaikan eksistensi adat dan kebijakan lokal. Masyarakat yang tidak biasa dengan jilbab menjadi terkekang dan terpaksa untuk melakukan yang dalam tatanan hukum sebenarnya tidak menjadi pelanggaran.
Perda tentang larangan perempuan berjalan sendirian atau berada di luar rumah tanpa ditemani muh}rimnya, khususnya pada selang waktu pukul 24:00 juga perlu dikaji ulang dan direkonstruksi. Larangan terhadap perempuan untuk meninggalkan rumah kecuali untuk keperluan yang sangat mendesak merupakan kekerasan terhadap perempuan. Larangan ini bersifat hegemonik dan pengaruh kultur patriarkhis. Perempuan dianggap sebagai properti milik laki-laki yang berhak untuk diperlakukan sekehendaknya, termasuk dengan cara kekerasan. Laki-laki adalah pemilik hak kontrol dan hak menentukan segala tindakan perempuan, bukan hanya pada wilayah domistik tetapi juga pada wilayah publik. Jauh sebelum Islam lahir, struktur sosial Arab dalam perspektif budaya ketika itu bukan hanya tidak memiliki hak atas tubuhnya sendiri, tetapi juga dipandang sebagai permainan untuk kesenangan seks laki-laki di satu sisi dan dibenci pada sisi yang lain. Hak-hak mereka sepenuhnya berada di tangan laki-laki.
Fenomena umum masyarakat Arab pada masa itu masih berlangsung sampai sekarang, sehingga perempuan selalu terkungkung dan terbelunggu. Hal ini diperparah oleh pemahaman secara tekstual terhadap ayat-ayat al-Qur’a>n dan al-Sunnah. Diskriminasi gender dan kekerasan terhadap perempuan berujung pada problem metodologi tafsir terhadap teks-teks agama dan kemandegan dalam menganalisis teks-teks tersebut. Untuk itu, ayat-ayat al-Qur’a>n yang mengkritik budaya Arab yang dikriminatif menjadi dasar metodologi untuk melangkah ke arah perwujudan cita-cita al-Qur’a>n, yaitu kesetaraan manusia dan kebebasan untuk melakukan pemilihan tanpa ancaman dan kekerasan, sehingga tercipta sistem sosial yang adil.
Untuk melakukan rekonstruksi hukum, watak evolusi syariat dalam kesetaraan gender diterapkan jika dihadapkan pada situasi dan kondisi yang bertolak belakang dengan gagasan moral al-Qur’a>n. Cara ini mengaksentuasikan pada penghilangan makna yang diskriminatif dengan menempatkan sejarah sebagai realitas yang masih berlangsung dan diupayakan menuju idealitas gagasan al-Qur’a>n. Dengan demikian, landasan ini meniscayakan adanya gerak yang dinamis secara sosiologis, sehingga tidak terjebak pada pemikiran yang salah. Dengan demikian, relativitas pemahaman dan kontekstualisasi ajaran tetap terjaga dan tidak ditempatkan pada wilayah yang absolut dan abadi.
Larangan perempuan muslim keluar rumah tersebut tidak realistis, termasuk dalam konteks generasi Islam awal. Kenyataan perempuan pada masa Nabi bahkan memperlihatkan sejumlah realitas tentang aktivitas kaum perempuan, termasuk istri-istri Nabi, di ruang publik. Dalam sejarah peradaban Islam tercatat sejumlah besar kaum perempuan memainkan peran-peran publik yang sangat penting. ‘A<’isyah bint Abi> Bakr adalah tokoh besar, imam ahli hadis dan salah satu dari enam cendikiawan terkemuka. Ia memberikan kuliah keislaman kepada para sahabat yang lain. Ia menyampaikan lebih dari 2000 kata-kata dan perilaku keseharian Nabi. Bukha>ri> dan Muslim yang terkenal dengan standar seleksi yang ketat terhadap hadis-hadis Nabi mengambil dan memasukkan di dalam bukunya sekitar 300 hadis dari ‘A<’isyah. Ia sering terlibat dalam perdebatan sengit dengan para sahabat lak-laki. Ia tidak segan-segan mengkritik sejumlah pandangan ‘Umar ibn al-Khat}t}a>b, Ibn ‘Umar, dan Abu> Hurayrah. Badr al-Di>n al-Zarkasyi> (794 H) menyebut ada 23 orang sahabat terkemuka yang pendapat-pendapatnya dikoreksi oleh ‘A<i’syah. Sesudah Nabi wafat, ia juga tampil sebagai pemimpin politik dan melakukan oposisi terhadap ‘Ali> bin Abi> T{a>lib. Ia memimpin perang onta untuk melawan ‘Ali>.[23]
Dengan cara berpikir tersebut, doktrin-doktrin keagamaan yang mengindikasikan keterbatasan ruang lingkup perempuan perlu dihindari. Kelompok perempuan tidak ditempatkan dalam tembok yang terbatas. Mereka diberi peran melakukan aktivitas sebagaimana kelompok laki-laki. Hal yang mengarah pada keterkungkungan dan menjadikan mereka tidak jumu>d dicarikan alternatif yang mengarah pada keterbukaan dan kreativitas. Untuk itu, syariat Islam tidak dijadikan landasan untuk menindas perempuan, baik secara struktural maupun kultural. Pemahaman leteral terhadap teks keagamaan yang melegitimasi kekerasan domistik dihindarkan. Dengan demikian, Perda Syariat Islam yang mengarah pada peminggiran perempuan dapat dihindari.
Dalam konteks perubahan hukum, kondisi peminggiran perempuan tersebut direspons. Hukum pidana Islam bisa berubah karena terjadi perubahan zaman, tempat, dan keadaan. Hukum itu berkisar pada ‘illat atau alasan yang menyebabkan terjadinya perubahan hukum.[24] Di dalam kaidah hukum, terdapat penjelasan: al-h}ukm yadu>r ma‘a ‘illatih wuju>dan wa ‘adaman (hukum itu dinamis bergantung ‘illat, ada dan tidak adanya hukum).[25] Dengan demikian, realitas masyarakat Arab masa lalu yang menempatkan perempuan di bawah laki-laki diinterpretasi berdasarkan realitas kontemporer dengan merujuk pada nilai kesederajatan dan kesetaraan.
Perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat berimplikasi pada pola pikir dan tata nilai yang ada di masyarakat. Kondisi ini tentu menimbulkan problem bagi umat Islam. Konsekuensinya, solusi atas masalah tersebut diperlukan. Dengan demikian, hukum pidana Islam tidak kontra produktif dengan perubahan, bahkan senantiasa sesuai dengan perkembangan masyarakat. Artinya, hukum pidana Islam selalu akomodatif terhadap perkembangan.[26] Dalam hal ini, perubahan potensi perempuan yang menguat dalam realitas kontemporer diapresiasi oleh hukum pidana Islam dengan ditempatkan pada posisi yang sama dengan kelompok laki-laki secara fungsional.
Perbedaan semua itu membawa efek pada penetapan hukum yang tidak harus sama. Satu daerah dengan daerah lain, ketetapan hukumnya bisa berbeda. Meskipun demikian, ketetapan hukum tidak boleh keluar dari nilai-nilai universal yang terdapat dalam hukum pidana Islam. Ketentuan itu sesuai dengan kaidah Us}u>l Fiqh: Taghayyur al-ah}ka>m bi taghayyur al-azminah wa al-amkinah wa al-ah}wa>l (perubahan hukum bergantung pada perubahan masa, tempat, dan keadaan).[27]
Dari kaidah tersebut, sangat jelas bahwa ketetapan hukum bergantung pada realitas perubahan yang terjadi pada masyarakat. Hukum sebagai pilar penjaga ketenteraman masyarakat, tentu elastis dan tidak kaku. Maqa>s}id al-syari>ah sebagai landasan menjadi sasaran  orientasi dalam penetapan hukum tersebut.
Kesimpulan
Berdasarkan beberapa uraian di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.  Perda Syariat Islam tentang Anti Pelacuran dalam pandangan fiqh jina>yah mendapat legitimasi. Dalam hal ini, perzinaan termasuk dalam wilayah h}udu>d. Hanya saja, dalam rekonstruksi hukum pidana Islam,  sanksi hukum tidak secara normatif harus sama dengan ketentuan tekstualitas al-Qura>n dan al-Sunnah. Sanksi hukum diorientasikan pada aspek zawa>jir (penjeraan) bukan jawa>bir (dogmatik). Dengan demikian, sanksi bagi pelaku zina tidak harus dijilid atau dirajam. Sanksi yang diberikan kepada mereka dapat berupa penjara atau sanksi yang lain yang dapat menimbulkan aspek jera.
2.    Perda Syariat Islam tentang Minum-minuman Keras, meskipun wilayah sanksinya terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama apakah termasuk h}udu>d atau tazi>r, pelakunya tetap mendapat sanksi hukum. Dalam konteks individual dan sosial, minum-minuman keras aspek negatifnya lebih besar daripada aspek positifnya. Minum-minuman keras telah merusak berbagai sendi kehidupan baik pribadi maupun masyarakat. Dalam hal ini, yang termasuk dalam kategori minum-minuman keras sangat variatif, baik yang berupa cairan, serbuk maupun pil. Untuk itu setiap tindakan yang memabukkan dilarang dan mendapatkan sanksi. Dalam hal ini, formalisasi syariat Islam tentang Minum-minuman Keras dibenarkan.
3.   Perda Anti Maksiat termasuk dalam wilayah tazi>r, yaitu alternatif hukum yang diberikan kepada pelanggar. Dalam rekonstruksi fiqh jina>yah, hukum pidana ta‘zi>r tetap dalam koridor menghargai keberagaman budaya dan kebebasan beragama masyarakat. Jika bertentangan dengan keberagaman budaya dan kebebasan beragama, hukum pidana tazi>r tidak dapat diberlakukan. Oleh karena itu, Perda Syariat Islam tentang Anti Kemaksiatan tidak boleh mencerminkan diskriminasi yang meminggirkan kelompok perempuan. Status perempuan perlu disejajarkan dengan status laki-laki. Sasaran hukum tidak selalu mengarah kepada perempuan tetapi juga laki-laki. Aturan yang tidak memperkenankan perempuan pada waktu malam kecuali bersama muh}rimnya adalah cerminan diskriminatif  yang menggambarkan bahwa perempuan kurang berperan dalam ranah publik, demikian juga aturan tentang kewajiban memakai jilbab bagi perempuan Islam dan anjuran bagi non-muslim. Untuk itu, diperlukan rekonstruksi terhadap hukum yang mengarah pada persamaan dan kesederajatan.


DAFTAR PUSTAKA

Abu Yazid (ed.). Fiqh Realitas: Respons Ma‘had Aly terhadap Wacana Hukum Islam Kontemporer. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.

Ahmad Rofiq. Fiqh Kontekstual: Dari Normatif ke Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.

al-‘Asymawi>, Muh}ammad Sa‘i>d. “Syari>‘ah: Kodifikasi Hukum Islam,” dalam Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-Isu Global. ed. Charles Kursman. ter. Bahrul Ulum. Jakarta: Penerbit Paramadina, 2001.

al-Burnu, Muhammad Sidqi. al-Wajiz fi Idah al-Fiqh al-Kulliyat. Beirut: Mu’assasat al-Risalah, 1983.

Hakim, Abdul Hamid. al-Bayan. Jakarta: Sa‘diyah Putra, 1983.

Haidar, M. Ali. “Hukum Minuman Bir,” dalam Problematika Hukum Islam Kontemporer. ed. Chuzaimah T. Yanggo dan A. Hafiz Anshari. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002.

Hosen, Ibrahim. “Beberapa Catatan tentang Reaktualisasi Hukum Islam,” dalam Kontekstualisasi Ajaran Islam. ed. Muhammad Wahyuni Nafis et.al. Jakarta: Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia Bekerjasama dengan Yayasan Wakaf Paramadina, 1995.

Mahmasani,  Subhi. Falsafat al-Tashri fi al-Islam. Beirut: Dar al-Kashshaf wa al-Nashr, 1979.

Moesa, Ali Maschan. Islam Tradisional: Realitas Sosial dan Realitas Politik. Kediri: Penerbit Pustaka Jenggala Utama, 2008.

---------. NU, Agama dan Demokrasi: Komitmen Muslim Tradisionalis terhadap Nilai-nilai Kebangsaan. Surabaya: Pustaka Dai Muda Bekerjasama dengan Putra Pelajar, 2002.

Mualim, Amir dan Yusdian. Ijtihad: Suatu Kontroversi antara Teori dan Fungsi. Yogyakarta: Titian Press, t.t.

Muhammad, Husein. Islam Agama Ramah Perempuan: Pembelaan Kiai Pesantren. Yogyakarta: LKiS, 2004.

Mulya, Siti Muzdah. “Peminggiran Perempuan dalam Syariat,” dalam Jurnal Tashwirul Afkar: Perda Syariat Islam Menuai Makna. edisi 20. Jakarta: Lakpesdam, 2006.

al-Nadawi, ‘Ali Ah}mad. al-Qawa’id al-Fiqhiyat: Mafhumuha wa Nash’atuha wa Adillatuha wa Muhimmatuha wa Tatbiquh. Damaskus: Dar al-Qalam, 1994.

an-Na‘im, Abdullahi Ahmed. Toward an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human Rights, and International Law. New York: Syracuse University Press, 1990.

al-Naysaburi, Abu al-H{asan Muslim bin Hajjaj al-Qushayri. Sahih Muslim. juz 3. Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1992.

al-Qazwini, Abu ‘Abd Allah Muh}ammad bin Yazid. Sunan Ibn Majah. juz 2. Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.t.

Rosyidi, A. Rahmat dan Ahmad, M. Rais. Formalisasi Syariat Islam dalam Perspektif Tata Hukum Indonesia. Bogor: Ghalia Indonesia, 2006.

Rumadi. “Perda Syariat Islam: Jalan Lain Menuju Negara Islam?" dalam Jurnal Tashwirul Afkar: Perda Syariat Islam Menuai Makna. edisi 20. Jakarta: Lakpesdam, 2006.

al-Sijistani, Abu Dawud Sulayma>n bin Ashath. Sunan Abi Dawud. juz 2. Beirut: Dar al-Fikr, 1994.

al-Subki, ‘Ali bin ‘Abd al-Kafi. al-Ibhaj fiSharh al-Minhaj. juz 3. Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1995.

Sudiro, Masruh. Islam Melawan Narkoba. Yogyakarta: Penerbit Madani Pustaka Hikmah, 2003.

Usman, Mushlih. Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997.

al-Zarqa’. Ah}mad bin Muh}ammad. Sharh al-Qawa’id al-Fiqhiyat. Damaskus: Dar al-Qalam, 1989.




[1] Penulis adalah Guru Besar UIN Sunan Ampel Surabaya dan Pengasuh Pesantren Al-Qur'an Asy-Syahadah Surabaya.
[2]A. Rahmat Rosyidi dan M. Rais Ahmad, Formalisasi Syariat Islam dalam Perspektif Tata Hukum Indonesia (Bogor: Ghalia Indonesia, 2006), 160.
[3]Lihat Rumadi, “Perda Syariat Islam: Jalan Lain Menuju Negara Islam?" dalam Jurnal Tashwirul Afkar: Perda Syariat Islam Menuai Makna, edisi 20 (Jakarta: Lakpesdam, 2006), 17-18. Baca Siti Muzdah Mulya, “Peminggiran Perempuan dalam Syariat,” dalam Jurnal, ibid., 41-44.
[4]Perda jenis ini banyak muncul di beberapa daerah. Perda ini sangat tipikal dengan Islam sehingga orang akan dengan mudah mengidentifikasi sebagai perda syariat Islam. Siapapun akan mengatakan bahwa dalam jilbab ada kepentingan untuk menunjukkan identitas keislamannya. Dalam konteks ini, Musdah Mulia menilai ada peminggiran perempuan dalam perda syariat, di antaranya Surat Edaran Bupati Pamekasan Jawa Timur Nomor 450 Tahun 2002 tentang Kewajiban Berjilbab bagi Karyawan Pemerintah, Surat Edaran Bupati Maros Sulawesi Selatan tanggal 21 Oktober 2002 tentang Kewajiban Berjilbab bagi Karyawan Pemerintah, Perda Sinjai yang dibuat berdasarkan kesepakatan DPRD, masyarakat, dan Pemda Sinjai  tentang Kewajiban Berjilbab bagi Karyawan Pemerintah, Perda Gowa Sulawesi Selatan yang dibuat berdasarkan adat dan kesepakatan masyarakat tentang wajibnya jilbab bagi karyawan pemerintah, Perda Cianjur Indramayu Pesaman Barat tentang Kewajiban Para Pelajar Perempuan Mengenakan Baju Kurung atau Jilbab dan Surat Edaran Bupati Cianjur tentang Anjuran Pemakaian Seragam Kerja (Muslim/Muslimah pada Hari-hari Kerja). Perda serupa ditemukan dalam bentuk Surat Edaran Bupati Tasikmalaya Nomor 451/SE/04/Sos/2001, Perda Solok Sumatera Barat Tahun 2000, Instruksi Walikota Padang Nomor 451.421/Binsos-III/2005 tanggal 7 Maret berisi perintah wajib jilbab bagi orang Islam dan anjuran memakainya untuk non-Islam. Siti Musdah Mulia, “Peminggiran Perempuan dalam Perda Syariat Islam,” dalam Jurnal Tashwirul Afkar, 28.
[5]Menurut Musdah, sejumlah perda membatasi kebebasan perempuan beraktivitas di ruang publik pada malam hari, di antaranya Perda Kabupaten Goa Nomor 7 Tahun 2003 tentang larangan perempuan berjalan sendirian atau berada di luar rumah tanpa ditemani muh}rimnya, khususnya pada selang waktu pukul 24:00, Perda Tangerang Nomor 8 Tahun 2005 yang salah satunya membenarkan menangkap perempuan di tempat umum karena diduga melacur. Dijumpai pula sejumlah perda yang sepintas isinya tidak mendiskreditkan  perempuan, namun dalam implementasinya menjadikan perempuan sebagai sasaran utama seperti Qanun Propinsi Aceh Nomor 14 Tahun 2003 tentang larangan berkhalwat, Perda Kota Lampung Nomor 15 Tahun 2002 tentang Larangan Perbuatan Prostitusi dan Tuna Susila, Perda Kabupaten Lahat Nomor 3 Tahun 2002 tentang Larangan Perbuatan Pelacuran dan Tuna Susila, Perda Kota Mataram Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pencegahan Maksiat, dan Perda Kota Kupang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Penertiban Tempat Pelacuran. Ibid.
[6]Pada tahun 1991, melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, pemerintah mengeluarkan peraturan mengenai seragam pelajar. Keputusan ini sekaligus membolehkan para pelajar putri (siswi) muslim di lembaga pendidikan menengah untuk mengenakan jilbab, karena keyakinan mereka, dapat melakukannya tanpa harus takut terkena sanksi (SK No. 100/C/Kep/D/1991). Diundangkannya peraturan ini dapat diartikan sebagai refleksi  perhatian negara dan pemerintah terhadap penerapan ajaran Islam.
[7]Dari berbagai aspek hukum Islam yang ada, hududd memang menjadi primadona, bahkan dibandingkan dengan kejahatan-kejahatan yang lain. Sebagai contoh, dari tiga kategori kejahatan hudud, qisas, dan ta‘zir, kejahatan qisas tidak banyak dibicarakan berkaitan dengan penerapan syariat Islam. Seperti diketahui, kejahatan-kejahatan qisas mencakup pembunuhan dengan sengaja, pembunuhan yang terjadi karena salah sasaran, pembunuhan yang tidak disengaja, dan kejahatan yang disengaja dengan person baik yang menimbulkan cidera atau cacat. Hukuman untuk kejahatan semacam ini adalah retalisasi dan kompensasi (diyah). Demikian juga kategori kejahatan ta‘zi>r tidak banyak mengandung kontroversi karena memang dalam sejarah ta‘zir diperkenalkan belakangan dan menjadi wadah bagi jenis-jenis kejahatan kategori sisa dari yang ada di dalam h}udu>d dan qis}a>s}.
7Muh}ammad Sa‘i>d al-‘Asymawi>, “Syari>‘ah: Kodifikasi Hukum Islam,” dalam Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-Isu Global, ed. Charles Kursman, ter. Bahrul Ulum (Jakarta: Penerbit Paramadina, 2001), 384.
[9]Rasulullah bersabda:
   خذوا عنى قد جعل الله لهن سبيلا البكر بالبكر جلد مائة وتغريب عام والثيب بالثيب جلد مائة ورجم بالحجارة  (Ambillah dariku, Allah telah memberikan jalan kepada para wanita yang berzina. Bujangan yang berzina dengan bujangan dijilid seratus kali dan diasingkan selama satu tahun. Duda yang berzina dengan janda dijilid seratus kali dan dirajam dengan batu). Abu al-Hasan Muslim bin Hajjaj al-Qushayri al-Naysaburi, Sahih Muslim, juz 3 (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1992), 1316. Abu ‘Abd Allah Muh}ammad bin Yazid al-Qazwini, Sunan Ibn Majah, juz 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.t.), 853. Abu Dawud Sulayman bin Ash‘ath al-Sijistani, Sunan Abi Dawud, juz 2 (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), 348.
9Lihat Abdullahi Ahmed an-Na‘im, Toward an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human Rights, and International Law (New York: Syracuse University Press, 1990), 109.
10Ibrahim Hosen, “Beberapa Catatan tentang Reaktualisasi Hukum Islam,” dalam Kontekstualisasi Ajaran Islam, ed. Muhammad Wahyuni Nafis et.al. (Jakarta: Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia Bekerjasama dengan Yayasan Wakaf Paramadina, 1995), 277.
[12]Ali Maschan Moesa, Islam Tradisional: Realitas Sosial dan Realitas Politik (Kediri: Penerbit Pustaka Jenggala Utama, 2008), 89.
[13]Ibid.
[14]M. Ali Haidar, “Hukum Minuman Bir,” dalam Problematika Hukum Islam Kontemporer, ed. Chuzaimah T. Yanggo dan A. Hafiz Anshari (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), 145.
[15]Ali Maschan Moesa, NU, Agama dan Demokrasi: Komitmen Muslim Tradisionalis terhadap Nilai-nilai Kebangsaan (Surabaya: Pustaka Dai Muda Bekerjasama dengan Putra Pelajar, 2002), 307.
[16]Ibid., 308.
[17]Maschan, Islam Tradisional, 89-90.
[18]Ibid., 90.
[19]Masruh Sudiro, Islam Melawan Narkoba (Yogyakarta: Penerbit Madani Pustaka Hikmah, 2003), 134-135.
[20]Ahmad Rofiq, Fiqh Kontekstual: Dari Normatif ke Sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), 174-175.
[21]Abu Yazid (ed.), Fiqh Realitas: Respons Ma‘had Aly terhadap Wacana Hukum Islam Kontemporer (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), 269.
[22]Haidar, “Hukum Minuman Bir,” dalam Problematika, 147.
[23]Husein Muhammad, Islam Agama Ramah Perempuan: Pembelaan Kiai Pesantren (Yogyakarta: LKiS, 2004), 32-34.
23Subhi Mahmasani,  Falsafat al-Tashri fi al-Islam (Beirut: Dar al-Kashshaf wa al-Nashr, 1979), 160.
[25]Lihat ‘Ali bin ‘Abd al-Kafi al-Subki, al-Ibhaj fi Sharh al-Minhaj, juz 3 (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1995), 149. Abdul Hamid Hakim, al-Bayan (Jakarta: Sa‘diyah Putra, 1983), 19. Mushlih Usman, Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997), 20.
25Amir Mualim dan Yusdian, Ijtihad: Suatu Kontroversi antara Teori dan Fungsi (Yogyakarta: Titian Press, t.t.), 16.
[27]Baca Muhammad Sidqi al-Burnu, al-Wajiz fi Idah} al-Fiqh al-Kulliyat (Beirut: Mu’assasat al-Risa>lah, 1983), 182. Ahmad bin Muh}ammad al-Zarqa’, Sharh al-Qawa’id al-Fiqhiyat (Damaskus: Dar al-Qalam, 1989), 227. ‘Ali Ahmad al-Nadawi, al-Qawa’id al-Fiqhiyat: Mafhu>muha wa Nash’atuha wa Adillatuha wa Muhimmatuha wa Tat}biquha (Damaskus: Dar al-Qalam, 1994), 27, 65, dan 158.

Yudisium Hafidzah & Pelantikan Pengurus Masa Bakti 2020- 2021 Pondok Pesantren Al-Qur'an Asy-Syahadah Surabaya

Setelah mengalami penundaan karena wabah corona, Pesantren Al-Qur'an Asy-Syahadah Surabaya bisa melaksanakan Yudisium Hafidzah Al-Q...